Maka saya menyimpulkan radikal berarti pemikiran dan tindakan yang dibangun atas dasar kesadaran kritis.
Lalu bagaimana seseorang menjadi radikal? Bagaimana seseorang dapat berfikir dan bertindak atas dasar kesadaran kritis?
Melalui dialog kritis, sebuah diskursus dengan refleksi dan aksi sehingga kita memiliki kesatuan realitas antara pengetahuan dengan kondisi yang sebenarnya. Tanpa melalui sebuah dialog dan hanya indoktrinasi sepihak akan menghasilkan realitas yang terpisah, antara pengetahuan yang diberi dengan kondisi yang dilihat.
Sebab setiap orang memiliki reaksi dan pemaknaan yang berbeda atas dunia, setiap manusia juga hidup dalam lingkungan dan kondisi sosial budaya yang berbeda juga sehingga dibutuhkan sebuah dialog agar kita dapat memahami realitas secara utuh.
Jadi, aneh sekali jika radikalisme diartikan sebagai pandangan yang sempit dan menolak keberagaman dan bahkan radikalisme dilawankan dengan pluralisme.
Gerakan sektarian berbasis agama diartikan sebagai radikal dan kemudian ditandingkan dengan gerakan sektarian lain dengan membawa atribut nasionalis dan plural. Polarisasi ini bukan hanya tidak melahirkan ruang diskursus, tetapi juga melahirkan ruang debat kusir berbasis identitas.
Saya rasa kita butuh untuk berhenti sejenak dari pertikaian-pertikaian publik dan mengartikan kembali apa yang dimaksud radikal. Setelah itu kita buka ruang-ruang dialog kritis antar kutub-kutub tersebut, barulah klaim diri sebagai radikal. Itu radikalisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H