Mohon tunggu...
Winda Febriani Putri
Winda Febriani Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Telkom University

Hobi: Membaca, menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Uang Koin di Indonesia Pada Masa Hindia Belanda

12 November 2023   17:37 Diperbarui: 12 November 2023   18:44 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ini di ambil di museum Sri Baduga. Dokpri

Perkembangan mata uang di Indonesia telah mengalami transformasi yang pesat hingga ke mata uang yang sekarang kita pakai sebagai alat untuk jual beli. Bahkan, fenomena mata uang digital, yaitu kripto juga menjadi trending topik di Indonesia dan dimiliki oleh beberapa masyarakat indonesia, mulai dari kalangan pengusaha sampai pada kalangan masyarakat biasa untuk dijadikan alat transaksi perdagangan internasional atau bahkan dijadikan sebagai bentuk investasi jangka panjang. Transformasi yang terjadi merupakan sebuah fenomena yang tak dapat dielakkan dari sejarah transaksi yang awal mulanya dilakukan dengan cara barter sampai munculnya kesepakatan untuk menggunakan jenis mata uang tertentu.

Pembahasan kali ini bukanlah persoalan barter maupun perkembangan mata uang kripto, melainkan kita mundur ke ratusan tahun belakang dengan membahas perkembangan mata uang koin pada masa Hindia Belanda. Pada awal abad ke-17, Belanda melangkah ke Nusantara, membawa perubahan besar termasuk dalam sistem mata uang. Dari Dukaton Belanda hingga Gulden Hindia Belanda, perjalanan uang ini mencerminkan interaksi kompleks antara Belanda dan Indonesia. Indonesia, dengan sejarah panjangnya, menyimpan jejak-jejak koin sebagai saksi bisu perjalanan budaya, ekonomi, dan politiknya. Fokus kita kali ini adalah pada masa Hindia Belanda, di mana uang koin bukan hanya sebuah alat transaksi, tetapi juga wujud dari pertemuan dan perbedaan antara budaya Belanda dan Indonesia dalam konteks konvergensi dan divergensi.

Perkembangan Uang Koin Pada Masa Hindia Belanda
Sebelum masuk pada penjelasan bagaimana konvergensi dan divergensi antar budaya dapat dikaitkan dengan sejarah Perkembangan Uang Koin Pada Masa Hindia Belanda, mari simak terlebih dulu penjelasan mengenai Perkembangan Uang Koin Pada Masa Hindia Belanda berikut.

Gambar ini di ambil di museum Sri Baduga. Dokpri
Gambar ini di ambil di museum Sri Baduga. Dokpri
- Mata Uang Dukaton Belanda tahun 1602 sampai 1729Pada tanggal 20 Maret 1602, Belanda memulai dominasinya di Nusantara sebagai respons terhadap penggunaan real Spanyol yang sangat mendominasi. VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) memanfaatkan kesempatan ini dengan meminta izin kepada Heeren XVII untuk mencetak uang mereka sendiri, menggantikan real Spanyol. Mata uang yang mereka cetak disebut dukaton dan terbuat dari perak murni. Penggunaan dukaton berlangsung dari tahun 1602 hingga 1729.

Dukaton, yang awalnya mirip dengan real Spanyol, segera digantikan oleh uang duit VOC yang terbuat dari timah hitam. Pergantian ini dilakukan karena mencetak uang dari timah hitam lebih ekonomis, memungkinkan VOC untuk mencetak lebih banyak uang dan memperlancar kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Uang Rijsdaalder dan Doit VOC kemudian menggantikan dukaton atau real Belanda, mencerminkan perubahan dalam kebijakan mata uang yang dilakukan oleh VOC untuk memperkuat posisinya dalam perekonomian Nusantara.

- Mata Uang Doit VOC (1726-1799)

Pada tahun 1726, setelah VOC memperoleh hak Oktroi, mereka mulai mencetak uang dalam bentuk doit sebagai mata uang kecil dengan nominal satu, dua, dan lima doit. Pecahan yang lebih besar menggunakan mata uang stuiver. Awalnya, uang VOC menggunakan bahasa Arab karena masyarakat di wilayah tersebut, terutama pekerja buruh, hanya memahami bahasa Arab daripada bahasa Latin. Uang perak ini memiliki tulisan "Ila Djazira djawa al kabir" di bagian depan dan "Derham Min Kompani Welandawi" di bagian belakang, dicetak dari 1726 hingga 1770.

Bahasa Arab digunakan untuk menarik minat masyarakat, dan uang ini dicetak dalam jumlah besar untuk mendukung perekonomian VOC di Nusantara. Mulai tahun 1730, uang VOC beralih ke bahan timah hitam. Sistem uang VOC adalah bagian dari transformasi ekonomi di mana masyarakat jelata beralih dari sistem barter ke penggunaan uang dalam transaksi. Pada tahun 1730, juga dicetak uang tembaga dengan pecahan setengah doit untuk memenuhi kebutuhan uang dengan nilai nominal yang lebih kecil. Uang ini digunakan dari 1726 hingga keruntuhan VOC pada 31 Desember 1799.

- Mata Uang Bonk Stuiver Darurat VOC (1800-1890)

Seiring dengan mendekati bubarnya VOC antara tahun 1796 dan 1797 karena kesulitan keuangan, terutama terkait mata uang kecil, kolonial Belanda merespons dengan menciptakan uang darurat stuiver VOC. Mata uang ini terbuat dari potongan tembaga yang diimpor dari Jepang, dipotong, kemudian ditandai dengan tahun dan lambang VOC. Berat uang ini disesuaikan dengan nilai nominalnya, mencakup pecahan 1/4, 1/2, 1, 2 stuiver. Sedangkan uang dengan nominal 4, 3/4, dan 8 stuiver dicetak dalam bentuk memanjang. Nilai 1 stuiver setara dengan empat doit, dan informasi nilai serta tahun pembuatannya dicetak pada uang tersebut.

Pada awal pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, uang ini juga dicetak. Namun, karena banyak pemalsuan, pemerintah Belanda mengambil kebijakan untuk mengurangi peredaran uang bonk dengan cara meleburnya dan menggunakan hasilnya untuk mencetak uang baru. Akibatnya, nilai per keping uang bonk menjadi sangat tinggi, bahkan mencapai jutaan rupiah per kepingnya. VOC akhirnya runtuh pada 31 Desember 1799.

- Mata Uang Dollar Token Perkebunan (1800-1890)

Setelah runtuhnya VOC pada 1799, kolonial Belanda mencetak uang perkebunan dengan bentuk dan nominal beragam untuk mengatasi korupsi di perkebunan. Ini sebagai respons terhadap sistem cultuurstelsel atau tanam paksa yang diterapkan setelah VOC. Uang token perkebunan memiliki bentuk unik seperti segitiga, lingkaran, segi lima, dan lainnya. Dicetak untuk mencegah penyelewengan pekerja perkebunan dan berlaku di wilayah tertentu.

Uang dolar token perkebunan, seperti yang dicetak di Deli, Sumatra pada 1888, memiliki nilai nominal 1 dolar, 50 sen, dan 10 sen. Ada juga uang berbentuk bamboo dengan nominal 50 sen dari perkebunan the Parahyangan, banyak dicetak pada tahun 1888 dan terakhir pada 1890.

Pulau Bacan menjalin kerjasama dengan Belanda tanpa penjajahan, melainkan dalam perdagangan. Kesultanan Bacan mengeluarkan koin pada 1881 untuk perkebunan hasil kerjasama dengan "Rotterdam Batjan Cultuur Maatschapij," menjamin para pekerja kebun untuk beraktivitas pertanian di wilayahnya.

- Mata Uang Koin Kepeng Kepulauan Sumatra (1804)

Setelah VOC, kongsi dagang Belanda terbesar bubar, perdagangan mengalami tantangan. Beberapa daerah, termasuk kepulauan Sumatra, mengambil inisiatif membuat kebijakan sendiri untuk menjaga perdagangan internasional. Kepulauan Sumatra, sebagai contoh, mencetak uang koin sendiri dari tembaga dengan nilai nominal satu keping pada tahun 1804. Uang ini menampilkan lambang Singapura di muka dengan tulisan "Island of Sumatra," dan di belakang terdapat tulisan Arab "satu kepeng." Uang ini digunakan di kepulauan Sumatra untuk perdagangan rempah-rempah dengan Singapura. Uang tersebut memiliki ukuran kecil dan ketebalan yang tipis.

- Mata Uang Koin Stuiver Belanda (1800-1858)

Setelah VOC runtuh pada 31 Desember 1799, uang Stuiver Belanda digunakan, dan Perancis secara tidak langsung menguasai Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Raja Louis Napoleon, Herman Willem Daendels diangkat sebagai gubernur Hindia Belanda (1808-1811) dan membangun jalan pos Anyer Panarukan. Uang koin dengan lambang Alain, singkatan dari Louis Napoleon, terus dicetak menggunakan bahan tembaga.

Pada masa Inggris mengambil alih pada 1811, Dirham Inggris diperkenalkan dengan desain oleh Johan Anthonie Zwekkert, dikenal sebagai kawin Javas rupee dari emas dan perak, bertuliskan "British East India Company." Setelah wilayah koloni diserahkan kembali ke Belanda pada 16 Agustus 1816, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels mencetak uang koin berbahan tembaga hitam dengan tulisan "Nederland Indie" dan tahun cetak yang bervariasi, nominal 1/4, 1/2, 1, 5, dan 10 Stuiver.

Dengan diterapkannya sistem tanam paksa pada 1840-an, semakin banyak uang koin Rijksdaalder dicetak untuk memenuhi kebutuhan perekonomian. Pemerintah juga mengeluarkan uang sertifikat sebagai uang kertas untuk transaksi saham dan tanah kepada pihak swasta. Uang ini digunakan hingga tahun 1858.

- Mata Uang Gulden Nederland Indie (1858-1945)

Pada tahun 1858, setelah penghapusan sistem tanam paksa di Hindia Belanda, pemerintah kolonial Belanda mulai mencetak uang koin baru menggunakan mata uang Gulden. Uang ini memiliki berbagai nominal, seperti 1/10, 1/5, 1/4, 1/2, 1, 2 1/2, dan 5 gulden, serta pecahan lebih kecil 1/4, 1/2, 1, dan 5 sen.

Dari 1858 hingga 1900, uang koin Gulden Hindia Belanda terbuat dari timah hitam dengan ukuran kecil dan ketebalan tipis. Pada awal abad ke-20, pemerintah beralih ke perak, misalnya, pecahan 5 sen tahun 1913 dengan lubang lingkaran di tengahnya. Uang ini memakai cara pencetakan kepeng Cina.

Uang ini mencerminkan sejarah masa kolonial, di mana pecahan lima sen bisa membeli makanan nasi beserta lauknya. Meskipun setelah Indonesia merdeka uang ini tidak dicetak lagi, masyarakat masih menggunakannya hingga tahun 1951. Pada tahun tersebut, Indonesia mulai mencetak mata uang sendiri, dan koin Nederland Indie dinyatakan tidak berlaku lagi oleh pemerintah Indonesia.

Pengertian Konvergensi dan Divergensi

Konvergensi dan divergensi komunikasi antar budaya merujuk pada dua pendekatan atau pola yang dapat terjadi dalam interaksi komunikasi lintas budaya.

- Konvergensi

Model konvergensi menganggap bahwa komunikasi merupakan transaksi di antara partisipan yang setiap orang memberikan kontribusi pada transaksi tersebut meskipun dalam derajat yang berbeda (Liliweri, 2001: 84). Definisi komunikasi yang bersifat konvergensi mengandung arti bahwa berbagai informasi akan menghasilkan dan menentukan suatu hubungan antar dua individu atau lebih sehingga perilaku komunikasi harus dipelajari dengan dasar pandangan 'siapa berhubungan dengan siapa' (Suprapto, 2009: 83)

- Divergensi

Divergensi merupakan komunikasi yang menjauh karena pembicara menunjukkan perbedaannya kepada lawan bicara (Littlejohn & Foss, 2008: 153). Divergensi tidak dapat disalah artikan sebagai suatu cara tidak sepakat atau tidak memberi respon kepada lawan bicara Divergensi juga tidak sama dengan ketidak pedulian namun mereka memutuskan untuk mendisosiasikan atau memilih untuk menjauhkan diri untuk tidak berkomunikasi dengan apa yang bervariasi (West & Turner, 2008: 227).

Implikasi Perkembangan Mata Uang Koin Pada Masa Hindia Belanda dengan Konsep Konvergensi dan Divergensi dalam Konteks Antar Budaya

1. Konvergensi antar Budaya pada Masa Hindia Belanda:

- Adopsi Bahasa Arab pada Uang VOC (1726-1799):

Penggunaan bahasa Arab pada uang VOC adalah contoh konvergensi, di mana Belanda beradaptasi dengan budaya lokal untuk memudahkan interaksi dengan masyarakat setempat. Ini menunjukkan usaha untuk membangun hubungan yang lebih baik melalui pemahaman bahasa.

- Perubahan Bahan Uang Dari Perak ke Timah Hitam (1729):

Transisi dari menggunakan perak murni (dukaton) ke timah hitam adalah contoh konvergensi ekonomi. VOC mengubah kebijakan mata uang mereka untuk lebih mempertimbangkan faktor ekonomi lokal, memungkinkan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut.

- Penggunaan Uang Tembaga dan Tembaga Hitam (1800-1890):

Dalam situasi keuangan sulit setelah runtuhnya VOC, pemerintah kolonial Belanda mencetak uang darurat menggunakan tembaga dari Jepang. Hal ini menunjukkan respons terhadap kebutuhan lokal, mencerminkan konvergensi dalam menghadapi tantangan ekonomi.

2. Divergensi antar Budaya pada Masa Hindia Belanda

- Penolakan Uang Bonk dan Kebijakan Meleburnya (1800-1890):

Kebijakan pemerintah Belanda untuk mengurangi peredaran uang bonk dengan meleburnya adalah contoh divergensi. Hal ini menunjukkan ketidaksetujuan terhadap penggunaan uang bonk dan upaya untuk memperbaiki keadaan dengan mencetak uang yang dianggap lebih sah.

- Pencetakan Uang Token Perkebunan (1800-1890):

Pencetakan uang token perkebunan dengan bentuk unik dan nilai yang bervariasi menunjukkan divergensi dalam sistem mata uang lokal. Pemerintah kolonial Belanda mengambil langkah-langkah khusus untuk mengontrol ekonomi di perkebunan, menunjukkan perbedaan dalam pendekatan ekonomi.

- Munculnya Uang Koin Kepeng Kepulauan Sumatra (1804):

Inisiatif kepulauan Sumatra untuk mencetak uang koin sendiri menunjukkan divergensi, di mana daerah tersebut mengambil langkah independen dalam menjaga perdagangan internasional. Ini mencerminkan keberagaman dan kebebasan kebijakan lokal.

Kesimpulan

Pada masa Hindia Belanda, perkembangan mata uang koin mencerminkan hubungan kompleks antara Belanda dan Indonesia. Dari Dukaton Belanda hingga Gulden Hindia Belanda, setiap perubahan mencerminkan cara adaptasi terhadap keadaan setempat. Dalam hal ini, kita dapat melihat dua pola utama: konvergensi dan divergensi.

Konvergensi terjadi ketika Belanda mengadopsi bahasa Arab pada uang VOC, mengganti bahan uang dari perak ke timah hitam, dan mencetak uang tembaga sebagai respons terhadap situasi ekonomi lokal. Ini menunjukkan upaya untuk memahami dan beradaptasi dengan budaya setempat.

Di sisi lain, divergensi terlihat dalam penolakan terhadap uang bonk dan kebijakan meleburnya. Langkah ini menunjukkan perbedaan pandangan dan usaha Belanda untuk memperbaiki sistem mata uang yang dianggap tidak sah. Pencetakan uang token perkebunan dan uang koin kepeng Kepulauan Sumatra juga menunjukkan kebijakan independen dalam hal ekonomi dan kebijakan lokal.

Jadi, perkembangan mata uang koin tidak hanya mencerminkan transaksi ekonomi, tetapi juga dinamika hubungan antara dua budaya yang berbeda. Konvergensi dan divergensi adalah respons terhadap kondisi lokal, menunjukkan adaptasi dan perbedaan dalam menciptakan sistem mata uang yang sesuai dengan kebutuhan waktu dan tempat.

Referensi

Denna. (2015). KOMUNIKASI KONVERGENSI DAN DIVERGENSI DALAM NEW MEDIA (Studi Kasus Komunikasi Konvergensi dan Divergensi pada Komunikator Media Sosial Ask.fm) (p. 8).

Alrosyid, S. (2019). PERKEMBANGAN UANG DALAM SEJARAH INDONESIA. In Google Books (pp. 29–40). Uwais Inspirasi Indonesia. https://play.google.com/books/reader?id=NPHwDwAAQBAJ&pg=GBS.PR1&hl=en_GB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun