Mentari tampak malu untuk menampakkan sinarnya, titik-titik air mulai turun dengan lembut dari segerombol awan tebal menimbulkan sebuah aroma pretrikor, aroma sebuah kenangan, kenangan  yang tidak akan terkikis oleh waktu.
"Bang, bakso tiga, yang satu pedes banget, yang satu pedes aja, yang satunya nggak usah dikasih apa-apa, yang pedes banget nggak usah kasih seledri, yang pedes aja nggak usah kasih bawang goreng sama kecap" tutur cozy dengan secepat kilat.
" Aduh Neng, pelan-pelan atuh, saya dengernya mblibet ini."
"Ah  elahh, pokoknya gitu deh, Bang."
"Eh Neng, ngomong -- ngomong yang nggak pakai apa-apa, mangkok doang gitu, Â Neng?"
"Ya, nggak gitu juga kalik, Bang."
"Hehe iya Neng, abang paham. Tunggu ya."
"Tanu, mukamu merah banget kayak tomat, hahaha," ledek Cozy.
"Makanya jangan sok-sokan makan pedes," tambah Sina.
"Duh iya nih, abangnya ngasih cabe sekarung apa ya."
" hahahahahahahaha," tawa Sina dan Cozy yang susah untuk dihentikan
Muncul segelintir kenangan di ingatan Sina tentang kedua sahabatnya dan entah ada dimana keberadaan mereka sekarang. Sudah lama ia tak mendengar kabar sahabatnya itu. Terakhir mereka bertemu sewaktu perpisahan SMA. Waktu itu, Cozy  bilang ingin ke Jepang untuk ziarah ke makam ibunya, sedangkan Tanu melanjutkan sekolahnya di Jakarta saja. Sementara Sina sendiri  mendapat beasiswa untuk kuliah di Paris.
"kring...kring" suara telepon itu menyadarkan Sina dari lamunannya. Siapa lagi kalau bukan bos dari Sina yang mau meneleponnya di pagi hari seperti ini, dan akan menanyakan semua berkas berkas yang harus dibawa Sina. Memang setelah kuliah di Paris, ia bekerja pula di Paris dengan gaji yang di bilang lumayan. Sina memang merupakan tulang punggung di keluarganya, ia anak yang berbakti pada orang tua, setiap bulan pasti ia akan mengirimkan uang kepada ibu dan ayahnya di Jakarta. Setelah lulus SMA dan kuliah di Paris memang ayahnya sudah tidak berjudi dan tidak mabuk - mabukkan lagi. Mungkin karena rasa bersalahnya kepada Sina.
Lucu memang, bila mengingat kedua sahabatnya itu dan bagaimana mereka bisa bersahabat. Mereka datang dari tiga latar belakang yang berbeda. Sina adalah seorang anak dari keluarga tidak mampu, ibunya seorang pedagang kue kecil- kecilan, bapaknya seorang karyawan yang kena PHK dan setelah itu kerjaannya hanya berjudi dan mabuk -mabukan saja, hanya menghabiskan uang yang ibunya hasilkan dengan susah payah. Ingin rasanya Sina mengingatkan ayahnya tapi ujung ujungnya hanya kata-kata yang dapat menusuk hatinya yang akan ia dapat. Benar kata orang, bukan umur yang menjadikan seseorang menjadi dewasa.
Ishikawa Cozy adalah seorang putri cantik keturunan Jepang, cantik, putih, tinggi, pintar, dan dari keluarga yang baik baik. Keluarga yang baik baik? Mungkin itu hanya impiannya saja, benar memang dia cantik, putih, tinggi, baik, tapi itu semua buat apa bila dia tidak diinginkan di dunia ini. Ayah dari cozy merupakan CEO dari perusahaan besar sedangkan ibunya adalah seorang penyanyi solo asal jepang. Cozy lahir dari sebuah "kecelakaan", oleh karenanya dia tak diharapkan di dunia ini. Semenjak ibunya meninggal sewaktu ia menginjak sekolah dasar, Cozy tinggal bersama ayah dan ibu tiri serta saudara tirinya. Ibu tiri? Mungkin ibunya itu tidak menganggap bahwa ia mempunyai anak yang namanya Cozy.
      Tanu, anak seorang koruptor yang divonis 15 tahun penjara. 15 tahun bukan waktu yang sebentar memang. Tapi untuk Tanu itu bukan berarti apa apa. Toh,  kalau ayahnya dipenjara atau tidak, ayahnya juga tidak akan memperdulikannya. Yang ada dipikiran ayahnya hanya uang, uang, dan uang. Ayahnya mungkin berpikir Tanu hanya butuh uang darinya. Sampai sampai ayahnya menghasilkan uang yang haram. Padahal yang ia butuhkan adalah keberadaan sesosok ayah.
Kala itu, sebuah puisi yang dibacakan oleh Dio, si rangking satu yang membuat suasana kelas menjadi tidak nyaman, sebuah kata-kata yang ditujukan kepada para koruptor seakan ditujukan oleh Tanu yang tidak tahu apa-apa, mata tajam Dio  menyoroti mata Tanu yang sedang duduk di pojokan kelas  seakan ingin menerkamnya.
Setelah bel  istirahat berbunyi, Tanu langsung mengambil tasnya dan langsung keluar dari dalam kelas. Mungkin dia hanya akan menghabiskan waktunya di belakang gudang yang tak terpakai dengan melamun sambil menghirup asap dari puntung rokoknya. Sina dan Cozy  yang tak sengaja lewat dan langsung menghampiri teman kelasnya itu.
"Galau, Â lo?" tanya Sina
"Apa lo? lo nggak usah ganggu gue, " jawab Tanu dengan sinis.
"Lo ngerasa hidup lo paling sengsara kan disini? Dulu gue juga gitu. Mungkin lo emang sengsara disini tapi mungkin banyak orang yang lebih sengsara dari lo. Makanya jangan sia- siain hidup lo dengan hal yang nggak berguna kayak gini." Kata Sina.
"bener, lo harus bisa keluar dari keterpurukan ini, kalo lo cuman kayak gini nggak ngelakuin apapun, berarti lo udah kalah," tambah Cozy.
Mungkin kata-kata itu yang membuat Tanu malu sendiri dan bangkit, dan sejak itu pula Sina, Cozy, dan Tanu sering main bareng dan melakukan hal-hal yang positif bersama-sama.
Paris, 2018
Sina berjalan-jalan menikmati kota Paris, kota penuh cinta. Bukan niatan berjalan-jalan, cuma ingin ke supermarket untuk membeli kebutuhan bulanannya, tapi kalo disini, Sina lebih memiih jalan kaki dan menikmati keindahan kota Paris. Tak disangka, dia bertemu dengan seorang yang dikenalinya.
"Tanu? kamu Tanukan?" tanya Sina.
"Sina? Sina kamu kemana saja. Lama banget nggak ketemu," jawab Tanu dengan rasa senang karena telah ditemukan lagi dengan sahabatnya.
"Kamu kemana aja sih, kamu gimana kabarnya?"
"Baik, kamu sendiri?"
"Baik juga.Kamu sama Cozy tuh ngilang nggak ada kabar. By the way, ngapain kamu ke paris?"
"Nyariin kamu lahh."
"Apasih, beneran tau."
"Hehe. Ada kerjaan disini."
"Syukur deh, kamu udah di jalan yang bener sekarang," ledek Sina.
"Dari dulu bener kali," sahut Tanu tak mau kalah.
"Ohh iya, aku sama sekali nggak dengar berita tentang Cozy. Cozy sekarang dimana sih?" tanya Sina setelah keheningan diantara mereka karena minimnya topik pembicaraan.
"Cozy? Cozy  sudah bersama ibunya sekarang" tutur Tanu dengan lembut membuat Sina tercengang sekaligus ingin menitihkan air matanya
"Aku ingin segera bertemu dengannya" harap Sina dengan lirih.
Setelah sekian lama mereka bersama, tumbuh benih-benih cinta diantara Tanu dan Sina. Tanu pun memberanikan diri untuk mengajak Sina untuk menjalin hubungan lebih dari seorang teman. Â Sina pun mulai bertanya tanya apakah sebuah rasa ini bisa berubah menjadi rasa cinta? Cinta yang amat ia impikan datang bersama dengan kabar duka. Banyak yang harus Sina pertimbangkan. Ia tidak ingin menghancurkan persahabatannya yang ia jalin sejak SMA itu. Toh, jika ia dan Tanu menjalin sebuah hubungan yang lebih dari teman itu akan terasa aneh baginya. Sinapun membulatkan keputusannya untuk tidak menerima Tanu. Awalnya Tanu agak tidak terima dengan keputusan sahabatnya itu. Tapi perasaan mana mungkin bisa dipaksa. Akhirnya merekapun bisa bersikap seperti biasa layaknya seorang sahabat lagi.
Sina dan Tanu pun terbang ke jepang untuk bertemu dengan Cozy, karena saat itu dia dan Tanu sama-sama sedang libur. Tak  bisa dipungkiri rasa rindu yang amat dalam ini telah menggrogoti tubuhnya, Sina sadar saat ini bertemu dengan sahabatnya itu adalah angan angan semata. Tangan yang tak bisa lagi digenggam, tubuh yang tak bisa lagi di rangkuh, hanya batu yang bertuliskan namanya yang bisa ia tatap, hanya lewat doa ia bisa memulihkan rasa rindunya dengan sahabatnya itu. Ishikawa Cozy telah meninggalkan dunia ini karena kanker mata yang dideritanya seperti ibunya dulu. Yang paling Sina sesali adalah ia tidak berada di sisi sahabatnya itu ketika sedang berusaha melawan penyakitnya.
"Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalakan belang, manusia mati meninggalkan sebuah nama . Ishikawa cozy, walaupun dunia tak menganggap kau ada tapi satu hal yang pasti kau akan selalu ada di hati sahabat sahabatmu ini," batin Sina.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H