Mohon tunggu...
Winda Rachmainda Firdaus
Winda Rachmainda Firdaus Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Ilmu Hukum STH Indonesia Jentera

Senang menulis isu-isu politik, sosial, dan hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

20 Tahun Mahkamah Konstitusi: Masih Relevankah Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 untuk Diterapkan?

19 Juli 2023   23:36 Diperbarui: 19 Juli 2023   23:53 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: antaranews.com

Politik hukum model pengawasan hakim pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) mengalami dinamika perjalanan yang menarik. Baik Pemerintah, DPR, maupun Mahkamah Konstitusi bersikeras mencarikan model pengawasan hakim konstitusi yang tepat untuk dapat menjamin keseimbangan independensi dan imparsialitas di Mahkamah Konstitusi. 

Berdasarkan sejarahnya, Komisi Yudisial merupakan lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengawasi hakim konstitusi. Hal ini sebagaimana diatur melalui pada pasal 20 jo pasal 13 huruf b, pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. 

"Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim".

Model pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial ini merupakan model pengawasan eksternal, yang menurut penulis penting untuk tetap eksis di tengah ketidakpercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi. Namun, dalam perjalannya kewenangan pengawasan ini kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006. Pembatalan ini disertai tiga pokok alasan sebagaimana yang telah penulis analisa sebagai berikut:  

Pertama, secara sistematis penafsiran original intent perumusan ketentuan UUD 1945, ketentuan mengenai Komisi Yudisial pada Pasal 24B UUD 1945 itu memang tidak dimaksudkan untuk mencakup pula objek perilaku hakim konstitusi sebagai diatur pada pasal 24C UUD 1945. 

Pertimbagan ini menunjukan penafsiran yang keliru. Sebenarnya hakim yang dimaksud dalam Pasal 24B ayat (1) adalah mencakup seluruh hakim yang menjalankan kekuasaan kehakiman. 

Hal ini dapat dilihat pada pembahasan rancangan amandemen ke-3 UUD 1945 dalam bab VI mengenai kekuasaan kehakiman, ketika panitia ad hoc I melaporkan hasil tugas pada rapat ke-5 Badan Pekerja MPR, pada selasa 23 Oktober 2001, yaitu:

Pasal 24 ayat (1) 

  • Alternatif 1, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.

  • Alternatif 2, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan negara yang merdeka guna menegakan hukum dan keadilan - 

  • Alternatif 3, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan. 

ayat (2) 

  • Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkup peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 

Pasal 25 

  • Untuk menegakan kehormatan dan menjaga keluhuran martabat dan perilaku hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial.

Dapat dilihat dalam rancangan amandemen konstitusi di atas, bahwa original intent pembahasan bab kekuasaan kehakiman menyertakan Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 ayat (2) sebagai pemegang kekuasaan kehakiman. Selanjutnya untuk menegakan kehormatan dan menjaga keluhuran martabat perilaku hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2), pasal 25 menyebutkan peran Komisi Yudisial. 

Menurut Agun Gunanjar selaku aktor perumusan amandemen konstitusi, hakim yang dimaksudkan di dalam pasal 24B ayat (1) UUD 1945 mencakup seluruh hakim yang berada dalam kekuasaan kehakiman. Hal ini sebenarnya sudah tidak perlu untuk diperdebatkan kembali, mulai dari hakim tingkat pertama, hakim tingkat banding, hakim tingkat kasasi, hingga hakim konstitusi perilakunya menjadi objek pengawasan Komisi Yudisial. 

Pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan hakim konstitusi tidak termasuk ke dalam objek pengawasan Komisi Yudisial ini telah menunjukan ketidakkonsistenan. Hal ini karena UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. 

Kemudian keberadaan Komisi Yudisial dimaksudkan untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Hakim yang dimaksud tentu hakim dalam lingkup kekuasaan kehakiman. Dengan demikian menjadi terang bahwa penafsiran dalam putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 yang menyatakan hakim konstitusi tidak termasuk ke dalam objek pengawasan Komisi Yudisial adalah penafsiran yang keliru. 

Kedua, dalam pertimbangan hukumnya mahkamah menyatakan bahwa hakim konstitusi bukan objek pengawasan Komisi Yudisial karena hakim konstitusi pada dasarnya bukanlah hakim sebagai profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya yang hanya diangkat untuk jabatan 5 tahun.  

Jika merujuk pada sifat hukum yang dinamis, alasan tersebut sudah tidak relevan digunakan. Hukum bersifat dinamis artinya hukum akan menyesuaikan dengan kebutuhan serta perkembangan masyarakatnya. Aturan mengenai masa jabatan hakim konstitusi saat ini telah berubah. Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sudah tidak mengenal periodisasi jabatan. 

Masa jabatan hakim konstitusi saat ini di desain tetap dengan batas usia 70 tahun atau keseluruhan masa tugas tidak melebihi 15 tahun. Dengan demikian seharusnya alasan kedua yang digunakan untuk membatalkan kewenangan Komisi Yudisial sudah tidak relevan dan tidak dapat digunakan.

Ketiga, apabila hakim konstitusi menjadi objek pengawasan Komisi Yudisial maka kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara menjadi terganggu dan terjebak ke dalam anggapan sebagai pihak yang tidak dapat bersikap imparsial, khususnya apabila dalam praktik timbul persengketaan kewenangan antara Komisi Yudisial dengan lembaga lain. 

Alasan ketiga ini menunjukan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak konsisten dalam mempertimbangkan prinsip imparsial. Sebab kekhawatiran mengenai sikap yang tidak imparsial dalam memutus sengketa kewenangan lembaga negara seharusnya tidak hanya bertumpu pada Komisi Yudisial. 

Mengingat UUD 1945 juga memberikan kewenangan kepada lembaga negara seperti salah satunya adalah kewenangan DPR untuk mengajukan hakim konstitusi. Tentu kewenangan ini jika dilihat dari sisi independensi rentan mencederai imparsialitas Mahkamah Konstitusi dalam menangani sengketa kewenangan lembaga negara. Mengingat DPR juga termasuk ke dalam lembaga yang berwenang menjadi pemohon maupun termohon dalam sengketa kewenangan lembaga negara. 

Dengan tetap berlakunya kewenangan DPR untuk mengajukan hakim konstitusi sementara di sisi lain Mahkamah Konstitusi mengebiri kewenangan pengawasan Komisi Yudisial menunjukan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai standar ganda dalam memaknai independensi pada Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006. Pandangan yang serupa juga sampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana, menurutnya:

"..argumentasi tersebut menunjukan Mahkamah Konstitusi memiliki standar ganda tentang makna independensi. Dalam banyak kesempatan, Mahkamah Konstitusi berargumen bahwa independensi hakim konstitusi jangan diragukan, bahkan untuk memutus kasus-kasus yang melibatkan DPR dan Presiden. Meskipun enam orang hakim konstitusi diusulkan oleh DPR dan Presiden, mereka mengaku tetap mandiri. Lalu mengapa kemandirian yang sama tidak bisa dilakukan berhadapan dengan fungsi pengawasan Komisi Yudisial?" 

Dengan demikian, alasan-alasan yang digunakan Mahkamah Konstitusi dalam mempertimbangkan dan membatalkan kewenangan pengawasan Komisi Yudisial seharusnya sudah tidak relevan digunakan. 

Putusan ini selalu dijadikan yurisprudensi oleh Mahkamah Konstitusi untuk mengebiri kewenangan Komisi Yudisial untuk menjaga dan menegakan kehormatan dan keluhuran martabat hakim, termasuk hakim konstitusi yang telah dijamin oleh UUD 1945. Perlu dilakukan pengkajian ulang terhadap alasan-alasan yang digunakan Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan kewenangan pengawasan Komisi Yudisial. 

Dalam konsep kemerdekaan kekuasaan kehakiman, seharusnya pengawasan terhadap hakim konstitusi oleh Komisi Yudisial yang merupakan lembaga independen tidak dipandang sebagai bentuk ancaman bagi independensi di Mahkamah Konstitusi. 

Dalam konteks keseimbangan antara independensi dan imparsialitas, Paulus E Lotulung memandang bahwa di dunia ini tidak ada kekuasaan yang tanpa batas. Kekuasaan kehakiman yang dikatakan independen, pada hakikatnya tetap diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu tertentu. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. 

Oleh karenanya, independensi dan akuntabilitas harus dilaksanakan secara seimbang. Hal ini dapat diwujudkan salah satunya dengan kembali mewadahi Komisi Yudisial yang merupakan supporting element kekuasaan kehakiman untuk bertindak sebagai pengawas eksternal hakim konstitusi yang bersifat independen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun