Dalam pembelaannya, Arslan merujuk pada Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang mengatur bahwa zakat adalah salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dana tersebut, menurutnya, dikelola di bawah kewenangan bagian keuangan daerah, bukan sepenuhnya otonom di bawah Baitul Mal.
Selain itu, Arslan menggunakan prinsip diskresi sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Diskresi, yang memungkinkan pejabat mengambil langkah luar biasa dalam situasi darurat, menjadi landasan hukumnya dalam mengambil keputusan. Sayangnya, argumen ini tidak cukup kuat untuk membebaskannya dari dakwaan.
Suara Hati yang Tersisa
Kini, pasca vonis, rumah Arslan di Paya Tumpi 1 ramai dikunjungi oleh sahabat dan kolega yang memberikan dukungan. Hasanudin, mantan direktur BUMD Tanoh Gayo, menyebut Arslan sebagai sosok yang jujur dan tidak banyak bicara.
 "Arslan adalah pejabat yang memiliki kinerja dan loyalitas yang tinggi", kata Hasan.
Pendapat serupa diungkap Abshar SHÂ Kabag Hukum Setdakab Aceh Tengah. Menurutnya Arslan seharusnya mendapat penghargaan bukan sebaliknya, dihukum.
Meski begitu, Arslan tetap terlihat tegar. Dengan mata berkaca-kaca, ia menyampaikan bahwa langkahnya semata-mata demi menyelamatkan keuangan daerah dengan sanksi hilangnya kucuran dana tahun berikutnya.
Pun begitu dia hanya bisa pasrah meski berbagai upaya yang dilakukannya berhadiah penjara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H