"Permisi ya kak" katanya sambil meletakkan tas gendong di dekat kakiku. Ia seperti orang yang akan melakukan perjalanan jauh, tasnya penuh sekali.
"Mau mudik kak?" tanyaku basa-basi, nggak mungkin aku penasaran dengan kehidupan pribadinya.Â
"Nggak, saya mau merantau. Kebetulan kemarin keterima kerja di Ibu Kota, jadi ini mau berangkat ke sana. Kakaknya kerja juga?"Â
Aku sedikit menggeser posisi dudukku agar bisa lebih leluasa ngobrol. Sepertinya ia perempuan yang ramah dan enak diajak ngobrol.Â
"Iya, saya freelancer" jawabku sambil menurunkan hp. Tidak sopan jika ada orang berbicara, aku tetap memegang hp. Kira-kira begitulah prinsipnya.
"Loh, freelancer pergi-pergi juga?" tanyanya kaget. Ini reaksi yang wajar, rasanya hampir semua orang kaget karena jawaban tadi.
"Iya, sengaja. Orang rumah taunya kerja itu pergi dari rumh. Kalau saya nggak keluar, mereka bisa salah paham. Biasanya malah nggak toleran. Sudah tau lagi ada kerjaan tetap disuruh ini dan itu."
Dia tertawa sebentar sambil menutupi mulutnya pakai salah satu telapak tangan, "ya layaknya orang tua ya kak. Saya juga gitu, makanya milih cari kerjaan lain dan pindah ke ibu kota. Kalo nggak, nggak bisa fokus kerja. Padahal semakin tua kebutuhan hidup semakin banyak."
"Kok bisa dapet izin ke Ibu Kota? Apa emang orang tuanya nggak ngelarang?" sekarang aku penasaran.Â
"Orang tua awalnya nggak boleh, tapi aku bujuk terus. Kemarin sore masih belum boleh, katanya pertimbangkan lagi, perempuan sendirian di ibu kota, nanti hidupnya gimana. Paham kan kak? Mereka cuman khawatir. Aku mengerti perasaan mereka tapi bagiku hidup bukan tentang memahami perasaan orang lain dan menurutinya. Sesekali aku juga harus meyakinkan kalo semuanya baik-baik saja. Dan di sinilah aku sekarang."
Perempuan ini berbicara dengen suara sedang yang terdengar berapi-api. Kalau kamu bisa mendengar suaranya dan bagaimana ia menjelaskan sesuatu, kamu pasti akan melihat seberapa percaya dirinya ia dengan pilihannya.Â