Diam. Dokter itu hanya tersenyum diam. Entah kenapa senyumannya membuatku semakin tidak nyaman.
"baiklah dok, saya permisi, dokter tidak perlu bertemu dengan suami saya, saya rasa lebih baik dia tidak tahu, terimakasih dok" aku berdiri, lama-lama diruangan ini hanya membuatku merasa makin takut, seolah malaikat maut sedang bersamaku sekarang.
"bu Sara, sebaiknya anda tidak merahasiakan penyakit anda, terutama pada suami anda, dan saya menganjurkan agar anda di rawat untuk sementara waktu, sehingga kami bisa melakukan tes lebih mendalam lagi, mohon anda tidak menyerah" dokter bijak itu mencoba membujuk.
"saya permisi dok, terimakasih" aku keluar dari ruangan serba putih, yang untuk sesaat tadi terasa seperti ruang kematian.
***
Aku berjalan cepat menyusuri lorong-lorong panjang rumah sakit. Ingin menangis, tapi tidak ada air mata yang keluar. Dada ku terasa sesak, ada yang mengganjal disana, kenapa aku ? Skoliosis ? penyakit apa itu ? apakah ini mimpi ? kehidupanku yang sempurna, suami yang sempurna, karir yang bagus, rumah keren, tiba-tiba saja menjadi tidak berarti. Aku merasakan sesak di bagian dada, ah ya, dokter sipit itu bilang tulang ku sudah menekan paru-paru, tiba-tiba semua jadi terasa sempit, aku memutuskan untuk duduk disalah satu bangku kosong di lorong rumah sakit yang entah kenapa siang ini agak sepi, atau memang biasanya sepi, entahlah.
Banyak hal yang aku pikirkan, saking banyaknya, hingga tak ada satupun dari hal-hal itu yang bisa aku ingat.
“Drrrtttttt” aku dikagetkan oleh getar handphone di kantong celanaku. Aku menemukan nama suamiku tertera di layar berukuran 5.5 inch itu.
“Halo sayang, kamu dimana ?” suara berat namun hangat itu terdengar khawatir.
“Hmmm, aku di rumah, eh... maksudku aku dalam perjalanan pulang ke rumah mas” yup, aku memutuskan untuk merahasiakan penyakit ku dari mas Yohan.
“Are you okay beibh ? suara mu terdengar bergetar” tanya nya penuh cemas.