Seorang sastrawan berkebangsaan Inggris pernah mengungkapkan, bahwasanya apalah arti dari sebuah nama. Namun, lazimnya dalam nama yang diberikan oleh orang tua kepada seorang anak, terkandung harapan dan doa baik yang menyertainya. Sebagai sebuah identitas, nama yang mengandung unsur tradisional, misalnya dari suatu suku, sudah barang tentu akan menjadi pembeda yang menunjukkan identitasnya seumur hidup di mana pun seseorang tersebut berada. Hal yang demikian, berlaku pula pada khazanah kesundaan. Di mana, seseorang yang memiliki nama dengan khas Sunda, sesungguhnya akan membawa dan menunjukkan identitas kesukuannya tak hanya secara lokal, melainkan regional, bahkan nasional, hingga internasional. Dengan demikian, secara tak langsung mereka yang memiliki nama dengan unsur kesundaan telah berupaya untuk mempertahankan kultur Sunda dan hendaknya merasa bangga, sebab telah menjadi duta daerah yang memperkenalkan kultur Sunda ke mana pun ia berada.
Dewasa ini, seiring perkembangan dunia global, para orang tua menghadiahkan sebuah nama kepada anaknya sering kali dipengaruhi oleh kultur Barat dan Timur. Hal tersebut tidaklah menjadi masalah dan bukan merupakan sesuatu yang harus diperdebatkan. Karena, mau bagaimanapun pemberian nama untuk seorang anak ialah hak mutlak yang dimiliki oleh kedua orangtuanya. Namun, hal tersebut dapat mencerminkan sebagaimana kesadaran seseorang dalam menyikapi diri sebagai bagian dari suatu suku bangsa. Di mana, memberikan dan mempertahankan sebuah nama dengan unsur budaya lokal (Sunda) di tengah turbulensi budaya global ini akan menjadi sesuatu yang berat, apabila orang tua sebagai pemberi nama tidak memiliki kesadaran akan jati diri bangsa, yang dapat mengindikasikan dan mengukur pula kesadarannya sebagai masyarakat Sunda.
Menurut Rosidi, Ekadjati, dan Saini, orang Sunda ialah seseorang yang mengamalkan nilai-nilai kesundaan dalam berkehidupannya; mengakui dan diakui oleh orang lain sebagai orang Sunda; dan menerapkan, serta mempertahankan identitas kesundaannya tak hanya secara intelektual, melainkan secara emosional, pun intuitif. Kriteria untuk menyebut orang Sunda diatas, dapat dilakukan secara genealogi (keturunan) dan sosial budaya. Sehingga, hal tersebut berkaitan pula dengan mereka yang lahir, hidup, dan beraktivitas dengan kultur Sunda, serta yang berdomisili di Tatar Sunda.
Secara kultural, Sunda dapat dilihat dari sisi seni, agama, bahasa, sastra, dan organisasi sosialnya, yang seiring berjalannya waktu dan bergantinya zaman, budaya Sunda kemudian mengalami percampuran dengan berbagai kebudayaan lainnya, termasuk pada sisi keagamaan, yang memberikan pengaruh pada pemberian nama yang disematkan oleh orang tua kepada anaknya. Namun, di era pesatnya perkembangan dunia global kini, nampaknya percampuran tersebut ada yang membawa pengaruh negatif dalam pemberian nama bagi seorang anak, yang disadari maupun tidak, bertentangan dengan yang berlaku dalam bahasa Sunda. Misalnya, Lisa. Dalam bahasa Sunda, nama tersebut diartikan sebagai telur kutu. Kemudian, Sarah. Dalam bahasa Sunda, Sarah artinya sampah. Lalu, nama Sela. Dalam bahasa Sunda, Sela disamakan dengan pelana kuda. Selain itu, nama dari bahasa asing, seperti Merry, dalam bahasa Sunda pelafalannya dekat dengan meri yang artinya bebek. Walaupun secara umum nama-nama tersebut memang merupakan suatu hal yang lumrah, namun dalam budaya Sunda, hal tersebut merupakan sesuatu yang bermakna negatif. Sehingga, akan sangat tidak pantas bila hal tersebut disematkan sebagai identitas diri seorang anak. Oleh karena itu, hal tersebut perlu mendapat perhatian bagi para orang tua yang hendak menamai anaknya, dengan bersikap selektif dan kreatif dalam menerima budaya luar ketika hendak memberikan sebuah nama bagi seorang anak, agar tidak mengandung unsur negatif dan tetap mengusung budaya lokal (Sunda).
Padahal, dalam proses pemberian nama pada masyarakat Sunda, tidak asal diberikan begitu saja, melainkan dilakukan dengan adanya ritual seperti upacara selamatan, karena dianggap sakral dan berimplikasi pada prospek di masa mendatang. Sehingga, agar nama seorang anak kelak dapat membawa berkah, keselamatan, dan keunggulan bagi sang penyandang, maka banyak hal yang perlu diperhitungkan dalam pemberian nama tersebut, yang biasanya tak terlepas dari jam, hari, dan bulan ketika seorang anak dilahirkan. Dalam penyematan nama panggilan kesayangan dan untuk memudahkan penyebutan sehari-hari pun, dalam masyarakat Sunda tidak dilakukan secara gegabah, seperti nama panggilan untuk anak laki-laki, yaitu Asep dari kasep (tampan) dan nama panggilan untuk anak perempuan, yaitu Euis dari geulis (cantik).
Pemberian nama bagi seorang anak dalam berbagai budaya nampaknya sangat diwarnai oleh kondisi sosial budaya yang dianut oleh masyarakatnya. Sebagaimana Danesi dan Perron (1999) mengungkapkan bahwa, nama akan sangat erat kaitannya dengan identitas yang bersifat indeksikal, simbolis, dan terkadang ikonis. Sifatnya yang indeksikal, karena ia digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antarindividu. Lalu, bila dilihat secara simbolis, ia akan mengidentifikasikan muasal, jenis kelamin, kepercayaan, status sosial, dan identitas lainnya dari suatu individu. Disamping itu, sebagai produk yang memiliki kekuatan historis, nama seringkali memiliki hubung kait dengan sistem kebiasaan sekelompok masyarakat. Terakhir, pada aspek ikonis, nama yang dimiliki seseorang terkadang memiliki kesamaan dengan individu yang menjadi acuan.
Artinya, nama sebagai produk budaya menjadi sesuatu yang memiliki tempat istimewa dalam proses signifikansi. Karena, dalam nama seseorang, pada akhirnya akan mampu membentangkan makna yang tersirat maupun tersurat dari suatu kebudayaan. Hal tersebut berlaku pula pada masyarakat suku Sunda. Di mana, nama-nama khas pada suku ini, muncul dan berkembang dari kebiasaan masyarakatnya dalam menyematkan nama panggilan kesayangan bagi sang buah hati. Pemberian nama panggilan tersebut, pada awalnya memiliki keterkaitan dengan beberapa faktor penyertanya, seperti strata sosial, kekuasaan, dan kedekatan sosial. Namun, seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, nama panggilan tersebut kemudian digunakan sebagai nama depan seseorang yang terlepas dari status sosial pemiliknya.
Bila ditinjau secara historis, pada saat Kerajaan Mataram menguasai Pulau Jawa, khususnya ketika berada dibawah kepemimpinan Sultan Agung; Tatar Sunda yang menjadi salah satu wilayah kekuasaannya, kemudian terpengaruh oleh tatanan sosial yang berlaku pada saat itu, yakni dengan adanya stratifikasi dalam kehidupan sosial masyarakat, sehingga berpengaruh pula pada penyematan dan penyebutan nama panggilan bagi seseorang; di mana, semakin tinggi status sosialnya dalam masyarakat, maka nama panggilan yang berlaku pun akan berbeda, hingga menyangkut pada keturunannya.
Pada zaman dahulu, panggilan untuk nama Asep akan dibedakan berdasarkan status sosial keluarganya dalam masyarakat. Bagi masyarakat biasa, panggilan untuk nama Asep, cukup menyebutkan sebagaimana namanya saja. Namun, untuk kalangan dan keturunan ningrat, seseorang yang bernama Asep memiliki panggilan khusus yang lebih halus, yaitu Encep. Sementara, panggilan lain untuk anak laki-laki yang berlaku pada saat itu, ialah Ujang, yang diperuntukan bagi rakyat jelata dan merupakan anak orang lain.
Disamping strata sosial, faktor yang berpengaruh dalam pemberian nama panggilan bagi seorang anak ialah kedekatan sosial. Nama Asep disematkan oleh orang tua bagi sang anak yang berjenis kelamin laki-laki, sebagai nama panggilan kesayangan yang diambil dari kata kasep; dalam bahasa Indonesia, kasep berarti tampan. Sementara, bagi anak perempuan, Euis merupakan nama panggilan kesayangan yang diberikan oleh orang tua kepada buah hatinya yang diambil dari kata geulis atau dalam bahasa Indonesia yang berarti cantik.
Pola pemberian nama pada masyarakat Sunda zaman dahulu, setidaknya dapat diidentifikasi dengan mengikuti pola pemberian nama yang berlaku pada saat itu, yang masih bersifat sederhana dan hanya terdiri dari satu atau dua suku kata saja, seperti Asep, Ujang, Euis, Iis, Engkus, Lilis, Eman, dan lain sebagainya. Disamping itu, dalam masyarakat Sunda pun dikenal pola pemberian nama yang memiliki pengulangan vokal, seperti Aan, Iin, Uun, Een, Oon, dan semacamnya. Tak hanya pada awal nama saja, namun pengulangan vokal pun berlaku pada nama kedua, seperti Yayat Nurhayati, Maman Sulaeman, Eti Nurbaeti, dan masih banyak lagi.
Pola pemberian nama pada masyarakat Sunda yang tak kalah unik dari pola-pola sebelumnya, ialah pemberian nama dengan begitu singkat, seperti Aa, Ii, Uu, Ee, dan, Oo. Disamping itu, dalam masyarakat Sunda pun dikenal pola penamaan yang menggunakan rumus. Misalnya dengan menambahkan kata "su" dan "ma". Dari kata tersebut, kemudian muncullah "sur", "sup", "sut" dan lain sebagainya. Kemudian, dari kata "ma", muncul "mar" dan seterusnya. Contohnya, Adang Suradang, Usep Marusep, Maman Suparman, dan lain-lain. Pada intinya, dari berbagai pola nama yang berlaku tersebut, umumnya penamaan yang digunakan oleh masyarakat Sunda pada zaman dahulu, ialah dengan adanya pengulangan vokal.
Nama Asep dan Euis yang menjadi ciri khas penamaan dalam masyarakat suku Sunda, ternyata memiliki makna baik jika dilihat secara etimologis dalam berbagai bahasa. Untuk nama Asep, dalam bahasa Sanskerta memiliki arti dupa wangi. Bila dikaitkan dengan pemaknaan dalam bahasa Sunda, Indonesia, dan Sanskerta, nama Asep diharapkan dapat memberi sugesti dan doa bagi seseorang agar memiliki paras dan sikap yang rupawan, yang memiliki aura positif layaknya dupa wangi yang memberikan kesan ingin mengharumkan lingkungan sekitarnya. Sementara, untuk nama Euis, dalam bahasa Arab memiliki keterkaitan dengan kata Aisy/Aisyah yang berarti cantik dari luar dan dalam. Sehingga, anak perempuan yang bernama Euis diharapkan dapat menjadi seseorang yang memiliki paras cantik dan memiliki kepribadian yang cantik (baik) pula.
Nama-nama khas Sunda seperti Asep untuk anak laki-laki dan Euis bagi anak perempuan, memang merupakan sesuatu yang familiar dan tak asing terdengar di telinga masyarakat Sunda pada zaman dahulu. Namun, di era globalisasi seperti saat ini, dengan pesatnya persebaran dan pertukaran informasi secara digital yang mengakibatkan maraknya pemikiran sederhana dan dangkal dalam menghadapi berbagai fenomena buta yang berkembang dalam kesemuan dewasa ini, membuat nilai-nilai budaya lokal terasa aneh dan kuno untuk dilekatkan pada identitas seseorang.
Menjadi sebuah keniscayaan, bahwa globalisasi mampu mengaburkan garis-garis geografis, sosiologis, dan kebudayaan, sehingga mampu mendorong masyarakat untuk bergerak secara global. Akibatnya, muncullah kecenderungan pada pemberian nama anak yang dirasa kekinian, sebagai pengetahuan akal sehat yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat, termasuk pada suku Sunda. Di mana, para orang tua seakan menghindari pembubuhan nama-nama berbau lokal masa lampau kepada anaknya, karena khawatir akan memberikan dampak buruk pada anaknya secara sosial.
Disamping itu, adanya kemungkinan bahwa sebagian orang tua dengan nama yang melekat pada dirinya, telah mengalami masa-masa yang kurang menyenangkan dalam berinteraksi sosial di masa lalu, ditambah dengan perkembangan teknologi informasi saat ini yang turut memberi andil dalam menentukan pemikiran para orang tua masa kini, membuat mereka secara disadari maupun tidak, telah melakukan proses memilah sesuatu yang dianggap jadul dengan yang dianggap kekinian, termasuk dalam proses pemberian nama bagi seorang anak, yang mengakibatkan terjadinya dialektika berkesinambungan, sehingga menghasilkan pergeseran pada pola pemberian nama anak dewasa ini, dari yang bersifat lokal menjadi global, dari yang merepresentasikan status sosial menjadi universal, dan dari yang bersifat mononimi menjadi polinimi.
Sehingga, dalam budaya Sunda kini, dapat diidentifikasi berbagai ragam nama; mulai dari yang mengandung unsur keagamaan, etnis, hingga kebarat-baratan. Hal tersebut pada akhirnya menampakkan realitas yang menyiratkan adanya perubahan tatanan, yaitu kecenderungan pada pola pemberian nama anak yang dikolaborasikan dengan berbagai unsur, sehingga menghasilkan nama yang unik dengan racikan kata yang dipadupadankan sekreatif mungkin.
Pergeseran yang terjadi pada pola penamaan masyarakat Sunda pada saat ini, ialah banyak yang mengandung unsur keagamaan (Islam) dalam mengidentifikasi dirinya sebagai umat muslim. Dalam penamaannya, ada yang mengikuti ejaan Arab, seperti Muhammad Dzikri dan ada pula yang mengikuti ejaan yang di bahasa Indonesiakan atau di bahasa Sundakan, seperti pirmansyah. Disamping itu, ada pula pola penamaan yang memadukan nama Sunda dengan Islam, seperti Nenden Fitriyani. Lalu, ada pula pola campuran atau yang dapat dikatakan poluler saat ini, yaitu dengan mengombinasikan berbagai unsur budaya, sehingga menghasilkan tiga bahkan lebih suku kata nama, seperti Neneng Neni Febriyani, Siti Istighfarin Setyaningrum, Aysha Teresa Malik, Mahapadma Al Fachraizi, Salsabila Berliana Fransisca Budiarto, dan lain sebagainya.
Terjadinya pergeseran dalam pola pemberian nama pada masyarakat Sunda tersebut, dapat disimpulkan karena disebabkan oleh beberapa faktor penyertanya, seperti dinamika masyarakat yang semakin meningkat, perkembangan kosa kata dan bahasa manusia sebagai buah dari komunikasi peradaban, perkembangan akal budi dan pola pikir manusia, serta sikap mental dan respon budaya masyarakat, pun perkembangan kebutuhan manusia, serta jasa ilmu pengetahuan dan teknologi.
Referensi:
Bakti, I. S., Hamdi, E., & Nur, M. 2018. Pergeseran Pola Pemberian Nama Anak Pada Generasi Millenial dan Post-Millenial. Jurnal Sosiologi USK. 12 (1): 24-37.
Budiyansyah, T. 2016. Akulturasi Euis. URL: https://tedbudiyansyah.tumblr.com/post/141285981672/akulturasi-euis.
Gumilar, S. & Sahidin, A. 2019. Etos Kerja Urang Sunda: Ti Bihari Ka Kiwari. Jurnal Ilmiah Peradaban Islam. 16 (2):237-246. doi: https://doi.org//10.15575/al-tsaqafa.v16i2.5832
Isnendes, R. 2020. Nama Sebagai Sebuah Kesadaran Identitas Manusia Sunda: Kajian Budaya. LOKABASA. 11 (2):200-206. doi: https://doi.org/10.17509/jlb.v11i2.29146
Kautsar, N. D. 2020. Berawal dari Panggilan Khas Ningrat, Ini 6 Fakta Nama-nama Orang Sunda yang Ikonik. URL: https://www.merdeka.com/jabar/berawal-dari-panggilan-khas-ningrat-ini-6-fakta-nama-nama-orang-sunda-yang-ikonik.html.
Kosasih, D. 2010. Kosmologi Sistem Nama Diri (Antroponim) Masyarakat Sunda: dalam Konstelasi Perubahan Struktur Sosial Budaya. Prosiding Seminar Internasional “Hari Bahasa Ibu”. 19-20 Februari 2010, Bandung, Indonesia. pp.1-7.
Nurhayati. 2013. Negosiasi Identitas Dalam Pemberian Nama. HUMANIKA. 17 (1): 21-39. doi: https://doi.org/10.14710/humanika.17.1
Ruspiyandy, D. 2021. Asep, Euis, Ujang, Neneng Tetap Nama yang Keren. URL: https://www.ayobandung.com/netizen/pr-79710165/asep-euis-ujang-neneng-tetap-nama-yang-keren.
Saifullah. 2016. Teori Nama Sunda. URL: http://1ufuk7warna.blogspot.com/2016/07/teori-nama-sunda.html. Diakses tanggal 1 Agustus 2022.
Supriadin, J. 2020. Sunda Pisan, Muasal dan Makna Nama Asep yang Belum Banyak Diketahui. URL: https://www.liputan6.com/regional/read/4341585/sunda-pisan-muasal-dan-makna-nama-asep-yang-belum-banyak-diketahui.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H