Sementara Yahudi dikenal dengan sempit (dan juga salah) sebagai etnis "penguasa dunia" yang seringkali dipahami oleh publik melalui buku konspirasi receh yang kerap dibumbui oleh sentimen agama. Namun nyatanya Etnis "Yahudi" juga memiliki porsi dan eksistensi di bumi pertiwi kita ini, dan bahkan turut berkontribusi dan berjuang untuk kemerdekaan negara. Mungkin anda pernah mendengar Charles Mussry. Beliau adalah salah satu pejuang kemerdekaan dengan keturunan Yahudi yang dulunya memiliki bengkel di Surabaya. Atau apabila ditarik lagi timeline sejarah nusantara, muncul tokoh lain bernama Johanna Petronella Mossel. Seorang wanita berdarah campuran (Indo-Belanda) Â yang aktif berjuang dalam ranah pergerakan melalui bidang intelektual dan akademik. Dan beliau adalah seorang pengajar di Ksatrian Instituut, sebuah yayasan pendidikan yang didirikan oleh E.F.E Douwes Dekker.Dan tentu masih banyak lagi kontribusi perjuangan yang telah diberikan oleh kakek-nenek kita yang tidak hanya berpusat pada "5 Agama" yang diakui oleh negara.Â
Ada alasan tersendiri mengapa saya secara pribadi mendukung sekulerisme di Indonesia. Secara prinsipil, gagasan tersebut menjamin :
1. Kebebasan beragama (apapun keyakinan-nya)
2. Menghapus pengaruh dominasi agama dan politisasi agama di lingkup sosial masyarakat
3. Tidak diperbolehkan untuk memaksakan "nilai-nilai" keagamaan suatu golongan kepada golongan yang lain, karena hal ini rawan untuk terjadi friksi sosial
Dan sekilas saya yakin anda paham kenapa ketiga poin diatas saya katakan layak dan sejalan dengan Pancasila.
Untuk alasan no.1, setidaknya sudah saya jawab melalui cuplikan singkat sejarah diatas. Namun bagaimana alasan no.2 dan 3 mampu saya justifikasi? Saya tidak bisa menghindari fakta bahwa religiusitas di Indonesia sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat. Saya fine dengan hal itu. Namun saya akan tidak sepakat ketika faktor ketokohan, dalil dan Agama dieksploitasi untuk kepentingan politis. Dan untuk perihal No.3, hal ini menjadi masalah tersendiri ketika jargon kebhinekaan hanya dipandang secara normatif. Namun pada realitanya, ketika tiba bulan Ramadhan perdebatan sengit muncul kembali apakah toko harus tutup atau buka dan segala argumen religiusitas. Sama halnya ketika Nyepi tiba di Bali, dan isu pembakaran Masjid, Gereja, Pura, Klenteng dan sebagainya.
Dalam taraf tertentu, sekulerisme menghadirkan alternatif dan keberanian bagi pemerintah untuk berposisi dalam konflik sosial keagamaan tersebut. Negara tidak bias agama, dan berhak menghukum golongan apapun yang sekiranya merugikan golongan lain atau masyarakat secara kolektif. Di sisi lain, hal ini mampu menciptakan suatu tanggung jawab sosial dan "respect" antar golongan yang tentu sudah dibacking oleh "koersi" negara, sehingga publik akan berpikir 2 kali sebelum berucap dan bertindak.
Semoga tulisan singkat ini bisa meningkatkan awareness pembaca dan minat untuk terus belajar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI