Mohon tunggu...
Windi Meilita
Windi Meilita Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Content Writer

Introvert muda yang senang menghabiskan waktu di kamar sambil scroll layar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Terminal 01, Bukan Cerita Romantis

14 April 2024   10:49 Diperbarui: 14 April 2024   11:14 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perempuan foto di kaca terminal (pexels.com/Foto oleh Ayenaz  Bilgin)

"Saya penasaran dengan beberapa hal lalu saya mencobanya, begitulah cara saya hidup" ucap seorang anak muda yang sedang berdiri di dekatku. Aku tidak bermaksud menguping tapi memang suaranya terdengar cukup keras, apalagi jarak kami hanya sekitar 5 meter.

Terminal ini setiap sore memang selalu ramai, ngga heran kalau ada orang yang nggak sengaja bertemu jodohnya di tempat ini. Tapi aku berharap itu cukup jadi cerita orang lain saja. Biarkan aku dengan cerita jodoh dan perjuanganku sendiri. Toh setiap orang punya ceritanya masing-masing.

Terminal tempat aku ngga sengaja mendengar suara anak muda tadi adalah tempat berkumpulnya semua orang yang ingin hilir mudik, dari satu kota ke kota lain. Lokasinya tepat di tengah-tengah, jadi semuanya berkumpul ke sini jika ingin berpindah kota.

Sebenarnya terminal ini selalu ramai sepanjang hari, dari pukul 07.00 sampai 19.00 jadwalnya selalu padat. Setiap 10 menit sekali selalu ada bus baru yang datang untuk mengangkut dan mengantarkan penumpang. Kabarnya ada sekitar 30 bus yang beroperasi setiap hari demi kelancaran waktu bersama.

Kenapa harus bus? Di provinsi tempatku tinggal ada satu kebijakan yang nggak boleh diubah bahkan setelah 5 kali ganti pemimpin, yaitu kami nggak boleh menggunakan kendaraan pribadi jika jarak perjalanan kurang dari 60 km. Yash! Bus-bus di sini beroperasi hingga jarak 60 km setiap harinya.

Rasanya memang kurang efisien, tapi berkat kebijakan ini kami jadi lebih tertib dan menghargai waktu. Secara pribadi aku merasa begitu. Bagaimana tidak, kalo kami ketinggalan bus di jadwal berangkat kami maka kami harus menunggu 10 menit lagi dan itu akan menyebabkan keterlambatan 10 menit di jadwal kami, jika jadwal itu sudah mepet.

Begitulah kira-kira gambarannya. 

Ada banyak cerita yang terjadi di terminal ini, mulai dari aku yang selalu marah-marah karena sering ketinggalan bus sampai aku yang akhirnya mengerti jadwal bus setiap harinya. Pemahaman ini cukup membantu, terutama soal mengatur waktu. 

"Bulek tenang saja. Saya ngga akan aneh-aneh di sini. Ada banyak orang yang akan menjaga saya" ucapnya sambil melirk ke arahku. Tak sengaja pula aku sedang melihat ke arahnya, yang akhirnya mata kami bertatapan. Bukan kejadian romantis. 

"Saya bersama teman, berbicaralah dengan santai" lalu tiba-tiba ia mengarahkan handphone nya ke aku sambil berekspersi meminta pertolongan.

Aku bingung. Tapi sebagai orang dewasa, aku merasa tidak harus bersikap ekspresif. 

"Selamat sore" ucapku. Sejujurnya aku heran, kenapa anak ini harus berbicara menggunakan bahasa baku padahal intonasinya terdengar aneh. Lalu saat mendengar suara di ujung telepon, keherananku semakin menjadi-jadi. Suara di ujung telepon malah menggunakan bahasa Inggris yang nggak kupahami.

Anak muda itu langsung mengeluarkan kertas lalu memintaku membacanya 

"jangan khawatirkan keponakan Anda karena di sini kami akan menjaganya dengan baik. Terima kasih sudah merawat Bobi kami dengan penuh perhatian. Sampai jumpa di lain waktu." Lalu telpon itu dimatikan. Rasanya seperti ada yang salah karena telponnya tiba-tiba mati, tapi sepertinya anak muda yang sepertinya bernama Bobi ini sudah biasa mengalami keanehan serupa.

"Terima kasih kak, kalo boleh tau namanya siapa?" tanyanya sambil mengambil telepon yang ada di tanganku.

"Itu tadi siapa?" Di situasi seperti ini bukankah lebih baik kalau aku mengetahui keadaannya daripada menjelaskan siapa aku? Sepertinya memang begitu.

"Orang asing. Aku selalu berpindah dari satu kota ke kota lain sambil menumpang hidup di rumah orang yang baru kukenal. Aku ngga pilih-pilih, asalkan mereka welcome maka aku akan melakukan hal yang sama. Nah, aku selalu mengalami ini setiap pindah kota. Katanya mereka khawatir terjadi sesuatu."

Aku hanya menanggapinya dengan mengangguk, karena rasanya sudah cukup info yang kubutuhkan. Aneh sekali sore ini, biasanya menunggu 10 menit bukan waktu yang lama, tapi sore ini justru terasa sangat lama. Bahkan anak muda ini bisa mengeluarkan kalimat sepanjang itu. 

"Kakak tinggal di mana, aku boleh ikut ke rumah kakak?" tanyanya lagi. Mendengar suaranya yang hangat, wajar saja ia bisa mendapat tempat tinggal dengan mudah. Energinya positif dan suaranya terasa akrab. Sepertinya orang yang baik juga. 

"Maaf, tapi nggak boleh. Kamu cari tumpangan di rumah orang lain aja" sayangnya aku agak kurang suka orang asing. Sebaik apapun penilaianku tentangnya.

"Wah, ini pertama kalinya aku ditolak. Apa aku mengganggu?" 

Aku menghembuskan nafas mendengar pertanyaannya. Dia pasti sudah sering diperlakukan begini, karena itu wajahnya tetap terlihat gigih. 

Tapi inilah hidup. Seramah apapun kamu dengan orang lain, dunia nggak selalu berjalan sesuai keinginanmu. Aku sudah berdamai dengan hal ini dan pastinya ia pun sudah melakukan hal yang sama. 

"Baiklah, aku nggak akan memaksa. Terima kasih kakak sudah menolongku tadi. Lain kali kalo kita ketemu lagi, kakak kasih tau nama kakak ya." Dia melihat jam tangannya sebentar, "sebentar lagi bus kakak datang. Mau naik bareng?"

Dan tetap nggak kujawab. 
Sesuai perkiraannya, sebentar lagi bus antar kota datang. Para penumpang sudah mulai berdiri dan mengantri masuk. Termasuk anak muda ini. 

Saat semuanya sudah masuk, aku tetap di tempatku. Boby melihatku dari kaca jendela dengan wajah bertanya-tanya. Terlihat alisnya berkerut melihatku dan aku tetap melihatnya dari tempat dudukku.

Tanpa sadar aku tersenyum ke arahnya, ia terlihat kaget. Seperti melihat sesuatu yang asing. Kira-kira seperti itulah ekspresi mukanya. Lalu aku menganggukkan kepala dan berlalu pergi.

Ini kotaku. Aku nggak perlu naik bus lagi.
Sama seperti dia yang punya kebiasaan aneh. Aku juga begitu. Setiap sore, selama setengah jam aku duduk di terminal tanpa tujuan. 

Entah untuk apa. Tapi begitulah aku. 
Dan dia tersenyum saat aku melihatnya sekali lagi sebelum melangkah pergi meninggalkan terminal.

Sekali lagi, ini bukan cerita yang romantis. Dan bukan cerita jodoh. Dia hanya bagian dari cerita tentang terminal yang kebetulan menjadi bagian dari ceritaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun