Mohon tunggu...
Winda Amelia Utami
Winda Amelia Utami Mohon Tunggu... Mahasiswa - Third-year Undergraduate History Education Study Program at Indonesia University of Education

Mahasiswa semester enam program studi Pendidikan Sejarah UPI yang memiliki ketertarikan terhadap bidang pendidikan, dan kepenulisan, serta kesejarahan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kemana Hilangnya Asep dan Euis?

22 Juni 2023   19:52 Diperbarui: 22 Juni 2023   20:03 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: twitter.com/ariq_muthi_22

Disamping strata sosial, faktor yang berpengaruh dalam pemberian nama panggilan bagi seorang anak ialah kedekatan sosial. Nama Asep disematkan oleh orang tua bagi sang anak yang berjenis kelamin laki-laki, sebagai nama panggilan kesayangan yang diambil dari kata kasep; dalam bahasa Indonesia, kasep berarti tampan. Sementara, bagi anak perempuan, Euis merupakan nama panggilan kesayangan yang diberikan oleh orang tua kepada buah hatinya yang diambil dari kata geulis atau dalam bahasa Indonesia yang berarti cantik.

Pola pemberian nama pada masyarakat Sunda zaman dahulu, setidaknya dapat diidentifikasi dengan mengikuti pola pemberian nama yang berlaku pada saat itu, yang masih bersifat sederhana dan hanya terdiri dari satu atau dua suku kata saja, seperti Asep, Ujang, Euis, Iis, Engkus, Lilis, Eman, dan lain sebagainya. Disamping itu, dalam masyarakat Sunda pun dikenal pola pemberian nama yang memiliki pengulangan vokal, seperti Aan, Iin, Uun, Een, Oon, dan semacamnya. Tak hanya pada awal nama saja, namun pengulangan vokal pun berlaku pada nama kedua, seperti Yayat Nurhayati, Maman Sulaeman, Eti Nurbaeti, dan masih banyak lagi.

Pola pemberian nama pada masyarakat Sunda yang tak kalah unik dari pola-pola sebelumnya, ialah pemberian nama dengan begitu singkat, seperti Aa, Ii, Uu, Ee, dan, Oo. Disamping itu, dalam masyarakat Sunda pun dikenal pola penamaan yang menggunakan rumus. Misalnya dengan menambahkan kata "su" dan "ma". Dari kata tersebut, kemudian muncullah "sur", "sup", "sut" dan lain sebagainya. Kemudian, dari kata "ma", muncul "mar" dan seterusnya. Contohnya, Adang Suradang, Usep Marusep, Maman Suparman, dan lain-lain. Pada intinya, dari berbagai pola nama yang berlaku tersebut, umumnya penamaan yang digunakan oleh masyarakat Sunda pada zaman dahulu, ialah dengan adanya pengulangan vokal.

Nama Asep dan Euis yang menjadi ciri khas penamaan dalam masyarakat suku Sunda, ternyata memiliki makna baik jika dilihat secara etimologis dalam berbagai bahasa. Untuk nama Asep, dalam bahasa Sanskerta memiliki arti dupa wangi. Bila dikaitkan dengan pemaknaan dalam bahasa Sunda, Indonesia, dan Sanskerta, nama Asep diharapkan dapat memberi sugesti dan doa bagi seseorang agar memiliki paras dan sikap yang rupawan, yang memiliki aura positif layaknya dupa wangi yang memberikan kesan ingin mengharumkan lingkungan sekitarnya. Sementara, untuk nama Euis, dalam bahasa Arab memiliki keterkaitan dengan kata Aisy/Aisyah yang berarti cantik dari luar dan dalam. Sehingga, anak perempuan yang bernama Euis diharapkan dapat menjadi seseorang yang memiliki paras cantik dan memiliki kepribadian yang cantik (baik) pula.

Nama-nama khas Sunda seperti Asep untuk anak laki-laki dan Euis bagi anak perempuan, memang merupakan sesuatu yang familiar dan tak asing terdengar di telinga masyarakat Sunda pada zaman dahulu. Namun, di era globalisasi seperti saat ini, dengan pesatnya persebaran dan pertukaran informasi secara digital yang mengakibatkan maraknya pemikiran sederhana dan dangkal dalam menghadapi berbagai fenomena buta yang berkembang dalam kesemuan dewasa ini, membuat nilai-nilai budaya lokal terasa aneh dan kuno untuk dilekatkan pada identitas seseorang.

Menjadi sebuah keniscayaan, bahwa globalisasi mampu mengaburkan garis-garis geografis, sosiologis, dan kebudayaan, sehingga mampu mendorong masyarakat untuk bergerak secara global. Akibatnya, muncullah kecenderungan pada pemberian nama anak yang dirasa kekinian, sebagai pengetahuan akal sehat yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat, termasuk pada suku Sunda. Di mana, para orang tua seakan menghindari pembubuhan nama-nama berbau lokal masa lampau kepada anaknya, karena khawatir akan memberikan dampak buruk pada anaknya secara sosial.

Disamping itu, adanya kemungkinan bahwa sebagian orang tua dengan nama yang melekat pada dirinya, telah mengalami masa-masa yang kurang menyenangkan dalam berinteraksi sosial di masa lalu, ditambah dengan perkembangan teknologi informasi saat ini yang turut memberi andil dalam menentukan pemikiran para orang tua masa kini, membuat mereka secara disadari maupun tidak, telah melakukan proses memilah sesuatu yang dianggap jadul dengan yang dianggap kekinian, termasuk dalam proses pemberian nama bagi seorang anak, yang mengakibatkan terjadinya dialektika berkesinambungan, sehingga menghasilkan pergeseran pada pola pemberian nama anak dewasa ini, dari yang bersifat lokal menjadi global, dari yang merepresentasikan status sosial menjadi universal, dan dari yang bersifat mononimi menjadi polinimi.

Sehingga, dalam budaya Sunda kini, dapat diidentifikasi berbagai ragam nama; mulai dari yang mengandung unsur keagamaan, etnis, hingga kebarat-baratan. Hal tersebut pada akhirnya menampakkan realitas yang menyiratkan adanya perubahan tatanan, yaitu kecenderungan pada pola pemberian nama anak yang dikolaborasikan dengan berbagai unsur, sehingga menghasilkan nama yang unik dengan racikan kata yang dipadupadankan sekreatif mungkin.

Pergeseran yang terjadi pada pola penamaan masyarakat Sunda pada saat ini, ialah banyak yang mengandung unsur keagamaan (Islam) dalam mengidentifikasi dirinya sebagai umat muslim. Dalam penamaannya, ada yang mengikuti ejaan Arab, seperti Muhammad Dzikri dan ada pula yang mengikuti ejaan yang di bahasa Indonesiakan atau di bahasa Sundakan, seperti pirmansyah. Disamping itu, ada pula pola penamaan yang memadukan nama Sunda dengan Islam, seperti Nenden Fitriyani. Lalu, ada pula pola campuran atau yang dapat dikatakan poluler saat ini, yaitu dengan mengombinasikan berbagai unsur budaya, sehingga menghasilkan tiga bahkan lebih suku kata nama, seperti Neneng Neni Febriyani, Siti Istighfarin Setyaningrum, Aysha Teresa Malik, Mahapadma Al Fachraizi, Salsabila Berliana Fransisca Budiarto, dan lain sebagainya. 

Terjadinya pergeseran dalam pola pemberian nama pada masyarakat Sunda tersebut, dapat disimpulkan karena disebabkan oleh beberapa faktor penyertanya, seperti dinamika masyarakat yang semakin meningkat, perkembangan kosa kata dan bahasa manusia sebagai buah dari komunikasi peradaban, perkembangan akal budi dan pola pikir manusia, serta sikap mental dan respon budaya masyarakat, pun perkembangan kebutuhan manusia, serta jasa ilmu pengetahuan dan teknologi.

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun