Mohon tunggu...
Winayatun Azizah
Winayatun Azizah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

La Tahzan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Pemikiran Asy'ariyah: Awal Mula dan Perkembangannya dalam Islam

2 November 2024   14:10 Diperbarui: 2 November 2024   14:41 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah Pemikiran Asy'ariyah: Awal Mula dan Perkembangannya dalam Islam

Pendahuluan

Pemikiran Asy'ariyah merupakan salah satu aliran utama dalam teologi Islam Sunni yang memiliki pengaruh signifikan sejak era klasik hingga saat ini. Aliran ini dikembangkan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari (873-935 M), seorang teolog besar yang hidup pada abad ke-9 di Basrah, Irak. Asy'ariyah muncul sebagai respons terhadap berbagai aliran pemikiran teologis yang berkembang pada masa itu, khususnya Mu'tazilah. Tujuan utamanya adalah mempertahankan prinsip-prinsip dasar dalam ajaran Islam sembari menjawab tantangan intelektual dari pemikiran rasional yang berkembang pesat. Pemikiran Asy'ariyah berhasil menjadi salah satu pilar utama teologi Sunni dan diterima oleh berbagai kalangan di dunia Islam.

Latar Belakang Munculnya Pemikiran Asy'ariyah

Pada abad ke-8 hingga ke-9 M, dunia Islam mengalami dinamika pemikiran yang luar biasa, terutama dalam bidang teologi. Munculnya pemikiran rasional yang diusung oleh kelompok Mu'tazilah memicu banyak perdebatan tentang konsep Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan hubungan antara kehendak manusia dan ketentuan Tuhan. Mu'tazilah dikenal sebagai aliran yang menekankan penggunaan akal secara intens dalam memahami agama, termasuk dalam menjelaskan sifat-sifat Tuhan dan konsep keadilan ilahi. 

Namun, pendekatan rasional Mu'tazilah menuai kritik karena dianggap terlalu spekulatif dan cenderung mereduksi kebesaran Tuhan ke dalam batasan logika manusia. Bagi sebagian kalangan, hal ini dianggap berpotensi menimbulkan kesalahpahaman dalam memaknai ajaran Islam yang autentik. Al-Asy'ari, yang awalnya adalah seorang penganut Mu'tazilah, kemudian melakukan refleksi mendalam dan beralih untuk mengembangkan pendekatan baru yang menggabungkan penggunaan akal dengan pemahaman tradisional.

 Awal Mula Pemikiran Asy'ariyah

Abu al-Hasan al-Asy'ari lahir dalam keluarga yang menganut pemikiran Mu'tazilah. Beliau belajar teologi dari gurunya, al-Jubba'i, seorang pemikir Mu'tazilah terkemuka. Namun, pada usia 40 tahun, al-Asy'ari mengalami transformasi intelektual. Beliau mengumumkan keluar dari aliran Mu'tazilah dan mulai merumuskan ajaran baru yang tetap menghargai akal, tetapi menekankan keterbatasannya dalam memahami hal-hal yang bersifat ilahi. 

Asy'ariyah didasarkan pada prinsip bahwa meskipun akal manusia penting, terdapat batasan yang tidak boleh dilampaui ketika membahas sifat-sifat Tuhan. Al-Asy'ari menegaskan pentingnya wahyu sebagai sumber utama dalam teologi. Ia juga memperkenalkan konsep bahwa beberapa aspek dalam ajaran Islam, khususnya yang terkait dengan sifat-sifat Tuhan, harus diterima secara tekstual tanpa perlu penjelasan logis yang mendetail. Pendekatan ini disebut dengan bila kayf (tanpa mempertanyakan "bagaimana")—suatu metode untuk menerima ajaran agama tanpa mencari logika yang terlalu rinci di baliknya.

Prinsip-Prinsip Utama Pemikiran Asy'ariyah

Pemikiran Asy'ariyah memiliki beberapa prinsip utama yang menjadi dasar ajarannya, antara lain:

1. Sifat Tuhan: Asy'ariyah berpendapat bahwa sifat-sifat Tuhan harus diterima sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an tanpa mengubah atau menafsirkan secara berlebihan. Sifat-sifat Tuhan, seperti Maha Melihat dan Maha Mendengar, diterima tanpa perlu dipertanyakan mekanismenya.

2. Kehendak Bebas dan Takdir: Salah satu perdebatan utama di kalangan teolog Islam adalah tentang kehendak bebas manusia dan takdir Tuhan. Asy'ariyah memegang konsep kasb atau usaha manusia. Menurut al-Asy'ari, manusia memiliki peran aktif dalam perbuatannya melalui usaha, tetapi kehendak dan kuasa penuh tetap berada di tangan Tuhan. Tuhan adalah penguasa mutlak yang menentukan segala sesuatu, namun manusia tetap bertanggung jawab atas perbuatannya.

3. Wahyu dan Akal: Bagi Asy'ariyah, wahyu adalah sumber utama dalam pemahaman agama, sedangkan akal memiliki peran sekunder. Akal dianggap penting tetapi tidak mampu secara penuh memahami hakikat Tuhan yang transenden. Oleh karena itu, wahyu memiliki posisi yang lebih tinggi daripada akal dalam memahami ajaran agama.

4. Keimanan: Asy'ariyah menekankan pentingnya iman dan amalan sebagai bagian integral dari keislaman seseorang. Iman tidak hanya melibatkan keyakinan dalam hati, tetapi juga diwujudkan melalui amalan baik. 

Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran Asy'ariyah

Seiring berjalannya waktu, pemikiran Asy'ariyah diterima luas oleh umat Islam, terutama di kalangan Sunni. Pada abad pertengahan, pemikiran Asy'ariyah menjadi landasan teologi resmi di berbagai madrasah di dunia Islam, terutama di wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan dinasti-dinasti besar seperti Dinasti Abbasiyah, Ayyubiyah, dan Mamluk.

Salah satu faktor utama yang mendorong perkembangan Asy'ariyah adalah penerimaan aliran ini oleh banyak ulama dan cendekiawan terkemuka. Imam al-Ghazali (1058-1111 M), salah satu pemikir Islam paling berpengaruh, adalah seorang pengikut Asy'ariyah yang memperkuat aliran ini melalui karyanya, seperti Ihya Ulum al-Din dan Tahafut al-Falasifah. Al-Ghazali berhasil mempertahankan posisi Asy'ariyah di tengah tantangan pemikiran filsafat yang berkembang pesat pada masa itu. Berkat peran al-Ghazali, Asy'ariyah berhasil bertahan dan tetap relevan hingga era modern.

Tantangan Pemikiran Asy'ariyah di Era Kontemporer

Di era modern, pemikiran Asy'ariyah menghadapi berbagai tantangan. Munculnya aliran-aliran pemikiran baru, baik yang lebih konservatif maupun yang lebih liberal, memberikan tantangan tersendiri bagi pemikiran Asy'ariyah. Beberapa kelompok modernis mengkritik Asy'ariyah karena dianggap terlalu tradisional dan kurang memberikan ruang untuk perkembangan pemikiran rasional.

Namun, banyak juga ulama dan cendekiawan yang melihat Asy'ariyah sebagai jalan tengah yang relevan dalam menghadapi tantangan modern. Asy'ariyah dinilai mampu menjaga keseimbangan antara pemahaman tekstual dan pendekatan rasional, sehingga dapat menjadi landasan yang stabil di tengah perdebatan pemikiran kontemporer.

 Kesimpulan

Pemikiran Asy'ariyah telah memainkan peran penting dalam sejarah teologi Islam, dari masa awal pembentukannya hingga perkembangannya di era kontemporer. Dengan pendekatan yang mengutamakan wahyu dan akal dalam batas tertentu, Asy'ariyah berhasil menjembatani antara pemikiran rasional dan ajaran tradisional Islam. Meskipun menghadapi tantangan dari berbagai aliran pemikiran, Asy'ariyah tetap relevan bagi banyak Muslim yang mencari landasan teologis yang kokoh. Peran al-Asy'ari dan para pengikutnya telah mengukir sejarah panjang yang mewarnai pemikiran Islam, menjadikan Asy'ariyah sebagai salah satu pilar utama teologi Sunni yang bertahan hingga kini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun