Mohon tunggu...
Windi Meilita
Windi Meilita Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Content Writer

Introvert muda yang senang menghabiskan waktu di kamar sambil scroll layar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Leinkara dan Niskala

1 Februari 2024   10:49 Diperbarui: 3 Februari 2024   21:00 1189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Leinkara dan Niskala (Pexels.com/Clay Kraze)

Ternyata, aku sama aja seperti orang-orang. Aku nggak memahami titik masalahnya dan sikapku mengecewakan. Rasanya menyedihkan dan berat.

Tiba-tiba Niskala melihat ke arahku.

"Katanya kucing termasuk hewan yang instingnya kuat. Mereka bisa ngerasain perasaan manusia. Kalo kamu kesepian, dia bakal sering muncul di sekitarmu dan ndusel-ndusel ke kamu gitu" ujar Caca lagi.  "Mungkin dia sadar lagi diomongin, tiba-tiba dia liat ke sini."

Caca sama sekali nggak memalingkan pandangannya dari Leinkara dan Niskala. Pun Niskala kembali sibuk dengan makanannya. Pikiran ini berusaha keras ingin menanggapi Caca tapi rasa bersalahku ke Niskala masih belum hilang. Ngga ada satu jawaban pun yang muncul untuk menanggapi Caca.

"Gimana rasanya punya dua kucing yang beda ras gitu?" Kali ini posisi duduk Caca agak berubah. Bukan hanya wajahnya aja yang ditolehkan, tapi seluruh badannya. Rasanya, waktu untuk memahami Leinkara dan Niskala sudah selesai. Kini waktunya ngobrol antar sesama perempuan.

Caca sebenarnya ingin bisa memelihara kucing tapi keluarganya punya alergi bulu kucing. Caca juga nggak bisa membersihkan bekas kotoran kucing, jadi dia cuman bisa mampir sebentar seperti ini sambil ngobrolin ini dan itu.

"Rasanya kayak lagi ngurusin dua anak yang beda" aku masih belum mau mengalihkan pandanganku dari dua kucingku yang duduk di luar pagar. Kalau biasanya aku senang melihat mereka diperhatikan orang lain, detik ini rasanya agak kurang ikhlas.

"Pasti sih. Pertanyaanku template banget ya." Aku menoleh ke Caca dan tertawa. Suasananya jadi lebih cair karena Caca mulai ngoblin tugas kuliahnya, orang-orang di rumahnya dan merekomendasikan tempat makan yang baru-baru ini ia coba.

Kami seperti larut dalam obrolan yang lumayan hangat ini tapi diam-diam aku masih memikirkan Niskala dan berharap bisa memahami Niskala lebih baik lagi. Aku nggak tau gimana cara minta maaf ke Niskala dan mengurangi penyesalanku. Sesaat aku ingin Niskala bisa memaklumi, sesaat lainnya aku berharap Niskala bisa paham penyesalanku tanpa harus kukatakan. Dan sesaat lainnya, aku merasa sangat bodoh.

Apa hampir semua orang tua merasakan ini setiap kali merasa bersalah pada anaknya? Berat sekali menjadi orang tua.

Kalau rasa bersalah pada Niskala aja bisa seberat ini, gimana rasa bersalah ke anak sendiri?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun