Suatu hari, saya pernah didatangi oleh seorang pelajar Islam yang hendak berkonsultasi tentang suatu masalah. Saya pikir dia ingin berkonsultasi tentang pelajaran sekolah atau perihal kesehariannya. Rupanya bukan itu yang akan ia bahas dengan saya. Ia menanyakan suatu hal yang mungkin bagi kalangan pelajar Islam itu adalah persoalan yang tabu dan sangat tidak layak ditanyakan. Pertanyaan apakah itu? Ia bertanya tentang eksistensi tuhan dan urgensi orang memeluk suatu agama. Dirinya bertanya begini: bila orang yang beragama itu selalu melakukan keburukan seperti mencuri dan korupsi, lantas dimana peran agama yang katanya mengajarkan kebaikan itu? Akhirnya terjadilah diskusi panjang antara kami berdua, tentunya dengan saling berbantah-bantahan argumen.
Dalam tulisan ini tidak akan saya jelaskan apa isi perdebatan tersebut, karena itu mungkin bisa kita bahas dalam kesempatan lain. Mengapa? Karena ada satu hal yang lebih menarik untuk kita diskusikan bersama. Bagi saya pribadi, hal ini bisa menjadi tamparan keras bagi kita kaum pelajar Islam yang tentunya otomatis sebagai orang yang beragama. Apakah hal tersebut?
Dalam akhir diskusi, saya bertanya kepada si pelajar Islam ini apakah ia pernah menanyakan hal ini kepada orang lain? Ternyata jawabannya adalah pernah. Lalu saya tanyakan kembali kepadanya, mengapa Anda bertanya lagi kepada saya? Rupanya ia belum puas akan jawaban yang ia dapat. Dia menuturkan bahwa sebenarnya bukan jawaban yang ia dapat, namun justru makian dan ancaman. Beberapa orang yang dia tanya malah menyatakan bahwa dirinya telah kafir dan harus bersyahadat ulang! Padahal, lanjut dia, pertanyaan-pertanyaan ini muncul bukan karena ia tak percaya adanya tuhan serta menganggap agama tak penting. Bukan itu. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul hanya agar ia lebih mantap dalam bertuhan dan beragama.
Saya langsung teringat dengan kisah Nabi Ibrahim alaihissalam dalam surat Al Baqarah ayat 260 yang isinya kurang lebih seperti ini:
"Ibrahim bertanya kepada Tuhan: 'Wahai Tuhan, perlihatkan kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan sesuatu yang telah mati?' Tuhan berkata: 'Apakah engkau tidak percaya akan kuasaku?' Ibrahim menjawab: 'Tentu aku percaya, Wahai Tuhanku. Pertanyaan ini hanyalah agar lebih mantap hatiku dalam mengimani-Mu.'"
Ini hal pertama. Hal selanjutnya adalah perhatian saya kepada sikap orang-orang terhadap anak ini. Pelajar Islam ini hanya bertanya dan pertanyaan itu membutuhkan jawaban. Bukannya dijawab dengan argument yang rasional, tapi justru diberikan cap sebagai orang kafir. Apa ini yang menyebabkan pemuda-pemuda Islam saat ini mulai menjauh dari agamanya? Bisa jadi memang sebab mereka menjauh dari agama itu karena ulah para pemuka atau orang-orang yang paham agama itu sendiri. Ketika dihadapkan oleh pertanyaan yang memerlukan jawaban dengan argument yang rasional, karena kelemahan kita dalam bab tersebut, justru kita mengeluarkan jurus terakhir untuk membungkam mereka. Apa jurus itu? Ialah jurus mengancam mereka dengan cap kekafiran dan masuk ke dalam neraka. Dikiranya jurus ini akan membuat si penanya kembali kepada agama, tapi sayang-disayang justru membuat mereka jauh dari agama.
Kondisi seperti ini rupanya pernah disampaikan oleh Ir. Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia, dalam suratnya kepada A. Hassan -Pendiri Persatuan Islam (PERSIS)- yang ditulis pada 22 April 1936 ketika ia diasingkan di Ende, Nusa Tenggara Timur. Surat ini bisa Anda baca dalam buku berjudul "Di Bawah Bendera Revolusi". Di akhir-akhir surat itu beliau menulis begini:
"Apa sebab umumnya kaum terpelajar Indonesia tak senang Islam? Sebagian besar ialah oleh karena Islam tak mau membarengi zaman dan karena salahnya orang-orang yang mempropagandakan Islam; mereka kolot, mereka orthodox, mereka anti pengetahuan dan memang tidak berpengetahuan, takhayul, jumud, menyuruh orang bertaklid saja, menyuruh orang percaya saja -- mesum-mbahnya-mesum!"
Silakan saja Anda naik pitam dan tidak setuju dengan ungkapan Ir. Soekarno itu. Tapi, bila kita mau membaca dengan tenang, hati terbuka, pikiran yang jernih, dan akal yang sehat, tentulah pernyataan beliau ini ada benarnya juga. Sampai dewasa ini, masih ada saja umat Islam yang terlihat kolot, jumud, sering terpesona dengan cerita-cerita takhayul, hanya mau taklid saja, tidak mau menggunakan akal untuk berpikir jauh, bahkan sampai-sampai menolak ilmu pengetahuan baru. Mereka ini hanyut dan terlena dengan ilmu yang mereka tahu saja, tanpa mau menerima suatu hal yang baru. Inilah bibit-bibit orang yang ta'asub dan fanatik kepada golongan, mazhab, partai, dan kelompoknya saja.
Orang-orang ini lebih melihat agama Islam sebagai agama ritual saja. Al Quran sebagai kitab suci umat ini hanya dibaca huruf-hurufnya saja, tanpa direnungi makna dan hikmahnya. Kitab-kitab hadits itu hanya rutin dibaca teksnya, tanpa mau tergerak untuk menelaah lebih dalam isi dan kandungannya. Padahal kedua pusaka umat Islam itu bila dipelajari lebih dalam lagi akan didapatkan bahwa Islam tidak hanya mengurus perkara akhirat, tapi juga perkara dunia. Tidak kah Anda sering membaca Doa Sapu Jagat? Lihatlah bagaimana Allah memerintahkan kepada kita untuk menyeimbangkan antara perkara dunia dan akhirat, tidak berat sebelah.
Dan juga kaum-kaum ini menganggap bahwa penggunaan akal dalam beragama itu adalah hal yang sangat tercela. Selalu dibawa-bawa hadits Ali bin Abi Thalib dalam masalah mengusap khuf. Memang dalam hadits itu disebutkan bahwa agama itu bukan berdasarkan akal. Siapa yang berkata bahwa dalil agama adalah akal? Akal tetap harus digunakan untuk menimbang-nimbang dengan adil dan tenang akan dalil-dalil yang ada di dalam Al Quran dan As Sunnah. Sebagaimana pernyataan K.H. Imam Zarkasyi yang mengibaratkan dalil naqli (Al Quran dan As Sunnah) sebagai pelita, obor, atau pedoman, dan dalil aqli (akal) sebagai mata kepala yang hendak menimbang jalan yang telah ditunjukkan oleh pelita dan obor tadi.
Dalam masalah dalil naqli dan dalil aqli ini, tidaklah kita berpendapat bahwa akal itu maha segalanya. Ia tetap terbatas, karena tidak semua itu bisa diterima dengan akal. Seorang anak yang memiliki nilai ujian buruk itu ada yang naik kelas, dan anak yang memiliki ujian baik ada yang tidak naik kelas. Apakah itu masuk akal? Toh kita mengakui bahwa keterbatasan akal dalam memikirkan sesuatu itu adalah sebuah keniscayaan. Namun bukan berarti kita menafikkan peran akal dalam memikirkan sesuatu. Bukankah dalam Al Quran sendiri terdapat ayat-ayat yang menyuruh kita berpikir? Lantas kita akan berpikir dengan apa bila tidak dengan akal?
Tapi, bukankah sekarang umat Islam ini mengalami perkembangan yang pesat? Jika dilihat dari kuantitasnya, mungkin iya. Tapi bila dilihat dari kualitasnya, apakah bisa dibenarkan pernyataan itu? Mari kita lihat bagaimana kondisi umat saat ini yang amat mudah berpecah-pecah hanya karena perkara furu' atau cabang agama. Lihat apa yang selalu di bahas di awal-awal bulan Ramadhan? Tak jauh dari pembahasan hisab atau rukyat, rakaat tarawih 11 atau 23, buka puasa memakai kurma atau air putih, dan perkara-perkara furu'iyah lainnya. Adapun esensi, pelajaran, dan hikmah puasa malah dilupakan. Bukankah puasa itu berfungsi untuk menahan hawa nafsu? Tapi mengapa mereka justru berhawa nafsu untuk baku hantam dalam memperdebatkan perkara-perkara tersebut? Padahal, selain ini masuk ranah furu' yang tak perlu diperdebatkan lebih jauh, perkara-perkara sudah selesai di bahas oleh para ulama! Silakan Anda baca kitab-kitab para ulama yang berjilid-jilid itu! Tapi, apakah kita mau membaca?
Ini juga yang menjadi masalah umat Islam saat ini. Budaya literasi seperti baca-tulis dan diskusi sepertinya mulai surut. Kita terlalu suka dengan hal-hal yang berbau hiburan atau pemuas jasmani, dibanding pemuas rohani dan akal. Membaca buku atau artikel yang gratis tersebar di internet saja enggan, apalagi membeli buku? Padahal wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah "iqra" atau perintah membaca. Berarti, terserah Anda sepakat atau tidak, umat Islam yang enggan untuk membaca, berarti ia telah menolak wahyu pertama tersebut. Apa konsekuensinya? Anda bisa tafsirkan sendiri!
Baiklah kita mengakui bahwa masih ada umat Islam yang gemar membaca. Akan tetapi, tak sedikit pula dari mereka yang membaca itu tidak menggunakan akal pikirannya. Ia tidak bisa menimbang mana bacaan yang sahih dan mana bacaan yang salah. Akibatnya, asal ia ada di dalam kitab, maka itu benar. Padahal faktanya tidak bisa seperti itu. Apakah Anda berani menyatakan bahwa hadits-hadits dalam kitab kumpulan hadits-hadits palsu itu statusnya sahih? Pastilah tidak!
Dalam masalah ini, Syaikh Muhammad Abduh dalam mukadimah kitabnya "Risalah At Tauhid" pernah mengkritik umat Islam yang membaca kitab namun hanya berputar-putar dalam pembahasan makna lafadz, kata-kata, dan susunan bahasanya saja. Akhirnya mereka tidak mampu untuk mengambil intisari, pelajaran, dan ilmu dari kitab-kitab yang berharga tersebut. Singkat kata, bagi Syaikh Muhammad Abduh, mereka itu sebenarnya hanya mempelajari kitab dan bukan ilmu.
Sungguh sebuah ironi yang tragis bila umat Islam masih tenggelam dalam kondisi seperti itu. Padahal, ulama-ulama dan cendekiawan Islam masa lalu telah mencontohkan bagaimana ilmu itu benar-benar dijunjung tinggi. Mereka berhasil mengintegrasikan ilmu agama dan pengetahuan umum. Mereka berhasil menggunakan dalil naqli dan dalil aqli secara berkesinambungan. Akhirnya muncul lah ulama-ulama seperti Ibn Rusyd dan Al Ghazali yang berhasil menerangkan agama secara rasional dan sesuai dengan Al Quran dan Sunnah pula.
Sekarang, kembali ke pertanyaan sebagaimana judul tulisan ini. Bila pemuda Islam murtad, siapa yang salah? Silakan Anda renungi pertanyaan ini dan jawablah dengan lapang dada. Tulisan ini memang belum mencakup semua pembahasan. Tapi semoga ia menjadi mukadimah dan pemantik untuk tulisan-tulisan selanjutnya. Saya yakin tidak semua setuju dengan tulisan ini. Toh tulisan ini masih banyak kekurangan, kesalahan, bahkan mungkin kesesatan menurut pembaca sekalian. Silakan Anda memberikan pendapat, kritik, bahkan bantahan akan tulisan ini. Semoga itu menjadi diskusi ilmiah yang mengasyikkan bagi kita semua.
Namun, saya hendak mengajak kepada diri pribadi dan Anda sekalian untuk merenung dan mawas diri. Apakah jangan-jangan kita sebagai kaum beragama itu sendiri yang menyebabkan banyak pemuda Islam itu murtad? Allahu a'lam...
Ponorogo, 5 Juli 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H