Setiap orang pasti punya satu masalah yang sangat sulit diatasi, bukan karena mereka tidak mampu mengatasinya tapi karena level kesulitannya yang memang sulit, dalam artian tertentu. Temanku Joni sangat sulit berbicara di depan umum, teman Joni si Arni sangat sulit bernyanyi, temanku yang lain sering mengeluh sulit memilih warna. Katanya itu bisa diubah asal mau belajar, tapi kenyataannya sudah 6 tahun aku kenal orang-orang ini, masalah mereka tetap sama. Mereka sama persis seperti yang aku kenal dulu.
Dan, begitu juga aku di mata mereka. Aku persis seperti apa yang mereka kenal dulu.
"Kau masih belum bisa ngisi data diri Bre?" dan inilah kesulitanku. Berbeda dengan orang-orang yang sulit menguasai skill tertentu, aku sulit mengisi data diri. Melihat lembar data diri dan membaca daftar pertanyaan, Siapa aku, identitasku, orang tuaku, hobi, asal sekolah dan sebagainya. Aku bukan tidak mampu mengingat semuanya, aku sangat mampu, hanya saja, aku kesulitan mengisinya.
Rasanya seperti kegagalan menulis kalimat utuh yang layak dibaca. Entah bagaimana, aku tidak bisa menuliskan informasinya secara runtut atau minimal jelas. Saat menulis lembar data diri, secara nggak sengaja susunan huruf bisa berubah, tulisanku jadi tidak bisa terbaca dan ujung-ujungnya aku akan dipanggil ke ruang BK, mendapat ancaman tidak naik kelas, dan sebagainya.Â
Ngeri memang melihat lembar data diri yang aku coba isi sendiri. Tulisan dan isinya seperti anak TK yang masih belajar nulis.
Disclaimer, aku tidak bodoh.Â
Kalau kau berpikir aku orang bodoh yang tidak bisa menyelesaikan masalah kecil, kau salah. Aku tidak bodoh, aku hanya tidak bisa mengisi lembar data diri. Mengisi lembar data diri selalu berat untukku.
"Ibre, kamu lagi kamu lagi. Kenapa tiap tahun selalu kamu yang jadi masalah. Apa orang tuamu nggak pernah ngajarin di rumah? Hal kecil kayak gini aja kamu nggak bisa nyelesaiin gimana kamu ngurusin hal-hal besar?"
Itu adalah kalimat pembuka untuk nasehat panjang lainnya tentang pentingnya belajar menyelesaikan masalah sendiri, pentingnya hidup mandiri dan hal-hal penting, menurutnya, yang selalu aku dengar setiap tahun.Â
"Ibre kamu nggak pernah latihan isi data diri di rumah?" kali ini adalah sesi, katanya berusaha menyelesaikan masalah, tapi rasanya lebih mirip sesi penghakiman.Â
"Latihan pak, setiap malam saya isi 10 data diri. Selama 1 tahun terakhir nggak pernah sekalipun alpha latihan."
"Kamu bohong ya?" sesi penghakiman di mulai. Dan seperti itulah setiap kali lembar data diri dibagikan di sekolah. Sampai rasanya aku hanya mengulang-ulangi hal yang sama sepanjang waktu.
Apapun alasannya, faktanya aku memang tidak bisa mengisi lembar data diri. Aku tidak berbohong soal latihan mengisi lembar data diri setiap malam, juga tidak berbohong soal tidak bisa mengisi lembar data diri. Orang-orang selalu berpikir, kalau sudah latihan harusnya sudah bisa. Aku juga pernah berpikir begitu tapi entah kenapa teori itu seperti ada pengecualian, sialnya aku termasuk dalam daftar pengecualian itu.
Usaha orang tuaku untuk menyelesaikan masalah ini pun nggak main-main. Mereka pernah membawaku ke psikiater, berkonsultasi selama 6 bulan, analisis ini itu, latihan ini itu, tapi tidak ada kemajuan. Aku melakukannya selama 3 tahun terakhir, entah berapa banyak uang yang dihabiskan demi aku yang harus bisa mengisi lembar data diri seorang diri.
Jika dipersempit, ttik masalahnya adalah aku tidak bisa mengisi lembar data diri seorang diri, bukan tidak bisa melakukan hal lain. Ini mungkin terdengar tidak masuk akal bagi banyak orang, sampai hari ini pun aku masih dianggap tidak masuk akal. Sekedar informasi, aku juara nasional lomba sains, juara nasional lomba seni dan musik, juara nasional lomba debat dan di sekolah selalu menjadi juara umum. Posisiku di sekolah nggak pernah bergeser sejak pertama kali masuk.Â
Mungkin kalau kau melihatku secara langsung, tatapanmu akan sama seperti orang-orang di sini yang beranggapan kalau  ini acting. Ya seandainya aku  bisa bertemu diriku sendiri pun, aku akan berpikiran seperti itu. Memang, terlalu aneh dan sulit dijelaskan.Â
"Masih." Jawabku sambil menatap lingkungan sekitar sekolah. Aku dan Ali biasa mampir kalau kami bosan di rumah. Ibu warung pun sudah hafal dengan kami, karena katanya kami selalu datang tiap kamis atau selasa. Susunan kebiasaan yang kami berdua pun tidak sadar kalau selama ini sudah membentuk itu.Â
Secara pribadi aku tidak pernah mempermasalahkan kekuranganku soal mengisi data diri. Tidak bisa mengisi data diri bukan berarti aku tidak bisa hidup. Apalagi di jaman sekarang yang bisa di print atau serba digital, aku cukup menyiapkan satu file untuk dibawa kemana-mana.Â
Masalahku sebenarnya bukan masalah, asalkan penyelesaiannya bisa diterima. Selama ini orang-orang berusaha menyelesaikan dengan standar mereka, termasuk orang tuaku. Seolah-olah tidak bisa mengisi data diri adalah kegagalan dan seumur hidup aku akan kesulitan jika tidak memiliki kemampuan ini. Padahal sejauh ini aku baik-baik saja.
"Kau nggak mau orang tau identitasmu ya?" Pertanyaan Ali terkesan seperti penasaran, tapi aku tau dia cuman basa-basi.Â
"Bukan begitu, aku merasa itu hal yang kurang penting, itu aja." ya memang begitulah kenyataannya kan.Â
"Dan anggapan mu itu secara nggak langsung memblokir kemampuan mu?"
"Iya, katanya gitu." Jawabku sekenanya lagi.Â
"Sugestimu sangat kuat, tapi mau sampai kapan kamu kayak gitu?"Â
Aku mengangkat bahu. Kalimat seperti itu udah sering aku dengar dari para dokter, psikiater dan beberapa guru. Mau sampai kapan aku ngga bisa mengisi data diri? Entahlah.Â
"Kau beneran latihan ngisi data diri? Katanya 10 form tiap malem?"
"Iya. Aku masih punya tumpukanya di kamar. Kapan-kapan kalo kau mampir bisa lihat."
"Ada pengaruh?" pertanyaan Ali kali ini bikin aku agak berpikir sedikit.Â
"Kayaknya, anggapanku makin kuat."Â
Ali melihat langit sebentar, seperti berpikir. Aku senang melihat orang yang sedang berpikir seperti ini, tapi juga kasihan karena yang ia pikirkan justru masalahku. Padahal aku sama sekali nggak pernah mikirin itu.
"Masalahnya bukan kau ngga mampu tapi anggapanmu soal sesuatu yang bikin kau ngga mampu. Aku heran kenapa kau malah disuruh latihan ngisi data diri, padahal kunci masalahnya bukan itu."
Aku tersenyum mendengar penjelasan Ali. Ternyata menyenangkan mendengar hal seperti ini dari teman seangkatan. Rasanya seperti main tebak-tebakkan. Aku akui tebakannya benar.Â
"Ya, namanya juga hidup."
Ali menatapku sejenak, lalu menghela nafas "Ternyata kau lebih tenang dari yang dipikirkan orang-orang."
"Kenapa memangnya?"Â
"Ya nggak papa, menurutku kau nggak akan bisa dipengaruhi orang. Kau punya pandangan, sugestimu kuat dan kau tenang."
Aku diam saja. Bukan karena tersadarkan omongan Ali. Dia benar dan aku sudah menyadari sejak masih SD. Rasanya aku punya arus hidup sendiri dan orang-orang sekitar nggak akan mempengaruhi ku. Itu juga yang bikin aku bisa mencapai banyak hal, meskipun nggak bisa menulis data diri.
"Kau pasti punya cara simple untuk masalah data diri ini kan? Dan menurutmu itu cukup, makanya kau nggak peduli tuntutan orang-orang." Tebak Ali lagi sambil menyantap gorengan hangat yang baru tiba.Â
"Iya, kurang lebih begitu." Sebenarnya memang begitulah keadaannya.Â
"Ya sudah kalo gitu. Selama ini aku kira kau nggak mengenal dirimu sendiri. Ternyata sebaliknya" Jawabnya untuk mentup percakapan.Â
Aku hanya mengangguk karena tau itu akhir percakapan. Pun rasanya Ali sudah paham lebih dari orang-orang lain, jadi nggak perlu dijelaskan lebih lanjut pun dia paham.Â
Seperti yang aku bilang tadi, kalau cara penyelesaian masalahku bisa diterima maka itu nggak akan jadi masalah serius. Selama ini mengisi data diri selalu menjadi masalah karena orang-orang berpikir cara penyelesaianku salah. Akhirnya mereka terlibat di perjuangan menyelesaikan masalah yang mereka ciptakan sendiri.Â
Dan aku, tetap sibuk dengan duniaku sendiri.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H