"Bulek ceritain pengalaman KKN bulek lah" sergah Alira, saat aku lewat membawa segelas es degan yang harusnya bisa dinikmati sambil menonton drakor. Sudah dua hari ini Alira rewel minta diceritakan pengalaman masa KKN. Entah dari mana anak umur 7 tahun ini mengerti istilah KKN.Â
"Mbak Lira tau KKN dari mana?" alias aku harus cari cara agar anak ini nggak menuntut diceritakan. Rasanya kurang pas jika mengenang hal baik saat cuaca terik. Apapun ceritanya, tetap kurang baik saat cuaca terik.
"Dari Kompasiana. Orang-orang pada nulis cerita KKN tau bulek. Ceritanya seru-seru. Bulek kan pernah KKN juga" katanya meyakinkan.Â
Alira memang hobi baca. Dari 3 keponakan, cuman Alira yang punya hobi membaca. Aku juga tau ada event cerita KKN di Kompasiana, tapi nggak nyangka ternyata cerita-cerita itu jadi bahan bacaan si bocil, sampai bikin dia penasaran cerita buleknya sendiri.
Bukannya tidak mau berbagi cerita ke Alira, tapi anak ini sulit merasa puas. Kalau sudah dengerin cerita, dia bakal minta diceritain lagi, diceritain lagi sampai rasa penasarannya tuntas. Masalahnya, mood sedang tidak bersahabat. Apalagi di cuaca se terik ini. Sebagai satu-satunya keponakan yang sering diusir dari kamarku, harusnya Alira tau ini bukan waktu yang tepat.Â
"Bulek ceritanya di kamar Lira aja. Kamar Lira kan ada AC nya. Nanti bulek boleh tidur siang di situ" katanya memberikan penawaran.
Lalu tiba-tiba kami sudah sampai di kamar Alira.Â
***
Apa kesan terakhir yang tertinggal setelah KKN selesai? Sebenarnya ada banyak dan sangat berkesan, tapi satu yang paling hebat adalah selama di sana aku tidak pernah kelaparan. Bukan cuman aku, tapi kami tidak pernah kelaparan.Â
Aku KKN di salah satu desa di Yogyakarta, yang lokasi tepatnya tidak bisa dijelaskan secara detail karena ini privasi. Tempatnya agak jauh di gunung, jalan yang lumayan curam dan jauh dari akses mana-mana. Saat pertama kali sampai lokasi, ada sedikit kekhawatiran tentang program kerja yang akan kami lakukan di sini. Medan jalan yang kurang bersahabat, rumah penduduk yang berjarak dan kami buta informasi.Â
Apa yang harus kami lakukan? Sedang menjalin keakraban antar anggota KKN saja sulit. Tapi, bukan KKN namanya jika tidak melewati semua masa canggung dan kurang bersahabat ini.Â
Secara kebetulan, desa tempat kami KKN adalah desa yang padat jadwal. Setiap minggu selalu ada kegiatan rutin yang diinisiasi oleh para pamong desa untuk menghidupkan tradisi.
"Kalau dilihat dari jadwal mereka, kayaknya kita ngga perlu bikin proker lagi deh" celetuk Mbak Lin yang kaget melihat padatnya kegiatan desa.Â
"Malam minggu rapat warga sekaligus perkenalan mahasiswa KKN, malam selasa kenduri di rumah Pak RT 03, malem kamis sholawatan di rumah Pak Rt 05, malam jum'at yasinan bersama di masjid kampung, malem sabtu simaan. Ini untuk satu minggu ke depan, minggu berikutnya berubah lagi jadwalnya" ujar Moris sambil membaca jadwal kegiatan kami selama satu pekan ke depan.
Jelas kami harus menyesuaikan semua jadwal ini, karena kami adalah mahasiswa KKN. Tapi, padatnya jadwal ini membuatku agak kagum dengan kekompakan di desa ini. Untuk wilayah yang jalannya curam dan banyak hutan, kegiatan padat seperti ini pun bisa terlaksana. Â
"Ini belum apa-apa, tunggu pertengahan bulan nanti, entah kita punya waktu istirahat apa nggak" tegas ketua posko yang sejak tadi pagi berkunjung ke rumah Pak Lurah. Kami tidak mencari tau lebih jauh tentang jadwal yang dikatakan Pak Ketua, karena rasanya pecuma juga kalau dibahas sekarang.
Nah, satu hal menarik dari desa ini adalah setiap kali ada acara, kegiatan desa, kumpul warga, rapat atau semacamnya, pasti selalu ada teh dan kopi hangat, kacang rebus dan roti-rotian yang siap tersaji untuk para tamu. Setiap kali kami berkunjung ke rumah warga, dimanapun lokasinya, pasti ada teh hangat dan cemilan-cemilannya.
Dan hebatnya lagi, jika ada pengajian, syukuran, khataman, tirakatan dan doa bersama saat ada yang meninggal selalu ada satu berkat nasi yang lengkap lauk pauknya. Satu berkat nasi cukup untuk dimakan orang 3.Â
Pernah dua minggu menjelang 17 an, ada jadwal padat sekali. Selama dua minggu full, dari pagi hingga malam, kami tak sempat masak untuk diri sendiri. Selama dua minggu itu, kami menyantap makanan dari satu acara ke acara lain. Tanpa henti.Â
"Aneh kalo ada yang bilang orang desa ngga mampu. Mereka tiap sedekahan aja nggak pernah tanggung-tanggung" kata Mbak Lin yang sangat salut dengan budaya, kekompakkan dan tradisi di desa ini.Â
Memang sangat tidak terduga. Apalagi kalau cuman dilihat sekilas mata.Â
"Kita pernah tau, 3 hari nggak masak karena dapet berkat dari acara lahiran. Terus dilanjut 3 hari nggak masak lagi karena dapet berkat dari acara sunatan. Bayangin, berkat mereka bisa tahan 3 hari. Gimana nggak banyak banget yang mereka kasih" timpal Mumu mendeskripsikan berapa banyak makanan yang kami terima selama ini karena aktif di kegiatan desa.
"Belum lagi kiriman-kiriman makanan dari warga sekitar. Apalagi pas jadwal kita padat banget kemaren itu, sampe ibu pun masakin buat kita" aku ikut menambahkan, yang sepertinya mereka lupa kalau kami pernah 2 minggu full bebas dari dapur dan sibuk melakukan ini dan itu sebagai makhluk sosial.
"Memang desa ini luar biasa banget sih. Nggak bakal laper KKN di sini" tutup Pak Ketua Posko yang datang tiba-tiba.Â
Karena penasaran dengan situasi yang ada, pernah satu satu kali aku sempatkan ngobrol dengan induk semang tentang kehidupan di desa ini. Mulai dari cara mereka mempertahankan tradisi sampai cara mereka menyeimbangkan hidup, antara makhluk sosial dan kehidupan profesional.Â
Di desa ini, semua orang seperti punya waktu yang dua kali lebih panjang daripada manusia di kota. Mereka bisa bekerja, mengurus rumah, ternak, pekarangan dan mengikuti berbagai kegiatan desa yang padat. Beberapa yang sudah aku lewati ada gotong royong, bersih-bersih makam, rapat warga, posyandu, nadoman, simaan, yasinan, sosialisasi, syukuran, cukuran, sunatan, kemalangan, penyuluhan, jalan sehat, tirakatan dan rangkaian kegiatan 17an hingga malam puncak.
Semuanya membutuhkan dana dan tenaga yang nggak sedikit. Apalagi setiap kali ada acara harus selalu ada makanan, minimal cemilan, teh dan kopi. Di tengah kesibukan ini dan itu, keseimbangan, semangat dan kekompakkan bisa tetap terjaga.
Aku menceritakan itu semua ke induk semang.Â
Dan katanya, "Syukurlah kalo mbak liatnya gitu. Ibu sempet khawatir mbak keteteran ngikutin kegiatan di sini, karena mbak ikut semua kegiatan di semua rt. Kalo ibu kan cuman ikut yang rt ibu aja." Sejujurnya aku tidak memikirkan ini karena selama ini kami langsung berangkat saja setiap kali ada aba-aba dari pak ketua.Â
"Kalo soal makanan itu untuk menghargai tamu mbak. Semuanya udah nyempetin datang, kumpul. Masak cuman ngeluarin air sama cemilan aja berat? Kan nggak enak sama tamunya" lanjut Ibu induk semang.Â
Aku tidak menanggapi lagi, karena sepertinya pertanyaanku sudah terjawab. Jadi daripada bingung memikirkan topik obrolan selanjutnya, aku memilih diam.Â
"Di sini suasananya masih desa mbak. Orang desa kalo ada tamu minimal kasih teh. Kalo mau masak bisa cari sayur ke ladang. Kalau udah biasa tinggal di desa, apa-apa bisa diolah mbak" lanjut ibu lagi, dan memang seperti itulah faktanya. Selanjutnya, beliau mulai menceritakan pengalaman pribadinya, tentang hidup, masa lalu dan cerita anak-anaknya.
Aku mendengarkan semuanya tanpa mengingat satu peristiwa pun yang beliau ceritakan sebagai bentuk penghormatan pada privasi beliau.
Tak terasa, masa KKN kami hampir berakhir, dan kesanku tentang desa ini tetap sama.Â
Kami tidak akan lapar di sini, selalu ada kebersamaan di sini, kehidupan, dan orang-orang yang menjaga tradisi lewat hidangan.
***
"Bulek, beneran yang diinget cuman makanan aja?" tanya ponakan yang dari tadi menyimak cerita KKN karanganku,
Aku sudah menduga dia akan menanyakan ini tapi tetap saja pertanyaannya membuatku nggak mood.Â
Bukan dia yang salah, karena memang fokus cerita ini tentang makanan. Tapi, aku sulit mengendalikan gejolak kurang suka yang muncul karena pertanyaannya.Â
Seandainya bisa, aku ingin segera kabur dari kamar ini dan melanjutkan sisa hari dengan tenang.
"Itu yang paling berkesan menurut bulek, Mbak Lira" ucapku pura-pura tidak peduli, padahal dalam hati berharap ia segera paham dan membiarkanku tidur.Â
"ya udah kalo gitu, bulek tidur dulu, nanti malem cerita lagi ya, Lira tunggu. Toh, bulek kalo tidur kan nggak lama" katanya menutup percakapan lalu pergi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H