Mohon tunggu...
Windy Rachmawati
Windy Rachmawati Mohon Tunggu... wiraswasta -

menulis itu adalah bagian dari hidup...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keluh Kesah Si Supir Angkot

23 September 2013   10:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:31 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebuah kisah beberapa tahun yang lalu, ketika kami sekeluarga masih tinggal di Semarang, Jawa Tengah..

Siang itu, seperti biasa. Setelah puas bermain game di sebuah toko buku, aku dan Ica, anakku yang kecil, bergegas mencari angkutan umum untuk menuju ke sekolah. Menjemput Fia sang kakak, karena sudah pukul setengah dua.

Beberapa angkot lewat ,bukan jurusan yang kami cari. Akhirnya lewatlah juga satu angkot itu. Jurusan Karang Ayu - Penggaron, yang pasti lewat di Jalan Pamularsih, tempat sekolah Fia berada.
Baru mau naik, sang supir bertanya, " Mbak e mandap pundi?"

Mbak mau turun di mana, begitu kira-kira artinya. Pamularsih Pak, jawabku kemudian.
Kemudian sang supir diam. Kebetulan angkot yang kami tumpangi itu, kosong. Tak ada penumpang lain kecuali aku dan Ica.

Soon, I heard a vioce.
"Penumpange koyo taksi," ternyata pak supir bergumam. Penumpangnya seperti taksi. Maksudnya kan karena cuma aku dan Ica, angkotnya jadi seperti taksi. Mobil pribadi. Yang gak pake AC tapinya.

Aku tertawa. Kukira dia bercanda. "Sepi nggih Pak, penumpange?" Sepi pak, penumpangnya? Tanyaku begitu. Sekedar menyampaikan simpati kepada lesunya bisnis angkot beberapa saat ini.

Betapa tidak, angkot jurusan Karang Ayu - Penggaron ini seperti non stop, banyak pula. Jadi begini, dari Terminal Penggaron yang di Semarang Timur sana, dekat Plamongan Indah, where I live, itu si angkot ini jalan terus sampe Pasar Karang Ayu, di dekat jalan Siliwangi, Semarang Barat. Nah, yang biasanya dia bisa berhenti, ngetem di ujung pasar Karang Ayu untuk isi penumpang, sekarang bahkan sering tidak berhenti. Karena di ujung situ hampir tidak ada penumpang yang naik. Sehingga mostly si angkot ini langsung jalan terus aja lewat Pasar Karang Ayu, masuk ke Jalan Puspowarno, terus sampai Pamularsih, ke arah Kali Banteng. Di bundaran Kali Banteng, si angkot berputar ke arah sebaliknya, sehingga menuju ke Penggaron lagi. Jadi menurutku namanya harus ditambah menjadi Karang Ayu - Penggaron PP 24 jam..

Sepinya, adalah mostly, karena kehadiran si Bus Rapid Transit (BRT) - Trans Semarang, yang sudah murah, AC pula. Halte BRT ini bertebaran sepanjang terminal Mangkang - pusat kota - terminal Penggaron. Yang tentu saja memakan hampir separo trayek angkot Karang Ayu - Penggaron, itu menurutku. Tetapi, hidup adalah memiliki banyak pilihan. Jadi menurutku itu sah-sah saja, karena penumpang jadi bisa memilih. Toh, angkot memiliki beberapa kelebihan dibanding BRT, seperti bisa berhenti di mana saja sedang BRT harus di haltenya, bisa masuk ke jalan-jalan kecil di mana BRT tidak bisa, dan juga pake angin mbrobos untuk yang tidak tahan AC seperti dalam bis BRT.. hehehe.. Karena benar, bis BRT itu benar-benar dingin dan wangi di dalamnya. Ya itulah, pilihan. Toh aku yang juga hobi naik BRT masih suka naik angkot bila kebutuhannya tidak terserap oleh BRT kan.. Masih banyak juga orang yang lain yang juga membutuhkan angkot-angkot itu..

Thus, kembali pada urusan si supir angkot ini. Setelah aku bertanya basa-basi tadi, supir angkot ini bergumam tidak jelas, apa isi kalimatnya aku juga tidak bisa dengar. Selain di luar bising, dia bicara pelan, dan telinga juga sudah tidak bisa menangkap suara yang terlalu lembut seperti itu.. hehehe..
Tiba-tiba dia berhenti bergumam dan berultimatum.

"Mbak, mangke oper kemawon nggih. Kulo tak wangsul mawon, males narik sepi ngeten," katanya tiba-tiba. Artinya kira-kira adalah: Mbak, nanti oper ke angkot lain ya. Saya mau pulang saja, malas menyupir angkot ini bila sepi begini penumpangnya. Arti eksplisit sekaligus implisitnya.

Aku terkejut. Antara kaget, marah, disappointed, tidak terima. Langsung komentar, "Pak, pak... namine usaha nggih ngaten.."
Maksudku, namanya usaha ya begini. Maunya aku ngomel panjang lebar tapi males juga, kenal juga enggak. Yang bikin disappointed adalah, aku hadir di dalam angkotnya itu adalah sebagai penumpang, dengan anakku Ica. Kami pasti akan membayar.
Dan dia, tidak memaksimalkan ikhtiarnya dalam mencari uang hanya karena patah semangat, putus asa terhadap sepinya penumpang. Dia memutuskan sendiri bahwa penumpang ogah naik angkotnya. Atau naik angkot, kasarnya. Padahal dia tidak tahu. Di separuh jalan yang lain, bisa saja angkotnya akan penuh. Belum tahu apa yang akan terjadi, tapi dia sudah tidak mau berusaha.

Di perempatan berikutnya, dekat dengan tempat kami naik tadi, lampu merah menyala sehingga otomatis berhenti. Masih diulangi sekali lagi pernyataannya, bahwa aku harus turun oper ke angkot lain.
Serta merta aku bilang, "Pun pak, tak mandap mriki kemawon," kataku. Aku minta turun di perempatan itu saja.

"Sekedap niki tasih abang," sergahnya. Sebentar, katanya, masih merah lampunya. Aku melirik ke countdown timer di sisi lampu lalin. Masih 9 detik. Terlalu riskan dalam 8 detik berikutnya menarik Ica turun dan move to another angkot. Aku melihat ada satu angkot lagi di sebelah angkot yang aku tumpangi, tapi belum tentu itu angkot dengan jurusan yang sama. Posisinya terlalu maju untuk dapat kulihat jurusannya di kaca depan angkot itu.

Jadi aku mengalah dan diam saja. Begitu lampu hijau, dia tancap gas.
Lewat perempatan di depan BNI Syariah. "Pun Pak, mriki mawon." Udah disini saja, kataku. Dia masih ngeyel mode on.
"Mboten, teng ngajeng mriku mawon," jawabnya. Jangan, di depan situ saja katanya.
Depan mana pikirku. Otak gak mau rugi jalan.

"Mboten. Mriki mbayar mriku mbayar maleh. Pun, ra sah! Mriki mawon..!!"
Artinya gini, kira-kira. No! I don't want to pay to you and others. No way!! Drop me here!!!
Begitulah kira-kira arti maki-makiku.. Seketika dia mengerem dan ngepot ke kiri, minggir, sehingga aku harus memegangi anakku keras-keras, yang sayangnya aku pegang keras di pergelangan tangannya. Saking kagetnya aku sehingga aku ambil saja bagian yang terdekat. Aku takut anakkku terkilir tangannya, tapi untungnya tidak.

Dan turunlah kami berdua di situ. Ica ketakutan, terlihat dari raut wajahnya. Dia bertanya, kenapa Ma. Aku menjelaskan sekilas, bapaknya mau pulang, Dek, gak mau kerja lagi. Males. Ica terdiam.
Alhamdulillah, tak menunggu lama, munculllah angkot dengan jurusan yang sama. Kami naik.

Dan, sepanjang perjalanan menuju jalan Pamularsih, angkot yang kami naiki itu, hampir penuh. Orang naik turun silih berganti. Padahal di luar sana, saling bersalipan, angkot dengan jurusan yang sama, ditambah angkot trayek lain yang juga melewati jalan itu.

So?
Rejeki tidak akan ke mana-mana, sejauh kita mau berusaha. Janganlah memutus jalan rizkimu sebelum kau coba untuk menapakinya. Pasrah, hanya berlaku bila sudah dilakukan ikhtiar. Putus asa, selalu dibenci oleh Allah..

Mungkin aku dipertemukan dengan supir angkot ini sebagai pelajaran, pengingat untuk diriku sendiri. Bahwa usaha itu tidak boleh ada akhirnya. Bahkan dalam sakit dan sedih pun kita harus berusaha.
Sedihku yang lain, bila masyarakat di sekeliling kita adalah orang-orang yang seperti si supir angkot ini, mau kemana kita nanti? Memberdayakan masyarakat, menyemangati masyarakat, membantu mereka menjalani hidup ini, dan berbagi rizki, mungkin itu yang harus kita lakukan..

Dan, jangan pernah berhenti bersyukur, itu saja..

Alhamdulillah,
wind

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun