Pada Senin, 19 November 2024, ruang sidang Pengadilan Negeri Takengon penuh sesak dengan suasana haru. Arslan Abdul Wahab, mantan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKK) Aceh Tengah, bersama bendaharanya, Nafisah Elviana, divonis tiga bulan penjara.Â
Vonis tersebut menjadi penutup kisah panjang perjuangan Arslan menyelamatkan keuangan daerah, yang oleh banyak pihak justru dianggap sebagai bentuk pengabdian, bukan pelanggaran.
Langkah Darurat di Tengah Krisis
Tahun 2022, Kabupaten Aceh Tengah menghadapi defisit anggaran sebesar Rp 65 miliar. Situasi ini membuat pembayaran tagihan penting, seperti tunjangan profesi guru (TPG) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), berada di ujung tanduk. Pemerintah pusat mengancam pemotongan anggaran tahun berikutnya jika kewajiban ini tidak segera diselesaikan.
Arslan, sebagai pejabat yang bertanggung jawab atas keuangan daerah, mengambil langkah berani. Ia memutuskan menggunakan dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS) yang masih mengendap di rekening kas umum daerah (RKUD) untuk sementara waktu.Â
Dana tersebut, yang sejatinya belum teralokasikan untuk program tertentu, dipindahbukuan guna memenuhi kewajiban mendesak pemerintah daerah. Tak lama setelah itu, dana ZIS tersebut dikembalikan sepenuhnya.
"Ini hanya pemindahbukuan, bukan pengalihan dana," tegas Arslan dalam pledoinya. Ia menambahkan bahwa tindakannya dilakukan dengan niat tulus menyelamatkan daerah dari sanksi finansial yang lebih besar.
Integritas yang Tak Terbantahkan
Bagi yang mengenal Arslan, vonis tersebut terasa tidak adil. Ia dikenal sebagai sosok sederhana, jujur, dan disiplin. Bahkan di lingkup keluarga, Arslan menolak menggunakan fasilitas dinas untuk kepentingan pribadi. Ketika salah seorang kerabat meminta izin meminjam mobil dinasnya, ia dengan tegas menolak, menyebut bahwa aset negara hanya boleh digunakan untuk tugas resmi.
Di lingkungan kerja, Arslan adalah pemimpin yang teliti dan peduli pada bawahannya. Tak heran, saat vonis dibacakan, puluhan kolega dan sahabat hadir memberikan dukungan moral. Tangis haru pecah di ruang sidang, melambangkan solidaritas dan penghormatan kepada perjuangan Arslan.
Payung Hukum yang Dikesampingkan
Dalam pembelaannya, Arslan merujuk pada Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang mengatur bahwa zakat adalah salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dana tersebut, menurutnya, dikelola di bawah kewenangan bagian keuangan daerah, bukan sepenuhnya otonom di bawah Baitul Mal.
Selain itu, Arslan menggunakan prinsip diskresi sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Diskresi, yang memungkinkan pejabat mengambil langkah luar biasa dalam situasi darurat, menjadi landasan hukumnya dalam mengambil keputusan. Sayangnya, argumen ini tidak cukup kuat untuk membebaskannya dari dakwaan.
Suara Hati yang Tersisa
Kini, pasca vonis, rumah Arslan di Paya Tumpi 1 ramai dikunjungi oleh sahabat dan kolega yang memberikan dukungan. Hasanudin, mantan direktur BUMD Tanoh Gayo, menyebut Arslan sebagai sosok yang jujur dan tidak banyak bicara.
 "Arslan adalah pejabat yang memiliki kinerja dan loyalitas yang tinggi", kata Hasan.
Pendapat serupa diungkap Abshar SHÂ Kabag Hukum Setdakab Aceh Tengah. Menurutnya Arslan seharusnya mendapat penghargaan bukan sebaliknya, dihukum.
Meski begitu, Arslan tetap terlihat tegar. Dengan mata berkaca-kaca, ia menyampaikan bahwa langkahnya semata-mata demi menyelamatkan keuangan daerah dengan sanksi hilangnya kucuran dana tahun berikutnya.
Pun begitu dia hanya bisa pasrah meski berbagai upaya yang dilakukannya berhadiah penjara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H