Pancasila sebagai landasan, falsafah negara, atau apapun yang bisa kita sebut untuk menggambarkannya adalah sebuah sistem berpikir dan berlaku, seperangkat nilai yang mengisi relung pikir dan hati penganutnya, dalam hal ini adalah bangsa Indonesia. Mari kita mundur kembali untuk melihat dari mana ide-ide Pancasila ini lahir menjadi sebuah falsafah yang sedemikian hebatnya. Konon (dan memang sebenarnya) sebelum Ir. Soekarno memberikan nama Pancasila sebagai dasar negara di Kote Ende, Prof. Mr. Dr. Soepomo menyampaikan pidato dalam sidang pertama BPUPKI tentang usulan lima dasar negara Indonesia merdeka pada 29 Mei 1945 (bersama Moh. Yamin, Ir. Soekarno dan Mr. Soepomo adalah  perumus Pancasila). Kurang-lebih  beliau menyampaikan usulan dasar negara yang sama persis seperti Pancasila saat ini; yakni Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat.Â
Bukan terlahir dari urgensi memerdekakan negara yang hanya berselang 3 bulan, buah pikiran ini adalah integrasi perjuangan bangsa selama 350 tahun mempertahankan kekokohan negara dari penjajah. Maka Pancasila bukan sekadar falsafah negara yang sering kita pajang di dinding-dinding ruangan kedinasan, sekolah, atau bahkan rumah kita. Pancasila adalah semangat negara, semangat yang mendorong kita, citra diri kita; Pancasila adalah kita.
Pancasila lahir dari kearifan negara dan masyarakat. Menjadi sebuah falsafah negara Pancasila hadir melingkupi seluruh masyarakat. Namun inti dari Pancasila sebagai falsafah negara bukan sekadar suatu kewajiban yang harus kita ucapkan saat upacara saja, sebagai kajian materi dalam studi pelajaran sekolah dan kuliah; Pancasila adalah stigma positif sebagai negara Pancasila, yang menyebut masyarakatnya Pancasilais. Yang menarik dari Pancasilais adalah The Founding Father, atau para bapak pendiri bangsa Indonesia. Satu hal yang sering kali terlupakan dari makna Pancasila adalah warisan dari mereka, yakni semangat. Pancasila sebagai dasar negara memiliki semangat para pendiri yang diteruskan kepada semua masyarakat saat ini; Pancasila bukan sekadar sejarah. Itulah eksistensi masyarakat Indonesia.
Dalam pembukaan UUD 1945, Pancasila dicantumkan sebagai cita-cita Indonesia. Â Dalam perjalanan mewujudkan cita-cita bangsa, negara dan Pancasila mengalami banyak pergulatan. Dalam masa pembentukannya saja (yang sebelumnya disebut dalam Piagam Jakarta), terjadi pertentangan. Dalam sila pertama harus mengalami perubahan dari "...menjalankan syariat-syariat islam bagi para pemeluknya" menjadi "Ketuhanan yang Mahaesa". Mufakat yang dilakukan adalah sifat dari keterbukaan Pancasila sebagai falsafah negara yang mengintegrasi semua masyarakat (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Pancasila sila ke 5). Sifat yang terbuka sekaligus menyiratkan banyaknya tantangan yang akan dihadapi di masa depan.
Tantangan Pancasila sebagai dasar negara
Pancasila sebagai dasar negara pasti memiliki dimensi fleksibilitas yang mampu menyesuaikan dengan zaman di mana negara harus selalu berpijak. Banyak upaya yang telah dilakukan untuk membuat Pancasila tetap menjadi pegangan dan diingat oleh masyarakat. Hal yang paling kelihatan adalah kebijakan pemerintah dalam membuat Pancasila sebagai objek kajian dan mata pelajaran dalam studi formal. Kebijakan ini tidak dianggap main-main. Selama kurang lebih 13 tahun seorang pelajar harus memelajari Pancasila. Harapannya adalah Pancasila sanggup memberikan transformasi diri, memperluas horizon dan sudut pandang serta mampu berdiskresi secara rasional seoptimal mungkin. Dalam jangka waktu itu diharapkan transformasi diri menuju jiwa yang Pancasilais.
Kelima dasar negara ini tidak terpisah satu sama lain; bersifat saling melengkapi dan mengintegrasi. Sering terjadi penyalahgunaan bahwa sila mana yang paling penting untuk dilaksanakan, seperti cukupnya berbuat baik tanpa harus memiliki keyakinan untuk memeluk salah satu agama. Hal ini membenturkan sila pertama dengan sila kedua. Atas dasar bangsa Indonesia, para bapa pendiri bangsa sudah dengan matang memerhatikan pentingnya memiliki agama sekaligus bersifat etis sebagai manusia.
Ketika menyinggung tentang dasar atau falsafah negara, penekanannya bukan terletak pada pertanyaan 'apakah itu' yang bersifat definitif. Sayangnya Pancasila sering kali jatuh pada dilema ini. Begitu banyak nilai relvansi Pancasila dalam zaman kontemporer Indonesia. Hanya saja makna yang luput dari Pancasila sebagai ideologi negara adalah realitas dari pertanyaan 'apakah dampaknya?'. Masalah dijumpai ketika unsur fundamen dari Pancasila itu tidak mendapat implementasi; dan ekstrim itu terjadi. Lebih parah lagi, dalam beberapa wawancara bebas yang sering terjadi ketika ditanyai tentang kelima sila dari Pancasila kepada masyarakat, tidak sedikit yang tidak mampu menjawab dengan lengkap. Artinya, Pancasila sebagai cita-cita bangsa sejauh ini hanya menjadi angan-angan belaka dan harapan yang entah sampai kapan mampu dicapai.
       Sila Pertama
Sila pertama adalah "Ketuhanan yang Mahaesa". Diturunkan bahwa, negara mengakui enam agama resmi serta agama kepercayaan daerah oleh setiap orang. Sebagai bangsa yang merdeka, bangsa Indonesia pun memerdekan dan memberi kebebasan dalam berekspresi (termasuk tanggung jawabnya; dalam hal ini adalah memiliki kepercayaan atau agama). Kebebasan yang diatur dalam pembukaan UUD 1945 tidak hanya mencakup 6 agama besar, melainkan juga kepercayaan daerah. Hal ini Pancasila sebagai ideologi bangsa sangat menjunjung tinggi kebebasan independen setiap warga negaranya dalam beragama
Nilai praksis yang terjadi khususnya dalam kebebasan beragama seringkali dimaknai sebagai kebebasan untuk menjadi radikalisme agama. Banyak kasus yang terjadi. Banyaknya jumlah agama yang menjadi dasar atas negara untuk memberi kebebasan menjadi seorang yang pada dasarnya religius bukan menjadi indicator penentu bahwa negara (masyarakat) menjadi religius. Indonesia sering kali jatuh pada superfisial agama yang hanya menilai agama sebagai sudut pandang identitas. Seorang bijak mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang religius. Kereligiusan ini ternyata riskan untuk menghubung-hubungkan agama dengan banyak hal. Masyarakat membuat agama sebagai identitas politik.
Sebagai identitas politik agama menjadi sangat sensitif, yang seharusnya terbuka bagi orang lain dan bagi pendapat-pendapat yang menggugatnya. Menurut Francis Fukuyama bahwa identitas politik merusak demokrasi. Ketika identitas politik mulai mengeksklusifkan independensi berekspresi, radikalisme agama muncul bertautan. Dalam aspek social movement ketika radikalisme agama sampai pada titik simbol atau titik tertinggi sensitivitas, agama itu sendiri bahkan tidak menyisakan sisi dan makna kereligiusannya sendiri. agama beralih dari komunitas religius menjadi perkumpulan masyarakat biasa.
Realitas sosial-politik adalah wadah yang paling kelihatan, yakni agama mengalami degradasi religiusitas. Ketika agama sudah dicampuri dengan urusan politik (dalam hal ini partai, pemerintahan dan jajarannya), agama kehilangan esensinya. Ketidak-sehatan ini sudah lama terjadi berevolusi menjadi sebuah budaya yang harum untuk diwariskan.
     Sila Kedua
Sila kedua adalah, "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Tantangan terbesar dari sila kedua krisis identitas. Masuknya budaya luar memengaruhi bagaimana masyarakat Indonesia sekarang ini  bertindak. Contohnya budaya sekularisme dan materialisme di tengah-tengah modernitas kontemporer indonesia sangat eksis. Walaupun budaya yang diterima itu pada dasarnya bersifat netral, budaya itu menjadi sebuah ancaman ketika sungguh memengaruhi kemampuan seseorang bersikap dan melaksanakan ideologi, dalam hal ini ideologi Pancasila.
Identitas Pancasilais yang dimiliki tampaknya sulit untuk dilaksanakan. Kekerasan verbal yang sering terjadi saat ini merepresentasikan bagaimana sila kedua tidak sanggup dengan baik diimplementasikan. Tanpa memerhatikan ikatan kesamaan identitas, kekeluargaan dan sosial masyarakat, kemanusiaan menjadi lupa untuk ditampilkan. Sikap ini tak lebih dan tak kurang adalah tindakan reflek-intuitif, degradasi kemanusiaan dan afirmasi spesies primata, manusia sebagai entitas biologis semata.
      Sila Ketiga
Sila ketiga adalah "Persatuan Indonesia". Tantangan yang sering terjadi sesuai dengan sila kedua adalah, diferensiasi dan pengkotak-kotakan dari politik identitas yang sempat disinggung dalam sila pertama. Dalam hal ini dunia Indonesia seakan-akan dipandang hanya terdiri dari banyak pulau yang terpisah-pisah. Baik agama, suku, ras dan identitas lainnya sering kali menjadi aspek yang sering dipersalahkan dalam mengungkapkan pendapat, ataupun sekadar eksistensi setiap orang. Seakan akan keberbedaan hanya dipandang sebagai suatu masalah dan membedakan.
Dalam hal ini seharusnya inti dari keberbedaan yang banyak itu adalah kekayaan yang saling membangun dan mempersatukan. Bukan sekadar objek pemadatan nominasi melainkan sebagai entitas yang mengintegrasi.
      Sila Keempat
Sila keempat adalah "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan". Tantangan yang sering terjadi adalah kesulitan dalam berkonsensus. Semangat yang sangat ditonjolkan dalam pembuatan pancasila, sangat mencerminkan makna sila keempat, yakni musyawarah untuk mufakat yang sebenarnya lahir di dalam bangsa Indonesia dan bukan diambil dari bangsa asing. Mufakat adalah identitas bangsa, identitas Pancasila yang menguatkan dan mempersatukan.
Kasus Ferdy Sambo bisa merepresentasikan bagaimana sila keempat ini sungguh awet. Yang sering terjadi, terutama dalam masalah hirarkis atau jabatan baik publik ataupun badan, adalah pembatasan berpendapat dan kebebasan. Budaya yang tampak adalah kesewenangan atasan ataupun orang yang berpengaruh mendiskriminasi pendapat orang yang berada di bawah kelasnya (berkaitan dengan masalah dalam Marxisme). Semboyan Fiat Iustitia ruat caelum seakan makanan lezat yang biasa ditertawakan dalam membuat gugatan dan putusan sengketa serta masa hukuman yang mengenal politik identitas. Sangatlah tidak sehat.
       Sila Kelima
Sila kelima adalah "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Masalah yang sering terjadi adalah Indonesia yang dimaksud adalah orang-orang yang memiliki pamor di muka hukum dan di muka kekuasaan. Masih terngiang masalah 'pencurian' tiga buah kokoa oleh nenek Minah yang sedang melintasi hektaran ladang kokoa, dan dihukum 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan. Secara jelas menggunakan akal sehat dengan pertimbangan moral manusiawi nenek ini tidak bersalah, padahal banyak masalah di bagian pemerintahan Indonesia terutama Korupsi yang merupakan warisan masa PPKI tetap semangat untuk dijiwai.
      Tantangan-tantangan ini sering terjadi, bahkan mewarnai asosiasi ingatan negatif masyarakat jika mengingat sila-sila dari Pancasila. Padahal Pancasila sebagi dasar Ideologi negara yang setiap upacara saat sekolah dan di mana kita berpijak di Indonesia ini, bermaksud agar pembatinan it uterus terjadi. Namun akhirnya ideologi adalah seperangkat aturan yang khusus diketahui dan dimaknai hanya untuk dilanggar.
Kritik Pendidikan Pancasila sebagai kajian studi
Selama duabelas tahun masa pendidikan wajib di Indonesia, pendidikan pancasila (dan kewarganegaraan) senantiasa menempati les dalam mata pelajaran. Dengan masalah-masalah yang sering terjadi dalam pelanggaran ideologi Pancasila, menyatakan bahwa pelajaran ini kurang menempati fungsi atau makna yang penting untuk dikaji. Ketimpangan yang tergambar jelas adalah nilai yang didapatkan (dalam konteks akademik) tidak sesuai secara garis besar bagaimana Pancasila itu dimaknai.
Dalam penelitian oleh dosen UNPAR, Sylvester Kanisius Laku SS., M.Pd. dan Andreas Doweng Bolo, SS., M.Hum., menulis dalam makalah penelitiannya yang berjudul, Pandangan atau Tanggapan Akhir Peserta Mata Kuliah Pendidikan Pancasila Terhadap Pendidikan Pancasila Di Unpar, bahwa mayoritas mahasiswa menganggap dan memandang mata kuliah Pendidikan Pancasila sebagai Ideologi bangasa hanya berguna untuk melayani kehendak pemimpin yang berkuasa; sebuah kesan negatif. Pancasila dinilai tidak lebih dari sekadar upaya manupulatif dalam kerangka tafsir kelompok yang berkuasa. Sungguh jelas hal ini bukanlah tujuan pembelajaran Pendidikan Pancasila diadakan. Kayanya makna Pacasila niscaya tersampaikan dengan lumrah.
Apa sebenarnya menjadi masalah dalam hal ini? Kembali lagi bahwa Pancasila adalah dasar yang kokoh sebagai ideologi bangsa, sangat maju dari zamannya (konteks perang dunia II). Langkah penerapan dan pembatinan Pancasila harus selalu diguankan dalam pembelajaran selama 12 tahun serta tambahan dalam program studi di jenjang kemahasiswaan.Â
Namun yang menjadi titik hilangnya fokus faktual adalah kurangnya konkritisasi dari makna Pancasila. Sederhananya, pernahkah sekolah atau dalam hal ini adalah pemerintah dengan sangat keras mengatakan bahwa seluruh permasalahan yang dialami oleh siswa sungguh mencerminkan krisis identitas sebagai entitas pancasilais? Sekurang-kurangnya penulis sebagai mahasiswa tak pernah mendengarnya dan mengalaminya.Â
Oleh karena itu tetap saja Pancasila hanya sekadar objek kajian studi yang percuma kalau tanpa ejahwantahan dari seluruh aspek yang mengisi setiap pribadi. Atau adakah undang-undang yang sungguh mensandingkan, menekankan pelanggaran Pancaslia ini di muka hukum, sebagai perlakuan penghiantan berbangsa dan negara secara tidak langsung? Ini jelas sebagai masalah yang harus kita hadapi.
Pancasila sebagai Ideologi yang seharusnya Â
Pancasila sebagai Ideologi harus dipraktikkan. Jatuh dalam kejenuhan tentang ideologi-ideologi dalam objek kajian studi semata hanya membuat Pancasila menjadi seperangkat aturan biasa yang bisa dan biasa dilanggar. Pancasila harus menjadi subjek diskresi publik Indonesia, menjadi refleksi atau cerminan identitas serta menjadi aktivasi keberbedaan dan kekeluargaan. Pancasila harus dipraktikkan kalau tidak hanya bersifat sebagai buah bibir indah dan tak lebih dari sekadar literasi pajangan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI