Sebagai identitas politik agama menjadi sangat sensitif, yang seharusnya terbuka bagi orang lain dan bagi pendapat-pendapat yang menggugatnya. Menurut Francis Fukuyama bahwa identitas politik merusak demokrasi. Ketika identitas politik mulai mengeksklusifkan independensi berekspresi, radikalisme agama muncul bertautan. Dalam aspek social movement ketika radikalisme agama sampai pada titik simbol atau titik tertinggi sensitivitas, agama itu sendiri bahkan tidak menyisakan sisi dan makna kereligiusannya sendiri. agama beralih dari komunitas religius menjadi perkumpulan masyarakat biasa.
Realitas sosial-politik adalah wadah yang paling kelihatan, yakni agama mengalami degradasi religiusitas. Ketika agama sudah dicampuri dengan urusan politik (dalam hal ini partai, pemerintahan dan jajarannya), agama kehilangan esensinya. Ketidak-sehatan ini sudah lama terjadi berevolusi menjadi sebuah budaya yang harum untuk diwariskan.
     Sila Kedua
Sila kedua adalah, "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Tantangan terbesar dari sila kedua krisis identitas. Masuknya budaya luar memengaruhi bagaimana masyarakat Indonesia sekarang ini  bertindak. Contohnya budaya sekularisme dan materialisme di tengah-tengah modernitas kontemporer indonesia sangat eksis. Walaupun budaya yang diterima itu pada dasarnya bersifat netral, budaya itu menjadi sebuah ancaman ketika sungguh memengaruhi kemampuan seseorang bersikap dan melaksanakan ideologi, dalam hal ini ideologi Pancasila.
Identitas Pancasilais yang dimiliki tampaknya sulit untuk dilaksanakan. Kekerasan verbal yang sering terjadi saat ini merepresentasikan bagaimana sila kedua tidak sanggup dengan baik diimplementasikan. Tanpa memerhatikan ikatan kesamaan identitas, kekeluargaan dan sosial masyarakat, kemanusiaan menjadi lupa untuk ditampilkan. Sikap ini tak lebih dan tak kurang adalah tindakan reflek-intuitif, degradasi kemanusiaan dan afirmasi spesies primata, manusia sebagai entitas biologis semata.
      Sila Ketiga
Sila ketiga adalah "Persatuan Indonesia". Tantangan yang sering terjadi sesuai dengan sila kedua adalah, diferensiasi dan pengkotak-kotakan dari politik identitas yang sempat disinggung dalam sila pertama. Dalam hal ini dunia Indonesia seakan-akan dipandang hanya terdiri dari banyak pulau yang terpisah-pisah. Baik agama, suku, ras dan identitas lainnya sering kali menjadi aspek yang sering dipersalahkan dalam mengungkapkan pendapat, ataupun sekadar eksistensi setiap orang. Seakan akan keberbedaan hanya dipandang sebagai suatu masalah dan membedakan.
Dalam hal ini seharusnya inti dari keberbedaan yang banyak itu adalah kekayaan yang saling membangun dan mempersatukan. Bukan sekadar objek pemadatan nominasi melainkan sebagai entitas yang mengintegrasi.
      Sila Keempat
Sila keempat adalah "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan". Tantangan yang sering terjadi adalah kesulitan dalam berkonsensus. Semangat yang sangat ditonjolkan dalam pembuatan pancasila, sangat mencerminkan makna sila keempat, yakni musyawarah untuk mufakat yang sebenarnya lahir di dalam bangsa Indonesia dan bukan diambil dari bangsa asing. Mufakat adalah identitas bangsa, identitas Pancasila yang menguatkan dan mempersatukan.
Kasus Ferdy Sambo bisa merepresentasikan bagaimana sila keempat ini sungguh awet. Yang sering terjadi, terutama dalam masalah hirarkis atau jabatan baik publik ataupun badan, adalah pembatasan berpendapat dan kebebasan. Budaya yang tampak adalah kesewenangan atasan ataupun orang yang berpengaruh mendiskriminasi pendapat orang yang berada di bawah kelasnya (berkaitan dengan masalah dalam Marxisme). Semboyan Fiat Iustitia ruat caelum seakan makanan lezat yang biasa ditertawakan dalam membuat gugatan dan putusan sengketa serta masa hukuman yang mengenal politik identitas. Sangatlah tidak sehat.