Mohon tunggu...
winner wibisono
winner wibisono Mohon Tunggu... Lainnya - urban tramp

menggelandang sambil merayakan hidup

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sekarang Abad 21, Eranya Apa?

12 Agustus 2018   23:02 Diperbarui: 12 Agustus 2018   23:31 1993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam perjalanan sejarah gerak filsafat, awal abad ke 20 sudah dimulai era dari aliran post modernisme. Bergesernya dari pencarian esensi realitas yang universal dan objektif menjadi penginterpretasian realitas sosial yang multi dimensional dan subjektif. Dengan hakikat gerak yang sama namun dalam dimensi dan frekuensi yang berbeda.

Gerakan "post modernisme" pun lahir seiring dengan penetrasi kultur pop melalui media sebagai sentralnya. Pluralitas perspektif dan kebebasan berekspresi menjadi slogan dalam mengartikulasikan peradaban tersebut.

Musik alternatif, tren alternatif, counter culture adalah beberapa bentuk gerakan "post modernisme" dalam dinamika kultural, sebagai counter atas kultur pop yang disebarkan media mainstream dan ditegaskan oleh berbagai industri yang mendampinginya.

Namun, diskursus publik terjadi tanpa adanya perubahan consensus. "post modernisme" menjadi alternatif, namun secara "formil" kultur pop tetap menjadi pusatnya. Kelengkapan perangkat media serta sokongan industry mengukuhkan eksistensinya ditengah dinamika kultural tersebut.

Itu tadi merupakan ilustrasi sekitar abad ke-20. Abad ke-21 hari ini, ilustrasi tersebut masih sering dipakai dalam identifikasi realitas sekarang.

Padahal realitas hari ini telah mengalami perubahan yang begitu signifikan jika dibandingkan dengan masa-masa 1900an. Perangkat logis yang ada menjadi tidak relevan dengan realitas empirisnya.

Akibatnya narasi-narasi yang muncul dalam usaha membedah permasalahan dan kondisi hari ini seringkali hanya bersifat sloganistik dan normative.

Refleksi yang coba dilakukan pun hanya melahirkan romantisme sejarah tanpa mampu mengupas apa yang sebenarnya terjadi hari ini.

Ada banyak aspek yang perlu dibahas, akan tetapi dalam tulisan ini saya akan membahas seputar media dan kultur pop saja.

Mengenai alur tulisan ini pun sebenarnya saya kebingungan dalam meramunya, namun saya harap alur pembahasannya cukup sistematis dan komperhensif sehingga mudah dimengerti dan dapat digunakan dalam menerjemahkan aspek-aspek lain yang tidak dibahas dalam tulisan ini.

Seperti yang disebut sebelumnya, realitas hari ini telah mengalami perubahan signifikan dari era 1900an. Begitu pula dengan media mengalami perubahan yang signifikan.

Pada tahun 1900an, media mainstream seperti radio, televisi, dan surat kabar menjadi sumber informasi massal atas apa yang sedang terjadi di tengah masyarakat. Karena untuk mendirikan media membutuhkan modal yang besar maka varian yang ada pun terbatas.

Muatan yang ada antarmedia memiliki konten yang serupa, walaupun terkadang memiliki perbedaan perspektif (khususnya disebabkan oleh perbedaan afiliasi dalam hal politik) namun muatannya pada dasarnya memiliki warna yang sama.

Perannya sebagai sumber informasi dan terbatasnya varian saat itu, melahirkan keseragaman perspektif dan fakta realitas masyarakat.

Fenomena sosial, tren budaya, selera musik berpusat pada apa yang disajikan dari media. Media tidak hanya menjadi pusat informasi melainkan juga pusat peradaban.

Hari ini, abad 21, seiring dengan masifnya penggunaan gadget dan internet telah merubah konstelasinya menjadi lebih kompleks. Media sosial menjadi acuan tren yang berkembang. Dan dalam media sosial masyarakat berpartisipasi secara aktif, bukan hanya menyaksikan melainkan pula dapat langsung merespon apa yang disajikan melalui kolom-kolom komentar.

Masyarakat pun berpartisipasi dengan turut membuat konten serupa melalui medianya. Peran media yang sentralistik berubah menjadi lebih desentralistik dengan keterlibatan konsumen secara aktif.

Namun, walau demikian peran media mainstream tidak hilang secara serta merta. Media mainstream pun mengikuti pola-pola yang ada di media sosial, dan begitu pula sebaliknya media sosial merespons apa yang disajikan media mainstream.

Partisipasi aktif masyarakat dalam media sosial sangat mempengaruhi tren yang ada hari ini. Dari sini nampaknya konstruksi budaya akan benar benar merupakan hasil consensus masyarakat dari respon terhadap realitas. Namun, simpulan ini menurut saya masih terlalu cepat.

Pertama, dinamika ini berlaku pada masyarakat yang secara intens mengakses media sosial. Demografinya biasanya masyarakat perkotaan dengan rentan usia 12-35 tahun.

Di luar itu media mainstream seperti televise masih lebih dominan menjadi konsumsi sehari-hari. Walaupun ada hubungan saling mempengaruhi antara media mainstream dengan media sosial seperti yang dijelaskan diatas, namun bagi masyarakat yang tidak mengakses media sosial masih belum berpartisipasi secara aktif dalam consensus yang disebut sebelumnya.

Kedua, masyarakat yang berpartisipasi secara aktif dalam media sosial tidak benar-benar secara aktif menentukan pola tren yang terbentuk. Sebab, yang menentukan alur cenderung konten creator dengan follower banyak atau konten-konten viral. Yang lain cenderung hanya merespons dengan komentar atau membuat konten serupa. Masyarakat justru akan lebih terikat ketimbang ketika mereka hanya menjadi penonton televise, sebab respon yang secara langsung diberikan membentuk hubungan asosiatif yang lebih kuat sehingga menjadikan lebih terikat dengan poros-poros tren dalam media sosial.

Ketiga, seperti yang disebutkan sebelumnya yang dominan dan dapat menentukan alur tren dalam media sosial cenderung konten creator dengan follower banyak atau konten-konten viral. Konten creator semacam ini banyak di antaranya berasal dari publik figure yang besar di media-media mainstream.

Artinya, media mainstream sebagai sentral pada dasarnya masih berlaku, sebab actor-aktor utama dalam membentuk arus media sosial pun banyak berasal dari media mainstream. Dan hubungan saling mempengaruhi yang disebutkan tadi hanya menggambarkan instrument yang digunakan, sedangkan hulunya masih sama.

Di abad 21 dinamika kultural yang berlangsung melalui media sosial menjadi semakin banal. Sebab setiap tren dibenturkan dengan tren lain, tingkat ke-viral-an mengafirmasinya, dan begitu terus.

Benturannya begitu cepat, dalam hitungan hari bahkan jam tren dapat berubah. Tren yang muncul biasanya hanya sebatas sloganistik, permukaan saja. Saya menerjemahkan kultur yang dibentuk ini adalah sloganistic post-modernism.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun