Mohon tunggu...
Windi Meilita
Windi Meilita Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Content Writer

Introvert muda yang senang menghabiskan waktu di kamar sambil scroll layar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Leinkara dan Niskala

1 Februari 2024   10:49 Diperbarui: 3 Februari 2024   21:00 1190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Leinkara dan Niskala (Pexels.com/Clay Kraze)

"Namanya Leinkara dan ini Niskala."

Seperti itulah caraku mengenalkan dua kucing kecil yang sudah aku asuh 6 bulan terakhir ini. Dua kucing yang lahir dari ras berbeda, dan biasanya orang-orang lebih penasaran pada Leinkara. Keduanya tetap kucing kampung yang biaya perawatannya nggak terlalu mahal.

Menu makanan mereka setiap harinya persis seperti menu makanku, jadi tidak ada biaya tambahan dalam jenis apapun. Dan syukurnya, mereka sudah mengerti cara buang hajat yang tepat tanpa harus diajarin.

"Menurutmu mana yang lebih manis dari dua kucing ini?" Aku menoleh ke Leinkara dan Niskala, berbarengan dengan mereka yang melirik ke arah sumber makanan yang baru tiba.

Ada seorang ibu baik yang setiap harinya menyisihkan sedikit makanan untuk mereka berdua. Sebagai pengasuh dua kucing ini, tentunya aku sangat tidak keberatan, apalagi makanan kucing yang diberikan memang enak.

Hanya saja, ibu ini nggak pernah tau kalo dua kucing ini berada di bawah pengasuhan ku. Ia memperlakukan Leinkara dan Niskala seperti kucing liar yang mendapat belas kasihan orang lewat, padahal mereka punya pengasuh.

Tentu saja, aku tidak peduli soal itu. Poin pentingnya tetap sama, yang penting Leinkara dan Nisakala kenyang. Mereka tidak diracun dan masih hidup, setidaknya sampai hari ini.

"Aku ngga pernah beda-bedain mereka." Caca tau itu jawaban yang jujur. Aku memang ngga pernah beda-bedain mereka. Keduanya sama di mataku. Bukan sama-sama manis, tapi sama-sama biasa aja. Ya selayaknya kucing aja.

"Kayaknya banyak yang penasaran soal Leinkara daripada Niskala."  Caca berkomentar tanpa memalingkan wajah dari posisi Leinkara dan Nisakala. Pandangannya tertuju pada satu titik, seolah memintaku untuk melihat ke arah yang sama, juga.

Akhirnya kami mengamati dua kucing kecil yang sibuk dengan makanannya.  Keduanya makan dengan lahap.

Sesuai komentar Caca, ibu itu melakukan hal yang sama seperti orang-orang lain. Orang-orang yang penasaran pada Leinkara. Entah bagaimana, Leinkara selalu berhasil menarik perhatian orang tanpa usaha ekstra.

Contohnya saat ini, padahal Leinkara dan Niskala duduk berdampingan tapi tatapan ibu hanya tertuju pada Leinkara. Hanya Leinkara yang terus dielus-elus. Seperti tidak ada Niskala di sampingnya.

"Iya memang, Leinkara lebih sering ditanyain. Tiap ada yang dateng selalu Leinkara yang ditanyain."

Kadang aku juga penasaran, apa kucing bisa punya rasa cemburu atau iri kayak manusia? Kalau punya, jelas Niskala bersikap sangat dewasa untuk menutupi perasaannya. Atau justru Niskala bersikap sangat apatis pada hal-hal di sekitarnya.

Sejauh yang aku tau, Niskala agak kurang peduli soal kasih sayang atau pilih kasih. Ia selalu menerima makanan dari siapapun tanpa pilih-pilih, Niskala bahkan bisa makan sayur-sayur mentah. Sesuatu yang nggak bisa dilakukan Leinkara.

"Kalau Niskala itu manusia, mungkin dia udah kecewa banget ya" ujar Caca tiba-tiba. Kalimatnya seperti mendukung semua kemungkinan-kemungkinan yang sejak tadi aku bahas di dalam pikiran.

"Kok gitu?" tanyaku basa-basi.

"hmmm? ya sewajarnya manusia aja, kalo diabaikan terus, hidupnya jadi cuman sekedar bertahan hidup aja." Caca menikmati pemandangan yang ada di depannya. Ia sangat suka kucing. Aku bisa melihat itu di matanya yang berseri setiap kali menatap kucing.

Soal komentarnya tadi, sepertinya aku hampir sepakat, tapi ternyata sulit menerima fakta soal Niskala yang nggak punya semangat hidup. Sebagai pengamat aku setuju dengan pendapatnya, tapi sebagai pengasuh dari dua kucing itu, rasanya sulit menerima fakta tadi.

Bukan karena aku gagal mengasuh, aku hanya merasa gagal memahami, padahal Niskala di bawah pengasuhanku.

Selama ini aku hanya berusaha menunjukkan ke orang-orang kalau aku tidak seperti mereka, berusaha bersikap adil antara kedua kucingku dan mengenalkan keduanya tanpa pilih kasih. Aku mengira, sikap itu sudah menjadi sikap terbaik yang bisa kuberikan, terutama untuk Niskala.

Ternyata, aku sama aja seperti orang-orang. Aku nggak memahami titik masalahnya dan sikapku mengecewakan. Rasanya menyedihkan dan berat.

Tiba-tiba Niskala melihat ke arahku.

"Katanya kucing termasuk hewan yang instingnya kuat. Mereka bisa ngerasain perasaan manusia. Kalo kamu kesepian, dia bakal sering muncul di sekitarmu dan ndusel-ndusel ke kamu gitu" ujar Caca lagi.  "Mungkin dia sadar lagi diomongin, tiba-tiba dia liat ke sini."

Caca sama sekali nggak memalingkan pandangannya dari Leinkara dan Niskala. Pun Niskala kembali sibuk dengan makanannya. Pikiran ini berusaha keras ingin menanggapi Caca tapi rasa bersalahku ke Niskala masih belum hilang. Ngga ada satu jawaban pun yang muncul untuk menanggapi Caca.

"Gimana rasanya punya dua kucing yang beda ras gitu?" Kali ini posisi duduk Caca agak berubah. Bukan hanya wajahnya aja yang ditolehkan, tapi seluruh badannya. Rasanya, waktu untuk memahami Leinkara dan Niskala sudah selesai. Kini waktunya ngobrol antar sesama perempuan.

Caca sebenarnya ingin bisa memelihara kucing tapi keluarganya punya alergi bulu kucing. Caca juga nggak bisa membersihkan bekas kotoran kucing, jadi dia cuman bisa mampir sebentar seperti ini sambil ngobrolin ini dan itu.

"Rasanya kayak lagi ngurusin dua anak yang beda" aku masih belum mau mengalihkan pandanganku dari dua kucingku yang duduk di luar pagar. Kalau biasanya aku senang melihat mereka diperhatikan orang lain, detik ini rasanya agak kurang ikhlas.

"Pasti sih. Pertanyaanku template banget ya." Aku menoleh ke Caca dan tertawa. Suasananya jadi lebih cair karena Caca mulai ngoblin tugas kuliahnya, orang-orang di rumahnya dan merekomendasikan tempat makan yang baru-baru ini ia coba.

Kami seperti larut dalam obrolan yang lumayan hangat ini tapi diam-diam aku masih memikirkan Niskala dan berharap bisa memahami Niskala lebih baik lagi. Aku nggak tau gimana cara minta maaf ke Niskala dan mengurangi penyesalanku. Sesaat aku ingin Niskala bisa memaklumi, sesaat lainnya aku berharap Niskala bisa paham penyesalanku tanpa harus kukatakan. Dan sesaat lainnya, aku merasa sangat bodoh.

Apa hampir semua orang tua merasakan ini setiap kali merasa bersalah pada anaknya? Berat sekali menjadi orang tua.

Kalau rasa bersalah pada Niskala aja bisa seberat ini, gimana rasa bersalah ke anak sendiri?

"Ca, kamu ada rencana punya anak nggak?" tanyaku tiba-tiba.

"Eh, kok tiba-tiba jadi bahas anak?" Aku pun mempertanyakan hal yang sama. Kenapa pertanyaanku begitu tiba-tiba.

Caca membuang nafas agak berat, lalu melanjutkan ucapannya "Aku sempat ingin free child. Mau gimana pun, aku punya alasan yang kuat dengan semua pengalaman yang kelurgaku kasih ke aku. Kalo nantinya aku memperlakukan anakku kayak orang tuaku memperlakukan aku, bukannya lebih baik dia nggak usah lahir aja? Dunia ini terlalu berat untuk anak yang kisahnya kayak aku."

"Sorry Ca." Suasananya jadi aneh karena aku. Padahal sampai tadi kami masih baik-baik saja dan pikiranku masih sibuk karena ketidak becusanku memahami Nisakala. Sekarang jadi bertambah satu hal lagi.

"Kok sorry. Biasa aja. Toh itu pikiranku dulu. Setelah dipikirin ulang, aku sekarang pengen punya anak. Aku punya kesempatan membangun sesuatu yang baru dan lebih matang. Aku juga udah memaafkan orang tuaku. Kamu nggak perlu ngerasa bersalah, okey." Katanya sambil menepuk-nepuk punggungku.

Lalu Caca sibuk menceritakan pacarnya yang mulai menunjukkan gelagat aneh. Kisah asmaranya baik-baik aja, tapi kayak ada hal serius yang disembunyikan. Intinya begitu, katanya. Tapi Caca nggak mau ambil pusing, ia ingin fokus pada keadaannya saat ini.

"Kalo aku punya kucing juga, mungkin aku bisa latihan memahami anak kek kamu juga. Tapi, ya ada beberapa hal yang ngga bisa ditawar." Katanya untuk menutup mampirnya kali ini.

Leinkara dan Niskala sudah balik ke kandang masing-masing sejak 1 jam lalu. Mereka langsung tidur karena kelelahan. Katanya siklus hidup kucing memang untuk tidur. Aku juga baru tau ini setelah punya mereka.

"Menurutku, lebih baik langsung punya anak aja sih Ca. Memahami anak dan memahami kucing, kan beda." Caca nggak menjawab apa-apa. Dia langsung pamitan dan bilang sekitar dua minggu lagi akan mampir lagi.

Setelahnya, rasa bersalah ke Niskala muncul lagi. Aku pengasuh yang buruk, bahkan yang lebih buruk dari itu aku justru baru tau kalo aku pengaruh yang buruk. Aku ingin mengurangi rasa bersalah ini, tapi nggak tau caranya. Meminta maaf bukan hal yang diajarkan orang tuaku. Sesalah apapun mereka, mereka nggak pernah minta maaf.

Apa mereka ngerasa seberat ini juga setiap kali menyadari sesuatu yang salah dari cara mereka merawat anak? Entahlah.

Aku ingin minta maaf pada Niskala, tapi semakin dipikirkan rasanya justru semakin berat. Aku ingin Niskala bisa memahami sendiri kalau aku merasa bersalah. Tapi Niskala kucing.

Aku nggak tau harus berbuat apa. Selain intropeksi diri, nggak ada hal lain yang bisa aku lakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun