Memasuki akhir semester ganjil tahun ajaran 2022/2023 merupakan masa transisi dari masa pandemi covid ke masa pemulihan, termasuk didalamnya masa pemulihan pembelajaran. Dalam masa ini pula penerapan Kurikulum Merdeka Belajar mulai diberlakukan secara serentak di seluruh sekolah yang ada di Indonesia. Mulai dari sekolah yang diperkotaan hingga di pedesaan. Melalui Keputusan Kepala BSKAP tentang Satuan Pendidikan Pelaksana Implementasi Kurikulum Merdeka Melalui Jalur Mandiri pada Tahun Ajaran 2022/2023 Tahap I tertanggal 27 April 2022 (Berita Web Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi : 29 April 2022).Â
Ditegaskan oleh Anindito sebagai Kepala BSKAP ( Badan Standar, Kurikulum, dan Assesmen Pendidikan, bahwa "Kurikulum Merdeka dirancang untuk fleksibitas satuan pendidikan untuk membuat kurikulum operasional satuan pendidikan yang kontekstual, agar pembelajaran yang diterapkan sesuai kebutuhan belajar murid."(Dalam Siaran Pers Kemdikbudristek pada hari Jumat 15 Juli Tahun 2022)
Dengan Keputusan ini setiap sekolah diberikan keleluasaan dalam Implementasi Kurikulum Merdeka sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah terutama terkait dengan kebutuhan belajar murid. Cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui kebutuhan belajar murid salah satunya melalui penerapan assesmenn diagnosis non kognitif.Â
Assesmen diagnosis  non kognitif bertujuan untuk mengukur aspek psikologis dan kondisi emosional dari peserta didik sebelum memulai pembelajaran. Dengan demikian, pelaksanaan assesmen diagnosis non kognitif lebih menekankan pada kesejahteraan psikologis  dan emosi murid, aktivitas siswa selama belajar di rumah, kondisi keluarga murid dan gaya belajar yang dimili masing-masing murid.Â
Dan Guru Bimbingan Konseling melalui Layanan Bimbingan Konseling yaitu menghimpun data murid dalam  membantu pelaksanaan assesmen diagnosis non kognitif. Selain itu juga bisa digunakan assesmen yang biasa digunakan yaitu  Self Reporting Questionnaire (SRQ)  20 dan  sudah diterapkan di SMKN 5 Pangkalpinang.Â
Saat itu Guru BK banyak menemui kasus siswa yang sering sakit, sering tidak masuk tanpa alasan maupun masalah sosial lainnya seperti pergaulan bebas, LGBT ataupun Kekerasan dalam Berpacaran. Siswa-siswa dengan masalah tersebut diawali dengan gejala masalah psikis yang tidak stabil. Merasa tidak nyaman (insecure), mengalami kecemasan tinggi, stress, depresi, kepanikan tiba-tiba hingga yang ekstrim melakukan Self Harm ataupun melakukan percobaan bunuh diri. Akhirnya Guru BK mencoba melalukan assesment dengan Instrumen SRQ 20 secara manual dengan anak-anak mengisi Form Instrumen SRQ 20 ataupun juga dengan aplikasi pada android Sehat Jiwa yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan RI.Â
Assesmen ini bertujuan untuk mengetahui kesehatan mental murid secara sederhana. Assesmen SRQ berupa kuisioner yang dikembangkan oleh World Health Organization (WHO) untuk skrining gangguan psikiatri clan untuk keperluan penelitian. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menggunakan SRQ untuk menilai kesehatan jiwa penduduk Indonesia.
Melalui assesmen SRQ 20 Guru BK bisa mengetahui lebih jauh murid-murid yang membutuhkan layanan BK baik konseling individu maupun kelompok terutama untuk mereka yang memiliki kebutuhan gangguan kecemasan tinggi, depresi, stres hingga keinginan untuk melakukan self harm dan bunuh diri. Â Banyak butir pernyataan yang bisa dijawab murid dan memberikan informasi sejauhmana murid tersebut membutuhkan pendampingan secara psikologis dari Guru BK. Dari 35 siswa setiap kelas 30%-40% Â mengalami masalah kesehatan mental yang perlu segera ditangani baik oleh Guru BK maupun dengan bantuan referral ke ahli baik Psikolog maupun Psikiater.
Dengan assesmen diagnosis non kognitif berupa instrumen SRQ 20 ini juga Guru BK memperoleh banyak informasi mengenai murid yang membutuhkan support system dari lingkungannya, baik dari orangtua, guru sekolah maupun teman sebaya. Karena penyebab mereka mengalami masalah kesehatan mental bersumber dari lemahnya support system yang mereka miliki. Merasa tidak diterima, tidak dihargai, terabaikan, bahkan merasa mengalami abuse secara psikis membuat mereka semakin terpuruk jiwanya.Â
Perasaan-perasaan ini muncul setelah adanya pemikiran-pemikiran ataupun gambaran yang mereka bentuk dari penerimaan lingkungan terhadap dirinya. Menjadi pribadi yang over thinking, merasa insecure ataupun merasa tersisihkan semakin lama akan membentuk menjadi pribadi yang tidak percaya diri, mudah curiga terhadap orang lain, atau merasa bersalah secara terus menerus dalam setiap masalah yang dihadapi adalah ciri atau bentuk dari pribadi yang kesehatan mentalnya terganggu.
Fenomena ini banyak terjadi pada remaja atau murid kita di sekolah terutama sejak masa pandemi angkanya semakin bertambah. Kebebasan untuk berinteraksi, Â kesempatan untuk bertemu dengan teman dan dibatasinya akses untuk ke luar rumah semakin menambah anak menjadi pribadi yang tertutup.Â
Aktivitas keseharian lebih banyak dilakukan di dalam rumah dan kamar. Mereka lebih banyak berinteraksi dengan gadget dan teman-teman di media sosial saja. Orang terdekat di rumah termasuk orangtua, kakak adik ataupun anggota keluarga lainnya seringkali justru bukan menjadi teman pilihan bagi mereka.Â
Seringkali yang terjadi justru, orang terdekat menjadi sumber masalah kesehatan mental mereka. Kebiasan di dalam kamar dengan gadget sepanjang hari, rebahan seringkali menjadi pemicu pertengkaran dan berujung permasalahan yang membuat kesehatan mental mereka semakin terganggu.
Sehingga ketika mereka harus kembali ke sekolah, mereka membutuhkan waktu yang cukup lama untuk beradaptasi kembali dengan lingkungan. Pembelajaran tatap muka seperti sediakala secara bertahap tidak bisa menjamin mereka akan mudah pulih secara mental. Tetap dibutuhkan upaya yang berpihak pada siswa, salah satunya dengan secara berkala melakukan assesmen sebelum ataupun sesudah pembelajaran. Guru BK juga bisa membantu ketika layanan BK berlangsung baik saat layanan klasikal tatap  muka di kelas  berlangsung ataupun  saat kegiatan bimbingan kelompok di luar kelas.
Banyak tantangan yang akan dihadapi guru termasuk Guru BK dalam penerapan assesmen ini, di antaranya memang yang paling utama dibutuhkan mindset terbuka dan panggilan hati untuk siap melayani dan mendampingi mereka secara psikis. Siap untuk menerima mereka berbeda dengan teman lainnya yang secara mental tidak terganggu. Sekaligus juga siap memberikan treatment yang berbeda dalam proses pembelajaran, penilaian sampai akhirnya tetap menghargai serta meyakini mereka sebagai individu yang juga memiliki kemampuan untuk bisa bertahan menjadi lebih baik ke depannya.
Tantangan lainnya adalah ketika harus berhadapan dengan orangtua yang seringkali tidak menerima anak dengan masalah kesehatan mental lekat dengan image mengalami gangguan jiwa. Sehingga sulit bagi mereka untuk menerima bahkan mau menghadapinya secara tulus. Dari sekian banyak orangtua dengan siswa yang mengalami kesehatan mental, hanya sedikit orangtua yang bisa menjadi support system yang baik untuk anak mereka.Â
Mereka cenderung melakukan penolakan ataupun mendenial kenyataan yang dialami oleh anaknya. Seringkali justru mereka tidak menyadari bahwa sumber atau penyebab anak mereka mengalami kesehatan mental justru dari orang terdekat salah satunya orangtua.
Dengan semua tantangan ini, kita semua berharap guru dan pihak sekolah bisa tetap konsisten dan punya komitmen yang tinggi terutama terhadap tujuan dari Kurikulum Merdeka yaitu, membawa siswa menjadi bahagia dan selamat dalam mencapai cita-cita dan mimpinya di masa depan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H