Mohon tunggu...
Winda Sulistiyani
Winda Sulistiyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

maaf kalau banyak kesalahan dalam merangkai tulisan

Selanjutnya

Tutup

Money

Pengembangan Industri Kimia dalam Era Revolusi Industri 4.0

4 Desember 2021   19:21 Diperbarui: 4 Desember 2021   19:25 1926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pada saat ini kita berada di era Revolusi Industri 4.0. Industri 4.0 adalah semua transformasi digital. Era industri ini  memungkinkan otomatisasi perangkat yang menggabungkan sistem yang dapat bekerja sama. Teknologi ini juga  membantu memecahkan masalah dan melacak proses sekaligus meningkatkan produktivitas  bisnis dan manufaktur skala besar. Tentunya penerapan industri ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas bagi hajat hidup orang banyak.

Ini merupakan perkembangan luar biasa di bidang teknologi Internet. Terhubung ke dalam jaringan besar yang disebut Internet, komputer dengan kinerja yang terus meningkat menjadi lebih kuat. Istilah yang sangat terkenal untuk Revolusi Industri 4.0 adalah "Internet of Things". Penggunaan smartphone yang terkoneksi dengan internet dan menjadi perangkat yang  digunakan masyarakat sehari-hari juga memicu berkembangnya layanan-layanan baru yang sebelumnya tidak dikenal masyarakat.

Industri kimia dinilai sebagai salah satu sektor yang siap memasuki era industri 4.0 karena otomasi yang sudah lama digunakan. Sektor ini merupakan salah satu pemain unggulan Indonesia dalam perkembangan Industri 4.0 di kawasan ASEAN. Dengan jumlah penduduk sekitar 230 juta jiwa dan ketersediaan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia berpeluang menjadi yang terdepan dalam pengembangan industri kimia.

Muhammad Kayam, Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian pada pembukaan  International Chemistry Summit and Exhibition (InaChem 2016) dan Indonesia Building Machinery and Electricity Expo 2016 yang diselenggarakan di Jakarta pada Rabu (27/7/2017) menyampaikan, "Kita tahu bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari penggunaan bahan kimia dari industri kimia," katanya. Oleh karena itu, produksi dan konsumsi produk kimia sering dijadikan tolak ukur  kemajuan dan kesejahteraan nasional.

Menurut Khayam, rantai nilai industri kimia terkait erat dengan sektor ekonomi produktif pangan, sandang dan panel, serta pasokan bahan baku ke berbagai industri hilir, termasuk industri elektronik dan otomotif.

"Berbagai industri kimia telah tumbuh dan berkembang di Indonesia antara lain industri petrokimia, oleokimia, agrokimia, dan sebagainya. Industri kimia tersebut juga menghasilkan berbagai produk kimia untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia," jelasnya.

Ini termasuk meningkatkan penggunaan sumber daya dalam negeri, memperluas pasar domestik dan ekspor, dan memulai upaya reindustrialisasi di masa depan.

"Wujud nyata komitmen tersebut dituangkan dalam upaya peningkatan investasi baru, penerapan teknologi mutakhir, dan peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN)," ujarnya.

Selain itu, Khayyam mengatakan, upaya pengembangan industri minyak, gas, dan batubara akan difokuskan pada pengembangan industri petrokimia atau pupuk, termasuk Teluk Bintuni dan Aceh. "Sehingga migas dan batu bara yang digunakan sebagai bahan baku industri dapat memiliki nilai lebih dibanding menjualnya sebagai komoditas," ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Suhat Miyarso, Direktur Utama Gabungan Industri Kimia Indonesia (FIKI), mengatakan industri kimia berusaha mempertahankan kinerjanya tahun ini  dengan target pertumbuhan 6% dalam situasi ekonomi yang penuh tekanan.

"Target pertumbuhan ini dicanangkan dengan asumsi pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 5,4% dan iklim usaha yang kondusif serta tekanan perlambatan ekonomi dunia dapat dikendalikan," ujarnya.

Ia mendesak anggota FIKI untuk terus mengupayakan efisiensi, inovasi dan pengembangan produk, serta mencari terobosan agar industri kimia Indonesia tetap efisien dengan menggunakan sumber daya yang unik. "Salah satu terobosan yang bisa dilakukan adalah biorefinery dan karet," katanya.

Selain itu juga, Fajar Budiyono, Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin dan Plastik Aromatik Indonesia (Inaplas), mengatakan industri kimia Indonesia memiliki posisi yang kuat di ASEAN. Dia mengatakan penggunaan industri berat telah lama membuat industri kimia siap bersaing dengan industri lain di ASEAN.

Menurut Fajar, tingkat utilisasi industri kimia sebelum tahun 2014 sekitar 80%. Namun, krisis ekonomi  2008  tidak mengoptimalkan ketersediaan dan industri kimia  tertinggal.

Pemulihan industri kimia terjadi secara besar-besaran pada tahun 2014 dan berdampak besar pada kinerja industri. Setelah pemulihan, menurut Fajar, utilisasi dan kapasitas produksi industri kimia menjadi sangat efektif.

Hal ini membuat Fajar optimistis industri kimia  di kawasan ASEAN mampu mengejar ketertinggalannya. Menurut dia, daya saing ini bisa ditingkatkan dengan mengganti bahan baku  impor.

"2014--2018 recovery bagus, mulai ancang-ancang ekspansi, banyak proyek pengembangan baru. Pada 2023 kita akan berlari mengejar ketertinggalan, [dengan] menurunkan ketergantungan impor," ujar Fajar kepada Bisnis, Selasa (29/01/2019).

Menurutnya, persaingan itu penting, mengingat negara-negara ASEAN akan fokus pada pengembangan Industri 4.0 tahun ini. Menurutnya, industri  kimia sebagai salah satu sektor pembangunan industri 4.0 prioritas pemerintah harus didorong secara optimal.

Disamping itu juga, Kementerian Perindustrian semakin mendorong pengembangan industri kimia  dalam negeri dengan mengedepankan penggunaan teknologi terkini dan penguatan kegiatan litbang. Upaya tersebut sejalan dengan implementasi Peta Jalan Making Indonesia 4.0 untuk membantu industri kimia menjadi lebih efisien, inovatif dan produktif saat kita memasuki era Revolusi Industri Generasi ke-4 saat ini.

"Pemerintah telah menetapkan industri kimia sebagai salah satu dari lima sektor yang akan menjadi pionir dalam penerapan industri 4.0 di Indonesia, selain industri tekstil, otomotif, elektronika, serta makanan dan minuman," kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartato saat melakukan kunjungan kerja di PT Pupuk Kaltim, Bontang, Kalimantan Timur, Sabtu (7/7).

Menurut Menteri Perindustrian, pengembangan industri kimia tanah air difokuskan pada peningkatan daya saing global. Hal ini dikarenakan sektor ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan berperan penting sebagai penghasil bahan baku untuk kebutuhan produksi industri lainnya. "Pada  2017, industri kimia menjadi salah satu sektor  utama produk domestik bruto sebesar Rp236 triliun" ujarnya.

Untuk itu, Menperin mengucapkan terima kasih kepada seluruh industri petrokimia  di Kompleks Industri Cartim (KIE) yang berjanji akan mendukung perkembangan industri tanah air selama 30 tahun sejak berdirinya PT. Pupuku Cartim pada tahun 1977.

"Dengan lokasi industri petrokimia di Bontang yang berada dalam kawasan timur Indonesia, keberadaan industri-industri ini tentunya mendorong dalam mempercepat pemerataan pembangunan di Indonesia bagian timur," katanya. Selain itu, Menperin mendukung upaya pengembangan industri kimia minyak dan lemak berbasis kelapa sawit di kawasan, yang diharapkan dapat lebih meningkatkan produksi.

Hingga saat ini, telah berdiri lima industri petrokimia  di kawasan industri KIE Bontang yang memproduksi berbagai bahan baku seperti amoniak, pupuk urea, metanol dan amonium nitrat. Kelima perusahaan tersebut adalah PT Pupuk Kaltim, PT Kaltim Methanol Industri, PT Kaltim Parna Industri, PT Kaltim Nitrate Industri, dan PT Black Bear Resources Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun