Mohon tunggu...
Windy Rachmawati
Windy Rachmawati Mohon Tunggu... wiraswasta -

menulis itu adalah bagian dari hidup...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keluh Kesah Si Supir Angkot

23 September 2013   10:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:31 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di perempatan berikutnya, dekat dengan tempat kami naik tadi, lampu merah menyala sehingga otomatis berhenti. Masih diulangi sekali lagi pernyataannya, bahwa aku harus turun oper ke angkot lain.
Serta merta aku bilang, "Pun pak, tak mandap mriki kemawon," kataku. Aku minta turun di perempatan itu saja.

"Sekedap niki tasih abang," sergahnya. Sebentar, katanya, masih merah lampunya. Aku melirik ke countdown timer di sisi lampu lalin. Masih 9 detik. Terlalu riskan dalam 8 detik berikutnya menarik Ica turun dan move to another angkot. Aku melihat ada satu angkot lagi di sebelah angkot yang aku tumpangi, tapi belum tentu itu angkot dengan jurusan yang sama. Posisinya terlalu maju untuk dapat kulihat jurusannya di kaca depan angkot itu.

Jadi aku mengalah dan diam saja. Begitu lampu hijau, dia tancap gas.
Lewat perempatan di depan BNI Syariah. "Pun Pak, mriki mawon." Udah disini saja, kataku. Dia masih ngeyel mode on.
"Mboten, teng ngajeng mriku mawon," jawabnya. Jangan, di depan situ saja katanya.
Depan mana pikirku. Otak gak mau rugi jalan.

"Mboten. Mriki mbayar mriku mbayar maleh. Pun, ra sah! Mriki mawon..!!"
Artinya gini, kira-kira. No! I don't want to pay to you and others. No way!! Drop me here!!!
Begitulah kira-kira arti maki-makiku.. Seketika dia mengerem dan ngepot ke kiri, minggir, sehingga aku harus memegangi anakku keras-keras, yang sayangnya aku pegang keras di pergelangan tangannya. Saking kagetnya aku sehingga aku ambil saja bagian yang terdekat. Aku takut anakkku terkilir tangannya, tapi untungnya tidak.

Dan turunlah kami berdua di situ. Ica ketakutan, terlihat dari raut wajahnya. Dia bertanya, kenapa Ma. Aku menjelaskan sekilas, bapaknya mau pulang, Dek, gak mau kerja lagi. Males. Ica terdiam.
Alhamdulillah, tak menunggu lama, munculllah angkot dengan jurusan yang sama. Kami naik.

Dan, sepanjang perjalanan menuju jalan Pamularsih, angkot yang kami naiki itu, hampir penuh. Orang naik turun silih berganti. Padahal di luar sana, saling bersalipan, angkot dengan jurusan yang sama, ditambah angkot trayek lain yang juga melewati jalan itu.

So?
Rejeki tidak akan ke mana-mana, sejauh kita mau berusaha. Janganlah memutus jalan rizkimu sebelum kau coba untuk menapakinya. Pasrah, hanya berlaku bila sudah dilakukan ikhtiar. Putus asa, selalu dibenci oleh Allah..

Mungkin aku dipertemukan dengan supir angkot ini sebagai pelajaran, pengingat untuk diriku sendiri. Bahwa usaha itu tidak boleh ada akhirnya. Bahkan dalam sakit dan sedih pun kita harus berusaha.
Sedihku yang lain, bila masyarakat di sekeliling kita adalah orang-orang yang seperti si supir angkot ini, mau kemana kita nanti? Memberdayakan masyarakat, menyemangati masyarakat, membantu mereka menjalani hidup ini, dan berbagi rizki, mungkin itu yang harus kita lakukan..

Dan, jangan pernah berhenti bersyukur, itu saja..

Alhamdulillah,
wind

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun