Mohon tunggu...
Winona Salsa
Winona Salsa Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Darurat Pelecehan Seksual di Kampus: Dilecehkan di Kampus, Speak Up atau Shut Up?

17 Desember 2020   22:43 Diperbarui: 17 Desember 2020   22:52 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin ada banyak para korban pelecehan di luaran sana yang tidak berani speak up dan memilih shut up, dikarenakan mungkin mendapatkan tekanan dari para pelaku atau bahkan mengikhlaskan kejadian yg telah menimpa dirinya.

Victim blaming sudah menjadi pandangan masyarakat terkait pelecehan seksual. Menurut mereka, terjadinya pelecehan seksual disebabkan karena suatu subjek atau korban mengenakan pakaian yang dianggap mengundang syahwat pelaku. 

Pada sudut pandang ini pelaku seolah-olah tidak bisa disalahkan atas tindakan pelecehan yang dilakukannya. Pelaku justru berlindung dan balik menyalahkan korban karena tidak mengenakan pakaian yang tertutup atau sepantasnya.

Dilansir dari Detik.com (Damarjati, 2019) lewat survei yang dipaparkan oleh Koalisi Ruang Publik Aman pada 2019, memperlihatkan bahwa dari 17,47% korban pelecehan seksual mengenakan rok panjang dan celana panjang. Lalu 13,20% korban mengenakan hijab pendek/sedang. Sedangkan korban yang mengenakan baju ketat dan rok ketat hanya 1,89% dalam survei ini. 

Data pada survei tersebut tentunya menunjukkan bahwa anggapan bahwa pakaian korban yang terbuka bukanlah suatu alasan pelecehan seksual terjadi. 

Mereka yang menggunakan pakaian tertutup bahkan mengenakan hijab justru lebih banyak presentasenya untuk terkena pelecehan seksual. Dari data inilah yang menjadi penguat sudut pandang atau sisi kedua terjadinya pelecehan seksual.

Rika Rosvianti, founder perEMPUan, dilansir mediaindonesia.com (Erlangga, 2019) bahkan mengatakan "pelecehan seksual ini murni terjadi 100% karena niat pelaku. Tidak ada korban yang "mengundang" untuk dilecehkan". Rika mengatakan hal tersebut tentunya berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman seperti yang telah dicantumkan di atas.

Tanggapan dari pemerhati perempuan di atas tersebut, mematahkan anggapan bahwa penyebab dari tindakan pelecehan bersumber dari para korban. 

Berbagai macam bentuk aksi yang dilakukan para mahasiswa maupun para pemerhati perempuan dan HAM untuk mendesak pihak kampus membentuk regulasi atau wadah yang bertujuan agar kasus-kasus kekerasan seksual yang ada di kampus teradvokasi dengan baik. Karena untuk saat ini memang tidak banyak kampus yang memiliki wadah pengaduan kasus kekerasan seksual. 

Hal ini lah yang menjadi poin utama dalam aksi yang di gencarkan oleh para mahasiswa maupun pemerhati perempuan dan HAM. Poin selanjutnya adalah edukasi yang menekankan urgensi dari tindak kekerasan seksual. Hal ini penting di lakukan karena memang kurangnya wawasan yang di dapat para mahasiswa tentang kekerasan seksual.

Peran kampus diharapkan untuk cermat dan tanggap dalam menangani kasus kekerasan seksual ini, sebagai institusi yang menaungi dan bertanggungjawab atas civitas akademikanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun