Pesona Indonesia terbentang dari Sabang hingga Merauke, tak terkecuali Manokwari yang menawarkan keindahan alam serta kesederhanaan gaya hidup.Â
Ibukota provinsi Papua Barat ini menjadi saksi nyata Ester Karaway merangkai potensi alam Indonesia dalam bentuk kerajinan tangan. Kegigihannya mengasah minat di industri kreatif mengantar wanita yang akrab disapa Mama Kerewai ini menjelajah dunia.
Berawal sebagai guru Sekolah Dasar (SD), Mama menyadari kecintaannya menghasilkan kerajinan tangan sejak kecil. "Orang tua saya berprofesi guru, jadi anak-anaknya juga diajarkan keterampilan," ujar Mama. Mengamati ratusan karya yang lahir dari jemari Mama yang tak kenal lelah, penggunaan kulit kerang menarik perhatian.Â
Rupanya, pemilihan kulit kerang tidak lepas dari latar belakang Mama yang tumbuh di Kabupaten Teluk Wondama. "Di daerah Mama dulu, orang suka mengonsumsi kerang sementara kulit (kerang) dibuang begitu saja. Begitulah Mama mendapat inspirasi," senyum kecil terulas di bibirnya kala mengingat masa lalu.
Berkat kejelian Mama membaca peluang dan keuletan mengasah minat, karya Mama membawanya berkeliling dunia; mulai dari pelosok Indonesia hingga Jepang, Tiongkok, Belanda, Belgia, Jerman, dan banyak lagi. Berkat festival demi festival yang dihadirinya, karya Mama kian tersiar. Media pun tidak tutup mata, karya Mama banyak disiarkan di televisi sehingga mendapat perhatian masyarakat umum. Hal ini menjadikan dukungan terhadap karya Mama terasa secara nyata. "Orang-orang yang berwisata ke Manokwari sering membawakan Mama kulit kerang ke galeri sini tanpa diminta," ucapnya sembari tergelak, seakan menutupi rasa haru terhadap dukungan yang ada.
Meski demikian, Mama sadar bahwa setiap orang di dunia tengah berjuang. Wanita kelahiran 15 Agustus 1945 ini tetap membayar kulit kerang sesuai jumlah yang diberi. Uniknya, satuan yang digunakan untuk mengukur berat di Manokwari bukanlah kilogram, melainkan tumpukan khusus. "Satu tumpuk bisa dibayar seratus ribu rupiah, satu tumpuk setara dengan dua puluh kilogram," jelasnya. Terkadang, Mama bisa membeli kulit kerang sebesar dua ratus hingga tiga ratus ribu. Pernah juga suatu waktu, Mama memberi tiket masuk pameran sebagai alat tukar kerang kulit.
Adapun kesuksesan Mama yang kini menginjak usia tujuh puluh lima tahun tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Selain dukungan masyarakat, Dinas Kelautan Provinsi turut membantu usaha Mama karena karya Mama dinilai membantu daur ulang sampah. "Saya mendapat paket alat untuk mengolah kerang setelah festival di Tiongkok pada 2014," terangnya.Â
Tidak hanya alat, Mama juga diajarkan pengetahuan baru terkait pengolahan kerang sebagai bahan dasar kerajinan tangan. "Kerang dicuci dengan asam klorida (HCl) dan air, perbandingannya 3:1," tutur Mama, "kalau kerang sudah putih begini, dikeluarkan, lalu dicuci dengan deterjen. Dibiarkan kering dulu, baru dirangkai." Teknik ini membuat kerang berubah warna menjadi putih bersih dan siap ditransformasikan sesuai kebutuhan karya.
Konsep kolaborasi yang trending beberapa waktu belakangan ini rupanya telah diterapkan Mama sejak lama. "Saya bekerja sama dengan toko bangunan yang menjual bahan kimia, saya pesan HCl guna pembuatan karya," ucapnya. Demikian pula dengan beberapa jenis bahan yang terdengar asing dan jarang tersedia di Manokwari, Mama memanfaatkan tiap festival untuk mencari toko yang menyediakan. Trik ini juga dibagikannya pada peserta pelatihan yang diajar Mama.
"Saya memberi pelatihan kalau organisasi atau komunitas begitu minta diadakan pelatihan. Kadang di kampus juga, bagi mahasiswa penerima dana bidikmisi," ujarnya. Walau demikian, bukan berarti Mama mengerjakan usahanya tanpa tantangan. Diakui Mama, kemasan/packaging produk tetap dipertimbangkan dari waktu ke waktu.Â
Permintaan konsumen di luar kabupaten Manokwari hingga luar Indonesia cukup besar, sehingga memerlukan kemasan yang aman agar produk tiba tanpa kurang suatu apa pun. Selain itu, media sosial dapat dimanfaatkan lebih optimal. Sumber daya manusia (SDM) yang membantu Mama merupakan anggota keluarga, sehingga harapannya adalah dapat menambah pihak eksternal agar usaha semakin berkembang.
Mama menyadari, perjalanannya telah cukup jauh dan panjang, namun bukan berarti sudah sempurna. Bergabungnya Mama dalam organisasi Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) merupakan salah satu usaha demi memperluas pasar dan merambah peluang baru. Keikutsertaan dalam event, festival, bazar, pelatihan turut menjadi upaya Mama. Kecintaan dan bakat Mama di bidang industri kreatif, tepatnya kerajinan tangan, disebutnya sebagai berkat dari Tuhan. Tidak ingin menyimpannya seorang diri, Mama berharap semakin banyak masyarakat di Papua yang mengembangkan minat dan bakatnya.
Senyum Mama melembut kala menunjukkan salah satu karyanya, Burung Kasuari. "Kenapa bikin Kasuari? Karena ini adalah lambang Papua Barat," tersirat kebanggaan dari kalimat yang diucapnya tersebut. Tidak heran, karya Burung Kasuari ini kerap menjadi pilihan pelancong untuk cinderamata. "Papua punya banyak potensi. Layaknya biji buah yang jatuh menimpa tanah, kita manfaatkan secara bertanggung jawab untuk keuntungan bersama," tutupnya dengan senyum.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H