Mohon tunggu...
Winda Ananta S
Winda Ananta S Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pilkada 2020 di Masa Pandemi Covid-19: Tolak Money Politic

12 Agustus 2020   18:30 Diperbarui: 27 Agustus 2020   11:45 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Winda Ananta Suryani Siregar 

Prodi Hukum Tata Negara UINSU 


Pilkada serentak 2020 digelar dimasa pandemic covid 19 tepat pada tanggal 9 desember 2020 di 270 daerah seindonesia. Keputusan mengenai pilkada ini sesuai dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang ditetapkan Presiden Joko Widodo pada tanggal 4 Mei 2020 di Jakarta.

Mengenai pilkada ini, KPU telah merancang protokol pelaksanaan Pilkada di masa pandemic covid 19 melalui Peraturan KPU. KPU memulai tahapan pilkada ini dengan agenda verfikasi factual terhadap calon kepala daerah. Mengenai tahapan pilkada ini, KPU telah menerbitkan PKPU  No 5 tahun 2020 Tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggara Pemiliha Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020.

Penyelenggaraan Pilkada di masa pandemi ini tidaklah ringan, dibutuhkan kedisiplinan, kolaborasi dan komitmen semua pihak agar teknik penyelenggaraan pilkada ini berhasil. Dengan diadakan pilkada dimasa pandemi ini ancaman penyebaran virus covid 19 sangat dikhawatirkan bagi pemilih maupun petugas penyelenggara pilkada.

Penerapan protokol kesehatan dalam penyelenggaraan pilkada akan meningkatkan biaya penyelenggaraan pilkada. Salah satunya pengadaan alat pelindung diri (APD) bagi petugas di lapangan termasuk pemilih seperti masker, sabun cuci tangan, penyanitasi tangan (hand sanitizer), face sheild, termasuk baju hazmat jika diperlukan khususnya di daerah yang berkategori zona merah.

Adapun masalah lain yang muncul dalam pilkada di masa pandemi ini yakni Peluang praktik politik uang atau Money Politic. Kondisi perekonomian masyarakat yang terdampak serius akibat pandemic covid 19 dapat menjadi alasan bagi para kandidat. Ditengah kondisi pandemic inilah, Praktik Politik uang seolah-olah menemukan momentumnya.

A. Apa itu Money Politic?

Money politic sama seperti suap, arti suap ialah uang sogok. Politik uang adalah pertukaran uang dengan posisi/ kebijakan/ keputusan politik yang mengatasnamakan kepentingan rakyat tetapi sesungguhnya demi kepentingan pribadi/ kelompok/ partai. [1]

Politik uang adalah suatu upaya memengaruhi orang lain (masyarakat) dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual-beli suara pada proses politik dan kekuasaan serta tindakan membagi-bagikan uang, baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih.[2]

Maka politik uang adalah semua tindakan yang disengaja oleh seseorang atau kelompok dengan memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu atau tidak menggunakan hak pilihnya untuk memilih calon tertentu atau dengan sengaja menerima atau memberi dana kampanye dari atau kepada pihak-pihak tertentu.

Dengan demikian money politic adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya denga cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pemberian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang umumnya dilakukan untuk menarik simpati para pemilih dalam menentukan hak suaranya tiap pemilihan umum.

B. Dasar Hukum Money Politic

Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Terkadang dalam prakteknya, pemilu justru diwarnai dengan ketidakbebasan, ketidakjujuran, dan ketidakadilan. Mengapa demikian ? karena salah satu penyebabnya yakni adanya praktik politik uang yang sudah merambat baik dalam ranah pileg, pilpres bahkan pilkada. [3]

UU No. 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum juga mengatur mengenai larangan politik uang yang tercantum dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j yang berbunyi “pelaksana, peserta, dan tim Kampanye Pemilu dilarang : j. Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye pemilu.”[4]

Khusus mengenai tindak pidana politik uang, diatur pada Pasal 523 peraturan a quo. Agar lebih konkrit, penulis akan mengutip ketentuan tersebut secara lengkap yakni sebagai berikut: Pasal 523 ayat (1) berbunyi: setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.OOO.OOO,OO (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 523 ayat (2) berbunyi: Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada Pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah).

Pasal 523 ayat (3) berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang dalam pasal 187 A yang berbunyi : (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1). [5]

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum dalam pasal 73 ayat (3) berbunyi ;  Barang siapa pada waktu diselenggarakannya Pemilihan Umum menurut Undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan hukuman penjara paling lama 3 (tiga) tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu.[6]

C. Bentuk-bentuk Money Politic

  • Berbentu uang (cash Money)

Uang merupakan faktor terpenting yang berguna untuk mendongkrak personal seseorang, sekaligus untuk mengendalikan wacana strategis terkait dengan sebuah kepentingan politik dan kekuasaan. Dimana, seseorang leluasa mempengaruhi dan memaksakan kepentingan pribadi dan kelompoknya pada pihak lain melalui berbagai sarana, termasuk uang.[7]

Dalam pemilihan kepala daerah atau wakil kepala daerah, uang sangat berperan penting. Modus Money Politic yang terjadi dan sering dilakukan, antara lain: Sarana Kampanye. Caranya dengan meminta dukungan dari masyarakat melalui penyebaran brosur, stiker dan kaos. Setelah selesai acarapun, para pendukung diberi pengganti uang transport dengan harga yang beragam.

Dalam Pemilu ada beberapa praktik tindakan Money Politic misalnya: distribusi sumbangan, baik berupa barang atau uang kepada para kader partai, penggembira, golongan atau kelompok tertentu. Bantuan Langsung (Sembako Politik). Yaitu pemberian dari calon tertentu untuk komunitas atau kelompok tertentu. Caranya, dengan mengirimkan proposal tertentu dengan menyebutkan jenis bantuan dan besaran yang diminta, jika proposal tersebut dikabulkan maka secara otomatis calon pemilih harus siap memberikan suaranya.

  • Fasilitas umum

Politik pencitraan dan tebar pesona lazim dilakukan oleh para calon untuk menarik simpati masyarakat didaerah pemilihannya. Hal ini tidak saja menguntungkan rakyat secara personal, namun fasilitas dan sarana umum juga kebagian “berkah”. Politik pencitraan dan tebar pesona melalui “jariyah politis” ini tidak hanya dilakukan oleh calon-calon yang baru, tetapi juga oleh para calon yang berniat maju kembali di daerah pemilihannya. Instrument yang dijadikan alat untuk menarik simpati masyarakat dengan menyediakan semen, pasir, besi, batu dan sebagainya. Fasilitas dan sarana umum yang biasa dijadikan Jariyah Politis, yaitu: Pembangunan Masjid, Mushalla, Madrasah, jalan-jalan kecil (gang-gang), dan sebagainya.[7]

D. Faktor yang Mempengaruhi Money Politic

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi Money Politic yakni : [9]

  • Kemiskinan

Sebagaimana kita ketahui, dalam kondisi Pandemi covid 19  angka kemiskinan di Indonesia semakin lama semakin tinggi. Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjan. Perekonomian masyarakat dalam situasi pandemi ini semakin sulit. Kondisi miskin tersebut seperti memaksa dan menekan sebagian masyarakat untuk segera mendapat uang. Money politic pun menjadi ajang para masyarakat untuk berebut uang. Mereka yang menerima uang terkadang tidak memikirkan konsekuensi yang akan diterima yaitu, tindakan suap dan jual beli suara yang jelas melanggar hukum. Yang terpenting adalah mereka mendapat uang dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

  • Rendahnya Pengetahuan Masyarakat Tentang Politik

Tidak semua orang tahu apa itu politik, bagaimana bentuknya, serta apa yang ditimbulkan dari politik. Itu semua bisa disebabkan karena tidak ada pembelajaran tentang politik di sekolah-sekolah ataupun masyarakatnya sendiri yang memang acuh terhadap politik di Indonesia. Sehingga ketika ada pesta politik, seperti pemilu, masyarakat tersebut akan bersikap acuh dengan pemilu. Tidak mengenal partai, tidak masalah. Tidak tahu calon anggota legislatif, tidak masalah. Bahkan mungkin, tidak ikut pemilu pun tidak masalah. Kondisi seperti ini menyebabkan maraknya politik uang. Masyarakat yang acuh dengan pemilu dengan mudah menerima pemberian dari para peserta pemilu. Politik uang pun dianggap tidak masalah bagi

mereka. Mereka tidak akan berpikir jauh ke depan bahwa uang yang diberikan itu suatu saat akan 'ditarik' kembali oleh para calon kandidat yang nantinya terpilih. Mereka tidak menyadari adanya permainan politik yang sebenarnya justru merugikan diri mereka sendiri.

  • Kebudayaan

Saling memberi dan jika mendapat rejeki, tidak boleh ditolak. Begitulah ungkapan yang nampaknya telah melekat dalam diri bangsa Indonesia. Uang dan segala bentuk politik uang dari peserta pemilu dianggap sebagai rejeki bagi masyarakat yang tidak boleh ditolak. Dan karena sudah diberi, secara otomatis masyarakat harus memberi sesuatu pula untuk peserta pemilu, yaitu dengan memilih, menjadi tim sukses, bahkan ikut menyukseskan politik uang demi memenangkan peserta pemilu tersebut. Hal itu semata-mata dilakukan sebagai ungkapan terimakasih dan rasa balas budi masyarakat terhadap si pemberi yang memberi uang.

Bagaimana cara mengatasinya?

Sadar ataupun tidak maraknya money politik telah banyak mengubah perpolitikan bangsa, maka pendidikan politik harus lebih ditingkatkan lagi dan lebih dikembangkan lagi, dengan cara memaksimalkan pendidikan yang ada dilembaga-lembaga politik seperti : partai politik, organisasi masyarakat, masyarakat, bahkan intansi pendidikan seperti sekolah diharapkan mampu kembali menerapkan pola pendidikan yang baik untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya politik, dan mengubah budaya negatif seperti money politik dalam kehidupan politik rakyat Indonesia.

Memperbaiki Sistem Pendidikan karena sistem pendidikan yang terjadi di negara kita itu lebih banyak mementingkan akademis, tanpa menghiraukan segi non akademis dan etika, dan itu sangat diperlukan untuk pembaharuan di sistem politik.

Mengedepankan Agama dan etika, salah satu faktor dari praktik-praktik negatif yang terjadi salah satunya adalah Money Politics, kebanyakan disebabkan karena pengetahuan agamanya dan etikanya kurang, karena apabila pengetahuan agama dan etika dari dalam diri seseorang itu sudah ditanamkan dalam-dalam maka hal-hal yang bersifat negatif cenderung lebih sedikit terjadi dalam praktik politik.

Sosialisasi Politik mampu menjadi senjata dalam memberantas praktek budaya money politik ini, karena sosilisasi lebih terkhusus pada penyuluhun tentang sistem, budaya dan segala hal yang menyangkut politik, maka diharapkan nantinya sosialisasi politik dapat menajdi magnet untuk merubah budaya money politik yang sangat meresahkan, dan sistem serta budaya politik bangsa semakin membaik.

Sebagai generasi millennial dengan kekuatan teknologi, kita dapat memanilisir money politic dengan menyebarkan gerakan anti money politic dan menyuarakan pilihan hak suara seseorang untuk masa depan Indonesia.

Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah semakin hari semakin dekat. Hati-hati jika ada yang iming-iming uang. Walaupun dimasa Pandemi ini perekonomian kita sangat sulit tapi jangan mau kita tergoda dengan adanya money politic. Bayangkan jika anda diberi uang Rp.200.000; agar memilih calon kepala daerah, maka suara anda akan dihargai Rp.20.000/tahun. Masa sih harga diri kita mau dijual serendah itu, oleh karena itu TOLAK MONEY POLITIC.

Referensi :

[1] Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Edisi Kedua, 1994), 965.

[2] Thahjo Kumolo, Politik Hukum PILKADA Serentak (Bandung, PT Mizan Publika, 2015), 155.

[3] Undang-undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia

[4] Undang-undang No 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum

[5]Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota

[6] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum

[7] Ahmad Khoirul Umam, Kiai dan Budaya Korupsi di Indonesia (Semarang: Rasail, 2006), 24.

[8] Ahmad Khoirul Umam, Kiai dan Budaya Korupsi di Indonesia (Semarang: Rasail, 2006), 24.

[9] Pahmi sy, Politik Pencitraan, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), 54


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun