"Those who say religion has nothing to do with politics,
do not know what religion is."Â -Mahatma Gandhi
Percaya atau tidak, perdebatan mengenai agama sebagai landasan negara bukanlah hal yang baru di Indonesia. HTI dan PKS adalah beberapa manifestasi yang cukup terkenal pada era pasca reformasi yang turut memperjuangkan ide Islam sebagai panutan dalam bernegara. Namun perdebatan ini memiliki komplikasi yang bisa anda lacak hingga periode awal kemerdekaan.
Anda mungkin ingat bagaimana Piagam Jakarta memicu reaksi dari para founding fathers dan implikasinya terhadap perumusan Pancasila, serta bagaimana tokoh tokoh bangsa dari Indonesia Timur menolak gagasan tersebut. Contoh lain adalah bagaimana Masyumi bertempur dalam ranah ideologis dengan PNI dan PKI dan partai kecil bergagasan nasionalistik lainnya. Natsir tidak ragu untuk mengkritik Soekarno dan PNI yang diklaim olehnya sebagai : "Partai yang rendah secara spiritual". Dan argumennya yang hingga saat ini masih kekal dan diamini oleh para politisi Islam : "Bahwa Pancasila dan Sekulerisme adalah gagasan manusia. Sementara manusia adalah insan yang terbatas secara logika dan spiritual, dan tidak ada tandingannya dengan kuasa Tuhan dan firman-Nya". Tentu argumen ini juga dibalas dengan kritis oleh Soekarno tentang bagaimana relevansi Pancasila yang mendukung kebhinekaan, dan bukan tirani mayoritas berdasar agama. Candaan yang cukup unik untuk dikutip adalah bagaimana Dr Sutomo mengatakan : "lebih baik dikirim ke Digul daripada harus naik Haji ke Mekkah"
Gagasan Sekulerisme
Definisi paling sederhana dari konsep tersebut adalah : "Pemisahan urusan bernegara dari campur tangan agama". Dalam tulisan ini saya tidak ingin berposisi normatif, namun sebaliknya. Saya ingin mempromote dan mendukung gagasan sekulerisme dan relevansinya dengan Pancasila.
Seringkali, definisi mengenai ideologi tidak tersampaikan secara utuh kepada masyarakat sehingga kelak hanya akan melahirkan dogma-dogma dengan sudut pandang yang sangat sempit. Istilah sekulerisme yang sering saya dengar dari publik adalah "anti agama, duniawi dan anti Islam". Namun poin penting yang saya harapkan dari sekulerisme adalah kelak seluruh publik Indonesia berhak meyakini agama atau kepercayaan apapun yang diyakininya. Dan pembelaan saya terletak pada lembaran sejarah Indonesia.
Tionghoa dan Yahudi
Tionghoa terkenal sebagai penguasa bisnis Indonesia. Dan dikotomi antara "Tionghoa" dengan pribumi seolah menjadi propaganda untuk menjustifikasi kebencian terhadap kesenjangan ekonomi. Namun nyatanya tidak semua chinese seperti itu. Saya kenal seorang "cici" yang berjualan di warung. Dan ketika SD saya sering disuruh oleh pak Surat (pegawai kantin) untuk membeli es batu dari beliau. Dan dulu harganya masih "gopek" (Rp 500) per kantung es. Dan setiap natal, beliau selalu memberi saya kado dan sebaliknya, ketika lebaran saya selalu memberi beliau parsel.
Dalam lembaran kisah sejarah perjuangan bangsa, etnis Tionghoa juga memiliki kontribusi terhadap bangsa dan negara. John Lie dan Siauw Giok Tjhan adalah beberapa contoh dari  sekian banyak pejuang etnis Tionghoa lain yang tidak tercatat oleh sejarah. John Lie adalah seorang Laksamana yang seringkali memimpin operasi untuk menembus blokade angkatan laut Belanda. Dan tujuan dari operasi tersebut adalah menukarkan komoditas dagang dengan senjata yang kelak dipergunakan untuk melawan Belanda. Sementara Siauw Giok Tjhan adalah politisi muda bangsa yang tergabung dalam PTI (Partai Tionghoa Indonesia). Gagasan beliau adalah pemikiran tentang "Tionghoa Nusantara", yang dimana menjadi sebuah mercusuar yang diikuti oleh pemuda Tionghoa lainnya, Sebuah gerakan politik untuk menyatukan etnis Tionghoa di Hindia Belanda untuk menerima "Indonesia" sebagai rumah asli mereka.
Sementara Yahudi dikenal dengan sempit (dan juga salah) sebagai etnis "penguasa dunia" yang seringkali dipahami oleh publik melalui buku konspirasi receh yang kerap dibumbui oleh sentimen agama. Namun nyatanya Etnis "Yahudi" juga memiliki porsi dan eksistensi di bumi pertiwi kita ini, dan bahkan turut berkontribusi dan berjuang untuk kemerdekaan negara. Mungkin anda pernah mendengar Charles Mussry. Beliau adalah salah satu pejuang kemerdekaan dengan keturunan Yahudi yang dulunya memiliki bengkel di Surabaya. Atau apabila ditarik lagi timeline sejarah nusantara, muncul tokoh lain bernama Johanna Petronella Mossel. Seorang wanita berdarah campuran (Indo-Belanda) Â yang aktif berjuang dalam ranah pergerakan melalui bidang intelektual dan akademik. Dan beliau adalah seorang pengajar di Ksatrian Instituut, sebuah yayasan pendidikan yang didirikan oleh E.F.E Douwes Dekker.Dan tentu masih banyak lagi kontribusi perjuangan yang telah diberikan oleh kakek-nenek kita yang tidak hanya berpusat pada "5 Agama" yang diakui oleh negara.Â
Ada alasan tersendiri mengapa saya secara pribadi mendukung sekulerisme di Indonesia. Secara prinsipil, gagasan tersebut menjamin :
1. Kebebasan beragama (apapun keyakinan-nya)
2. Menghapus pengaruh dominasi agama dan politisasi agama di lingkup sosial masyarakat
3. Tidak diperbolehkan untuk memaksakan "nilai-nilai" keagamaan suatu golongan kepada golongan yang lain, karena hal ini rawan untuk terjadi friksi sosial
Dan sekilas saya yakin anda paham kenapa ketiga poin diatas saya katakan layak dan sejalan dengan Pancasila.
Untuk alasan no.1, setidaknya sudah saya jawab melalui cuplikan singkat sejarah diatas. Namun bagaimana alasan no.2 dan 3 mampu saya justifikasi? Saya tidak bisa menghindari fakta bahwa religiusitas di Indonesia sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat. Saya fine dengan hal itu. Namun saya akan tidak sepakat ketika faktor ketokohan, dalil dan Agama dieksploitasi untuk kepentingan politis. Dan untuk perihal No.3, hal ini menjadi masalah tersendiri ketika jargon kebhinekaan hanya dipandang secara normatif. Namun pada realitanya, ketika tiba bulan Ramadhan perdebatan sengit muncul kembali apakah toko harus tutup atau buka dan segala argumen religiusitas. Sama halnya ketika Nyepi tiba di Bali, dan isu pembakaran Masjid, Gereja, Pura, Klenteng dan sebagainya.
Dalam taraf tertentu, sekulerisme menghadirkan alternatif dan keberanian bagi pemerintah untuk berposisi dalam konflik sosial keagamaan tersebut. Negara tidak bias agama, dan berhak menghukum golongan apapun yang sekiranya merugikan golongan lain atau masyarakat secara kolektif. Di sisi lain, hal ini mampu menciptakan suatu tanggung jawab sosial dan "respect" antar golongan yang tentu sudah dibacking oleh "koersi" negara, sehingga publik akan berpikir 2 kali sebelum berucap dan bertindak.
Semoga tulisan singkat ini bisa meningkatkan awareness pembaca dan minat untuk terus belajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H