Mohon tunggu...
Windi Ningsih
Windi Ningsih Mohon Tunggu... wiraswasta -

ordinary woman with extraordinary life ^^ windimagination.blogspot.com http://www.facebook.com/eka.windiningsih @windi_ningsih

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saat Seorang Pria Memiliki Kesempatan

29 Oktober 2015   09:46 Diperbarui: 29 Oktober 2015   10:01 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sedang sangat tertarik mendengarkan lagu Bruno Mars yang berjudul When I Was Your Man. Awalnya tak sengaja, dia ada di daftar yang berhubungan dengan lagu yang sedang saya dengar, Beyonce-if i were a boy. Saya coba klik vclipnya di youtube, dan mengalunlah lagu mellow yang menceritakan seorang pria yang sangat merasa kehilangan wanitanya. Dalam kesedihannya, semua hal yang dulunya selalu mereka kerjakan bersama sekarang tampak sangat menyedihkan dan membuatnya merana, terlebih lagi sekarang wanitanya sudah menemukan pria yang mencintainya.

Kadang mungkin seorang wanita mempertanyakan, apakah benar seorang pria bisa sebegitu kehilangan? Kehilangan wanitanya? Apakah bisa sebegitu dalam?

Wajar saja jika terbetik pertanyaan seperti itu, karena kita sering melihat pria sebagai sosok super yang tampaknya tak butuh apapun, apalagi ikatan.

Saya akhirnya bahkan sempat memiliki penilaian bahwa tak ada pria modern di zaman sekarang yang sanggup bertahan dalam sebuah ikatan pernikahan. Mereka terlalu ambisius mengejar mimpi. Mereka terlalu merasa penting. Mereka terlalu melihat diri mereka berharga bahkan untuk dimiliki oleh seorang wanita dan sebuah keluarga.

Oh well... Penilaian saya itu sepertinya sedikit demi sedikit terbukti. Bukti tidak ilmiah sih, karena saya hanya melihat berdasarkan kasus2 yang ada saja, tanpa dibarengi teori apapun apalagi sampai diteliti :D
Semakin banyaknya pernikahan yang berujung dengan perceraian karena (menurut sang istri) sang kepala rumah tangga tak memiliki banyak waktu untuk keluarga. Sang suami lebih banyak menghabiskan waktu di luar untuk mewujudkan mimpinya, terlupa bahwa ada orang2 di rumah yang butuh perhatian, pendidikan, dan kasih sayangnya.

Tapi tau tidak, tanpa kita sadari, mungkin pria-pria ini tak bisa disalahkan begitu saja. Lho kok?
Nih, coba deh sekarang diperhatikan baik-baik.

Sejak kecil saja mungkin mereka2 itu tak mendapatkan contoh nyata bagaimana semestinya seorang pria berlaku pada istrinya, bagaimana seorang ayah berlaku pada anak-anaknya, bagaimana seorang kepala keluarga memimpin keluarganya.

Dan tak ada pendidikan yang terintegrasi di sekolah yang membuat mereka berpikir bahwa mereka penting dan dibutuhkan di rumah, di keluarganya.
Yang ada adalah contoh (dan stigma) bahwa laki-laki sukses adalah mereka yang mampu mewujudkan impian mereka, yang mampu memiliki berbagai macam materiil terkini, yang mampu menjadi 'singa' di belantara kehidupan.

Diperparah lagi dengan nilai bahwa laki-laki yang berfokus pada keluarga adalah laki-laki yang takut istri dan mau2nya diperalat mengerjakan yang bukan tugasnya. Masih ingat status FB seorang gadis yang melihat seorang laki2 'sibuk mengurus' anak sementara istrinya berbelanja? Apa yg ada dipikiran sang gadis? Kasihan ya, cowok kok disuruh melakukan 'kerjaan' cewek! Itu nilai yang dianut masyarakat kita, tanpa sadar.

Wajar jika semakin banyak yang kehilangan sosok suami dan sosok ayah. Karena pria dicitrakan sukses jika ia sukses di karir.
Wajar jika akhirnya banyak gerakan 'ayah kembali ke rumah'. Karena memang sepertinya semakin banyak dan terus banyak lelaki/suami/ayah yang terlupa akan fitrahnya (kelak akan dibahas pula wanita/istri/ibu yang lupa akan fitrahnya).

Dunia saat ini begitu dahsyat menginstal pikiran manusia, begitu halus, begitu melenakan hingga tanpa sadar terbawa pada buaiannya.
Tanpa sadar kan, para suami-ayah semakin banyak di luaran. Semakin disibukkan dengan amanah di luaran. Sehingga hanya semangat sisa dan tenaga sisa yang mampu diberikan bagi keluarga di rumah. Hanya kesadaran setengah jiwa yang mampu dihadirkan untuk mendengarkan istri (yg mudah2an masih) dicinta.

Semua seperti berkomplot menjauhkan para ayah dari rumahnya. Hingga ada sebuah kalimat pemakluman yang terlihat mulia, "relakan berbagi suamimu untuk umat". Ini dahsyat banget ya, seolah ga boleh meminta waktu lebih dari para suami-ayah karena waktu mereka sangat berharga untuk umat.

Salah? Nggak sih sebenarnya. Kalau sebelum 'nyemplung' ke umat, para suami-ayah ini sudah mendidik dan mengkondisikan dahulu keluarga mereka. Sudah menyiapkan sebuah keluarga yang alih2 merongrong tapi justru mandiri bahkan mendukung penuh sang suami-ayah di luaran. Menjadi keluarga yang Tahan banting.

Ih berat amat jadi laki-laki?
Sejujurnya, iya. Maka sangat banyak keutamaan dan hak istimewa yang Allah berikan pada para pria dibandingkan para wanita. Salah satunya adalah kekuatan lebih banyak dibandingkan para wanita. Kekuatan pun bukan hanya dalam bentuk fisik (yang bak ade ray lho), tapi kekuatan mengelola emosi dan logika. Belum lagi keistimewaan mereka untuk ditaati dalam kebaikan, bahkan Rasulullah sampai bersabda, "jika seorang hamba boleh menyembah manusia, maka aku akan menyuruh para istri untuk menyembah suami mereka." Ini sangat memperlihatkan derajat kemuliaan seorang laki2 dibandingkan seorang perempuan dalam hal memimpin.

Namun perlu disadari, banyaknya hak istimewa akan diikuti oleh kewajiban. Kalau kata Paman Ben, "seiring datangnya kekuatan yang besar, akan datang pula tanggung jawab yang besar." Saya setuju!

Jadi sebetulnya tugas para pemuda ini sangat banyak sebelum mereka menjadi suami dan ayah. Agar ketika mereka berkreasi di luar sana, keluarga bisa mandiri mengurus keperluannya (ga sedikit2 minta ini itu pada mereka di luaran) bahkan bisa mendukung segudang aktifitas mereka di luaran yang sangat berat.

Jangan justru di dalam belum kuat, sudah mau membangun di luar. Pondasi dibetulkan dulu, baru kemudian membangun gedung. Jika tak dibetulkan, jangan harap mampu memiliki gedung yang tinggi menjulang, apalagi taman indah dan kolam2.

Ekstra kerja berat juga untuk mereka yang sebelumnya memiliki sandungan dalam keluarga. Pondasi awal yang goyah, harus dibangun lagi. Jujur saja, tak bisa berpijak pada pondasi lama, melainkan harus dibangun ulang atau diberikan suntikan. Dan itu butuh waktu yang lebih lama. Namun worth it, berharga. Dengan demikian rumah yang tercipta akan kokoh berdiri bahkan bisa menjadi gedung menjulang.

Bukan saya ingin mendikte para pria agar lebih bla bla bla... Namun tampaknya kita semua harus sadar dengan kemampuan yang kita miliki beserta amanahnya...
Karena semua ada tujuannya... Bukan semata dunia, namun lebih jauh dari itu...

Ah, saya tak pintar menyampaikan pikiran. Hanya bisa menceracau dalam potongan2 pikiran saya.
Saya mohon maaf atas kesoktahuan saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun