Mohon tunggu...
Winka Nafi
Winka Nafi Mohon Tunggu... Guru - Hanya seorang guru yang masih berstatus murid

Hanya suka membaca suasana dan menuliskan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bila Pemuda Islam Murtad, Siapa yang Salah?

11 Agustus 2024   06:35 Diperbarui: 11 Agustus 2024   06:36 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dalam masalah dalil naqli dan dalil aqli ini, tidaklah kita berpendapat bahwa akal itu maha segalanya. Ia tetap terbatas, karena tidak semua itu bisa diterima dengan akal. Seorang anak yang memiliki nilai ujian buruk itu ada yang naik kelas, dan anak yang memiliki ujian baik ada yang tidak naik kelas. Apakah itu masuk akal? Toh kita mengakui bahwa keterbatasan akal dalam memikirkan sesuatu itu adalah sebuah keniscayaan. Namun bukan berarti kita menafikkan peran akal dalam memikirkan sesuatu. Bukankah dalam Al Quran sendiri terdapat ayat-ayat yang menyuruh kita berpikir? Lantas kita akan berpikir dengan apa bila tidak dengan akal?

Tapi, bukankah sekarang umat Islam ini mengalami perkembangan yang pesat? Jika dilihat dari kuantitasnya, mungkin iya. Tapi bila dilihat dari kualitasnya, apakah bisa dibenarkan pernyataan itu? Mari kita lihat bagaimana kondisi umat saat ini yang amat mudah berpecah-pecah hanya karena perkara furu' atau cabang agama. Lihat apa yang selalu di bahas di awal-awal bulan Ramadhan? Tak jauh dari pembahasan hisab atau rukyat, rakaat tarawih 11 atau 23, buka puasa memakai kurma atau air putih, dan perkara-perkara furu'iyah lainnya. Adapun esensi, pelajaran, dan hikmah puasa malah dilupakan. Bukankah puasa itu berfungsi untuk menahan hawa nafsu? Tapi mengapa mereka justru berhawa nafsu untuk baku hantam dalam memperdebatkan perkara-perkara tersebut? Padahal, selain ini masuk ranah furu' yang tak perlu diperdebatkan lebih jauh, perkara-perkara sudah selesai di bahas oleh para ulama! Silakan Anda baca kitab-kitab para ulama yang berjilid-jilid itu! Tapi, apakah kita mau membaca?

Ini juga yang menjadi masalah umat Islam saat ini. Budaya literasi seperti baca-tulis dan diskusi sepertinya mulai surut. Kita terlalu suka dengan hal-hal yang berbau hiburan atau pemuas jasmani, dibanding pemuas rohani dan akal. Membaca buku atau artikel yang gratis tersebar di internet saja enggan, apalagi membeli buku? Padahal wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah "iqra" atau perintah membaca. Berarti, terserah Anda sepakat atau tidak, umat Islam yang enggan untuk membaca, berarti ia telah menolak wahyu pertama tersebut. Apa konsekuensinya? Anda bisa tafsirkan sendiri!

Baiklah kita mengakui bahwa masih ada umat Islam yang gemar membaca. Akan tetapi, tak sedikit pula dari mereka yang membaca itu tidak menggunakan akal pikirannya. Ia tidak bisa menimbang mana bacaan yang sahih dan mana bacaan yang salah. Akibatnya, asal ia ada di dalam kitab, maka itu benar. Padahal faktanya tidak bisa seperti itu. Apakah Anda berani menyatakan bahwa hadits-hadits dalam kitab kumpulan hadits-hadits palsu itu statusnya sahih? Pastilah tidak!

Dalam masalah ini, Syaikh Muhammad Abduh dalam mukadimah kitabnya "Risalah At Tauhid" pernah mengkritik umat Islam yang membaca kitab namun hanya berputar-putar dalam pembahasan makna lafadz, kata-kata, dan susunan bahasanya saja. Akhirnya mereka tidak mampu untuk mengambil intisari, pelajaran, dan ilmu dari kitab-kitab yang berharga tersebut. Singkat kata, bagi Syaikh Muhammad Abduh, mereka itu sebenarnya hanya mempelajari kitab dan bukan ilmu.

Sungguh sebuah ironi yang tragis bila umat Islam masih tenggelam dalam kondisi seperti itu. Padahal, ulama-ulama dan cendekiawan Islam masa lalu telah mencontohkan bagaimana ilmu itu benar-benar dijunjung tinggi. Mereka berhasil mengintegrasikan ilmu agama dan pengetahuan umum. Mereka berhasil menggunakan dalil naqli dan dalil aqli secara berkesinambungan. Akhirnya muncul lah ulama-ulama seperti Ibn Rusyd dan Al Ghazali yang berhasil menerangkan agama secara rasional dan sesuai dengan Al Quran dan Sunnah pula.

Sekarang, kembali ke pertanyaan sebagaimana judul tulisan ini. Bila pemuda Islam murtad, siapa yang salah? Silakan Anda renungi pertanyaan ini dan jawablah dengan lapang dada. Tulisan ini memang belum mencakup semua pembahasan. Tapi semoga ia menjadi mukadimah dan pemantik untuk tulisan-tulisan selanjutnya. Saya yakin tidak semua setuju dengan tulisan ini. Toh tulisan ini masih banyak kekurangan, kesalahan, bahkan mungkin kesesatan menurut pembaca sekalian. Silakan Anda memberikan pendapat, kritik, bahkan bantahan akan tulisan ini. Semoga itu menjadi diskusi ilmiah yang mengasyikkan bagi kita semua.

Namun, saya hendak mengajak kepada diri pribadi dan Anda sekalian untuk merenung dan mawas diri. Apakah jangan-jangan kita sebagai kaum beragama itu sendiri yang menyebabkan banyak pemuda Islam itu murtad? Allahu a'lam...

Ponorogo, 5 Juli 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun