"Kalau ada perempuan yang pakai baju seksi, diperkosa ramai-ramai, salah siapa? Ya, Salah perempuannya!"
Seribu konsekuensi justru selalu dilontarkan kepada korban kekerasan seksual hari ini. Kemajuan zaman belum pula menjamin kemajuan intelektual dan kesadaran kaum "ganas". Korban dikucilkan, disalahkan, dan diabaikan, victim blaming, sebutannya.Â
Pelecehan seksual banyak terjadi di tempat publik, salah satunya contohnya terbukti terjadi di lingkungan kampus yang sangat merugikan korban dan dapat mengganggu hak atas kenyamanan baik saat belajar maupun berada di dalam kampus, serta menciptakan lingkungan belajar yang intimidatif.
"Kenapa pulang sendiri?"
"Salah sendiri berpakaian terbuka!"
"Kenapa kamu nggak minta tolong?"
"Kenapa mau?"
Apakah akan berujung pada pernyataan,
"Salah sendiri kamu wanita!" ... ?
Kampus hakikatnya adalah sudah sepatutnya dalam dunia pendidikan  tercipta suasana yang aman dan nyaman. Namun, dalam beberapa kasus belakangan ini, yaitu tentang kasus kejahatan seksual yang menimpa para mahasiswi, dari sekian laporan tentang kejahatan seksual yang terjadi di kampus, masih banyak yang tidak menemui titik terang, kejelasan hukum yang masih belum ada, sehingga hal ini menjadi hal yang meresahkan dan merugikan bagi para korban tindak kejahatan seksual.
Dias, alumnus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro yang saat itu tengah menyelesaikan skripsi sedang menjalani bimbingan ulang bersama seorang dosen. Tersentak kaget, paha, tangan, dan punggung Diaz diraba dan hampir dicium. Diaz mengaku bahwa perlakuan seperti ini tidak hanya terjadi kepadanya, tetapi ada beberapa mahasiswa lainnya yang mengalami hal serupa oleh pelaku yang sama.
Sudah menjadi hal yang biasa apabila sering kali mekanisme penanganan kasus pelecehan seksual di kampus tidak menyelamatkan korban, melainkan mempertahankan nama baik kampus. Dosen "ganas" tersebut menolak memberi komentar dengan alasan kasus Dias terjadi pada tahun 2016.
Kasus lain misalnya, Agni, Mahasiswa UGM yang memakan waktu satu tahun untuk kasusnya dapat terbuka dalam publik. Singkatnya, dunia pendidikan dianggap menjadi tameng yang melindungi pelaku terutama yang berasal dari kalangan dosen.Â
Pertimbangan akan nama baik kampus membuat akademisi mengunci pintu dan menutup telinga akan kasus-kasus kekerasan seksual yang memakan korban di tempat mereka bekerja.Â
Namun, pada tahun 2020 ini, walaupun terlambat, UGM akhirnya membuat regulasi khusus mengenai pencegahan dan penindakan dugaan kasus kekerasan seksual oleh masyarakat UGM, yaitu dalam Peraturan Rektor Nomor 1 tahun 2020.
Lembeknya penegakan hukum pada kasus pelecehan seksual di kampus memberi celah pada korban untuk bertindak yang justru semakin merugikan dirinya. Mengetahui bahwa kasus yang dialaminya tidak akan melirik mata para akademisi kampus, korban justru akan menutup mulut dan enggan melaporkan kejadiannya yang tentu akan menyerang psikis dan psikologisnya sendiri.
Plt Dirjen Dikti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebut akan membentuk tim perumus aturan mengenai kekerasan seksual di sector pendidikan, bersamaan dengan regulasi penanggulangan radikalisme dan perundungan di kampus. Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, menegaskan, "tidak ada ruang abu-abu" bagi pelaku kekerasan seksual, seraya menambahkan pelaku yang bersalah melakukan kekerasan seksual di kampus, harus segera dikeluarkan.
"Bagaimana pemerintah pusat bisa memberikan payung hukum untuk melindungi anak-anak ini, itu suatu hal yang kami kaji," ujar Nadiem Makarim.
Begitulah tanggapan dari Menteri pendidikan, Nadiem Makarim terkait tindak kejahatan seksual yang ada di lingkar pendidikan di lingkungan kampus.Â
Hal ini merupakan sebuah angin segar bagi para mahasiswa sendiri, dimana adanya wadah atau payung hukum yang akan memberikan perlindungan bagi para korban dan juga bagi para mahasiswa. Â
Berbagai macam bentuk tanggapan atau kecaman yang memang menyayangkan tindakan para pelaku yang sebagian besar berasal dari tenaga pendidik.
Dari beberapa laporan yang sudah disuarakan para korban kekerasan diatas, mungkin hanya sebagian kecil yang memberanikan speak up ke publik terkait pelecehan yang di terimanya.Â
Mungkin ada banyak para korban pelecehan di luaran sana yang tidak berani speak up dan memilih shut up, dikarenakan mungkin mendapatkan tekanan dari para pelaku atau bahkan mengikhlaskan kejadian yg telah menimpa dirinya.
Victim blaming sudah menjadi pandangan masyarakat terkait pelecehan seksual. Menurut mereka, terjadinya pelecehan seksual disebabkan karena suatu subjek atau korban mengenakan pakaian yang dianggap mengundang syahwat pelaku.Â
Pada sudut pandang ini pelaku seolah-olah tidak bisa disalahkan atas tindakan pelecehan yang dilakukannya. Pelaku justru berlindung dan balik menyalahkan korban karena tidak mengenakan pakaian yang tertutup atau sepantasnya.
Dilansir dari Detik.com (Damarjati, 2019) lewat survei yang dipaparkan oleh Koalisi Ruang Publik Aman pada 2019, memperlihatkan bahwa dari 17,47% korban pelecehan seksual mengenakan rok panjang dan celana panjang. Lalu 13,20% korban mengenakan hijab pendek/sedang. Sedangkan korban yang mengenakan baju ketat dan rok ketat hanya 1,89% dalam survei ini.Â
Data pada survei tersebut tentunya menunjukkan bahwa anggapan bahwa pakaian korban yang terbuka bukanlah suatu alasan pelecehan seksual terjadi.Â
Mereka yang menggunakan pakaian tertutup bahkan mengenakan hijab justru lebih banyak presentasenya untuk terkena pelecehan seksual. Dari data inilah yang menjadi penguat sudut pandang atau sisi kedua terjadinya pelecehan seksual.
Rika Rosvianti, founder perEMPUan, dilansir mediaindonesia.com (Erlangga, 2019) bahkan mengatakan "pelecehan seksual ini murni terjadi 100% karena niat pelaku. Tidak ada korban yang "mengundang" untuk dilecehkan". Rika mengatakan hal tersebut tentunya berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman seperti yang telah dicantumkan di atas.
Tanggapan dari pemerhati perempuan di atas tersebut, mematahkan anggapan bahwa penyebab dari tindakan pelecehan bersumber dari para korban.Â
Berbagai macam bentuk aksi yang dilakukan para mahasiswa maupun para pemerhati perempuan dan HAM untuk mendesak pihak kampus membentuk regulasi atau wadah yang bertujuan agar kasus-kasus kekerasan seksual yang ada di kampus teradvokasi dengan baik. Karena untuk saat ini memang tidak banyak kampus yang memiliki wadah pengaduan kasus kekerasan seksual.Â
Hal ini lah yang menjadi poin utama dalam aksi yang di gencarkan oleh para mahasiswa maupun pemerhati perempuan dan HAM. Poin selanjutnya adalah edukasi yang menekankan urgensi dari tindak kekerasan seksual. Hal ini penting di lakukan karena memang kurangnya wawasan yang di dapat para mahasiswa tentang kekerasan seksual.
Peran kampus diharapkan untuk cermat dan tanggap dalam menangani kasus kekerasan seksual ini, sebagai institusi yang menaungi dan bertanggungjawab atas civitas akademikanya.
 Tidak hanya berhenti di situ, poin lain yang di suarakan dalam aksi adalah keadilan mengenai penegakan hukum agar memberikan efek jera kepada predator-predator kejahatan seksual, karena memang untuk saat ini banyak contoh kasus yang terjadi hanya berakhir dengan kurungan penjara dalam kurun waktu yang singkat hal ini dirasa kurang adil, atau berujung dengan sikap damai, dan bahkan tidak sedikit yang kasusnya tidak menemui titik terang atau tidak terselesaikan.Â
Perlu adanya konseling yang di adakan oleh kampus terhadap civitas akademika agar dapat menekan aksi pelecehan seksual di lingkungan kampus. Karena memang kebanyakan kasus kejahatan seksual di kampus tidak mendapat penanganan yang serius oleh pihak kampus sendiri dikarenakan masalah tersebut urgensinya tidak terlalu penting untuk di tangani.Â
Satu hal lagi yang sangat penting dan harus di lakukan adalah apabila kasus pelecehan seksual telah terjadi, korban berhak di berikan pendampingan yang bertujuan untuk pemulihan mental atau psikis, sehingga membantu mereka untuk mengurangi rasa trauma yang di alaminya, dan nantinya para korban dapat menjalankan aktivitas akademiknya seperti sedia kala.
Perubahan regulasi terkait penanganan kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus saat ini sangat di perlukan. Pemerintah dalam hal ini Kemenristek di tuntut ikut andil dalam mengambil sikap yang tegas dalam menjawab kasus-kasus pelecehan seksual yang ada di kampus di Indonesia. Agar nantinya tercipta suasana kampus yang nyaman dan aman bagi para mahasiswa.
Di lain sisi, kampus juga sudah seharusnya memberikan pendidikan moral terkait bentuk pelecehan seksual kepada para mahasiswa dan tidak terkecuali kepada para civitas akademika tujuannya agar menekan terjadinya kasus pelecehan seksual.Â
Dengan adanya regulasi berupa sanksi yang dapat memberikan efek jera kepada para pelaku kejahatan, serta wadah yang dirasa dapat mengadvokasi dengan baik, serta menjamin keamanan dan keselamatan bagi para penyintas (korban), maka tidak ada lagi korban yang melakukan aksi shut up atau bahkan mengikhlaskan apa yang sudah terjadi pada dirinya. Semakin banyak yang speak up terkait pelecehan seksual semakin mempersempit ruang gerak bagi para predator kejahatan seksual di kampus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H