Mohon tunggu...
Winda
Winda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Masifnya Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik di Media Online demi Keuntungan dan Rating

8 Januari 2023   12:29 Diperbarui: 8 Januari 2023   12:40 3164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pers memiliki kemandirian atau kebebasan dalam mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Namun, kebebasan ini bukan berarti kebebasan tanpa batas untuk mencampuri  bahkan merampas hak orang lain. Ada juga pasal yang mengatur kebebasan tersebut. Salah satunya adalah Kode Etik Jurnalistik. Kode Etik Jurnalistik adalah "mahkota" dan "hati nurani" di hati setiap jurnalis.

Pelaksanaan kode etik jurnalistik merupakan salah satu barometer seberapa baik amanat yang diberikan kepada pers oleh masyarakat dilaksanakan. Oleh karena itu, sangat penting bagi jurnalis untuk memahami dan mengikuti pedoman etika jurnalistik. 

Memahami dan menata kode etik jurnalistik tidak bisa ditawar lagi. Penerapan kode etik jurnalistik oleh jurnalis merupakan bagian penting dari proses kerja kreatif jurnalis dalam menyajikan berita. Kode jurnalistik harus secara otomatis dimasukkan ke dalam semua motif, teknis, dari jiwa jurnalis. 

Kode etik jurnalistik tidak hanya merupakan nilai ideal sebagai pedoman, petunjuk dan syarat profesi, tetapi juga harus terkait langsung dengan praktik jurnalistik. 

Dengan kata lain,  ketidakpatuhan terhadap kode etik jurnalistik ibarat kapas yang tersesat tanpa arah yang jelas. Tentu saja, jika itu terjadi, itu akan menjadi kesalahan besar dan mendasar bagi jurnalis.

Pada kenyataannya, penerapan  kode etik jurnalistik kurang mendapat perhatian. Di tengah perkembangan media online yang pesat saat ini, ada kesan kuat bahwa beberapa jurnalis tidak menghormati atau mengikuti standar etika. Banyak orang mencari berita di media online. 

Fenomena ini dapat terjadi karena perkembangan berita online juga melipatgandakan jumlah dan tingkat keparahan kapasitasnya menawarkan pilihan berita terbaru dengan cepat dan mudah diakses dibandingkan dengan penggunaan dan penyebaran berita oleh media massa tradisional, cetak dan informasi siaran. 

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika publik kerap mengeluhkan jurnalisme Indonesia yang mempraktekkan apa yang disebut sebagai "jurnalisme anarkis", "jurnalisme preman", "jurnalisme bengkok", "jurnalisme hitam", dan label perusak citra lainnya tentang citra wartawan Indonesia.

Berdasarkan laporan hasil penelitian pemahaman dan pelanggaran kode etik jurnalistik pada jurnalis Indonesia oleh Dewan Pers , jumlah media di Indonesia sangatlah besar, mencapai 47.000 media, dengan komposisi 2.000 adalah media cetak, 674 radio, 523 televisi termasuk lokal, dan selebihnya media online di level nasional maupun lokal mencapai 43 ribu. 

Seiring dengan itu, jumlah pengaduan masyarakat ke Dewan Pers juga terus meningkat. Pada tahun 2017, mencapai sekitar 600 kasus, naik dibanding tahun sebelumnya hanya 400 kasus. 

Sebanyak 80% di antaranya menunjukkan media melanggar kode etik jurnalistik, mulai dari tidak berimbang, tidak akurat, tak melindungi identitas korban kejahatan asusila, tidak bersikap professional, pemerasan, penyuapan, plagiat, hingga bentuk pelanggaran etika.

Pengawasan Dewan Pers terhadap pelanggaran etika jurnalistik yang dilakukan media online melalui komunikasi massa bisa jadi tidak efektif dan menjadi tugas masyarakat dan anggotanya. 

Misalnya, berita online tanpa sensor pada dasarnya mengancam tatanan masyarakat. Misalnya berita tentang kejahatan seperti pembunuhan, pemerkosaan dan lain-lain. 

Terkadang media online melanggar pasal 4 dan 5 kode etik jurnalistik. Pasal 4 melarang penayangan pesan sadis dan cabul, namun masih ada media yang memuat pesan sadis dan cabul. 

Misalnya, memposting foto orang yang meninggal dalam kondisi mengenaskan tanpa sensor, tulisan cabul, kata-kata tidak pantas, dan foto dengan nilai pornografi. 

Selain menyampaikan berita, identitas korban juga harus dirahasiakan. Wartawan tidak boleh menyebutkan identitas kejahatan moral dan identitas anak di bawah umur yang melakukan kejahatan tersebut.

Beberapa contoh kasus pelanggaran Kode Etik Jurnalistik pada media online misalnya Eksploitasi berlebihan pada pemberitaan kasus video asusila penyanyi Gisella Anastasia terdapat beberapa berita yang sifatnya seksis dengan menuliskan kata -- kata seperti "Video Syur" dengan memuat potongan gambar video yang telah viral tersebut. 

Ditemukan banyak pemberitaan seperti pada media online serambinews.com dan suara.com yang dilakukan tanpa mempertimbangkan sensitifitas gender dan cenderung mengeksploitasi identitas Giselle secara personal.

Seharusnya pihak-pihak dalam video tersebut adalah korban yang identitasnya harus dirahasiakan dan tetap menerapkan asas praduga tak bersalah bukan malah dieksploitasi habis habisan demi rating dan profit. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik.

 Lalu ada media online CNN Indonesia dengan headline "Pasien Positif Corona di Indonesia Bertambah Jadi 19 Orang". Salah satu bentuk pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang dilakukan oleh jurnalis media online berdampak pada korban atau pasien yang terjangkit virus corona tertulis jelas data diri pasien, dan seperti apa  kondisi pasien. Hal ini jelas melanggar Kode Etik Jurnalistik Pasal 5. 

Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik juga terjadi pada pemberitaan penculikan Sahlan bin Bandan di Media Online Detik.com. Dalam pemberitaan   kasus   penculikan   Sahlan   bin Bandan   memiliki   pelanggaran   Kode   Etik Jurnalistik  pasal  1,3,4,5,8,10,  dan  11  yang berbeda-beda.

Faktor utama penyebab terjadinya pelanggaran kode etik jurnalistik adalah faktor ekonomi . Dari segi ekonomi, media online lebih ditujukan untuk online rating per click, yang tentunya berkaitan dengan profit orientation, pembentukan modal dan perhitungan profit. 

Faktor ekonomi lainnya antara lain minimnya anggaran operasional sehingga minimnya produksi berita, pelatihan jurnalis baru dan terbatasnya SDM jurnalis industri, serta perilaku spontanitas dan pragmatis beberapa penggiat media online. 

Persaingan  yang antar media membuat para jurnalis media online menyisipkan opini pribadinya dalam pemberitaannya secara berlebihan atau sensasional dan tidak mendasarkan pada fakta sebagaimana adanya. 

Hal ini bertentangan dengan etika jurnalistik, wartawan harus memiliki sikap objektif, terkait objektivitas informasi dan makna atau pentingnya informasi tersebut bagi masyarakat. Berita yang berimbang, adil, dan tidak memihak menjadi tuntutan bagi media online bagaimana publik menerima informasi yang berkualitas. Namun lagi-lagi demi keuntungan dan rating kode etik tidak lagi menjadi pedoman.

Di tengah kebebasan pers yang begitu besar, pers belum secara optimal meningkatkan sumber dayanya sendiri. Situasi seperti itu harus diperbaiki secara sistematis dan terus menerus. Jika pengetahuan, pemahaman dan penataan kode etik jurnalistik tidak segera diberikan, maka pers bisa menjadi liar dan tidak terkontrol. 

Semakin independen pers, semakin penting untuk menerapkan dan merancang kode etik jurnalistik. Jika media online terus melakukan pelanggaran, tidak menutup kemungkinan suatu saat publik akan mempertanyakan konten media apa yang akurat dan terpercaya. Media meyakini kebebasan pers, namun sebagai media mereka harus berpegang pada kode etik jurnalistik dalam pemberitaannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun