Mohon tunggu...
Win Winarto
Win Winarto Mohon Tunggu... -

Berusaha untuk selalu bermanfaat dengan menjadi pemerhati politik, ekonomi dan perbankan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pahlawan Obor Rakyat...

15 Juni 2014   03:51 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:42 1546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

MEMBACA tulisan panjang Darmawan Seprayossa, Tentang Obor Rakyat dan Saya, seperti memberikan persfektif lain tentang makna pahlawan. Tulisan di Inilah.com, Jumat, 13 Juni 2014 | 07:59 WIB, itu berisi pembelaan sang penulis atas keterlibatannya dalam penerbitan tabloid Obor Rakyat, yang menghebohkan itu. Selengkapnya baca: http://nasional.inilah.com/read/detail/2109274/tentang-obor-rakyat-dan-saya#.U5xSOHKSyNA

Dengan jejak panjang sebagai wartawan --antara lain Republika, Tempo dan kini di Inilah.com--, Darmawan Seproyossa (dsy), pandai menggiring pembaca untuk memahami pilihannya menerima ajakan menerbitkan tabloid itu. Ia menulis diajak Setiyardi Budiono, sang pemred, sohibnya di  Tempo dulu. Setiyardi kini masuk lingkaran dalam Istana, sebagai staf dari salah satu Staf Khusus Presiden.

Dalam penjelasan panjang itu, dsy menguraikan bagaimana nyaris semua media massa mainstream, menjadi partisan, dengan menjadi pendukung, atau minimal menyuarakan kepentingan salah satu capres-cawapres. Bagus, ketika ia mencoba mengingatkan agar media tidak boleh lupa pada tugasnya sebagai watch dog (anjing penjaga).

Sayangnya, karena ia menjadikan Rupert Murdock, raja media kuning sebagai acuan. Lihat kutipannya: Sikap itu mau tak mau menjadikan kami terlihat sebagai media partisan. Awalnya kami sendiri tak nyaman dengan hal itu. Tetapi bukankah bahkan menurut raja media Rupert Murdoch pun tak mungkin media massa tak berpihak? “Tuhan saja tidak netral,” kata Murdoch, “apalagi media massa.

Setelah itu semua, makin susah memahami heroisme Darmawan Sepriyossa. Terutama ketika ia menganggap pamflet fitnah --sesuai isi Obor Rakyat, yang menyerang pribadi Capres Joko Widodo-- sebagai jurnalisme media mainstream. Wah, ada apa ini?

Naifnya, Darmawan menyiratkan Setiyardi yang mengajaknya menerbitkan tabloid itu, orang yang lihai mendapatkan iklan penerbitan, seperti pengalamannya selama ini. Dengan begitu, ia ingin mengatakan, dua edisi Obor Rakyat yang sudah diedarkan di pesantren-pesantren di Jawa itu, pasti dibiayai murni oleh iklan. Pengiklan mana yang mau ya?

Meski masih perlu penyelidikan lebih jauh, publik dengan mudah menangkap pembiayaan tabloid yang isinya menyudutkan salah satu pasangan capres peserta Pilpres 2014 itu, dari mana. Siapa yang mau membiayai tabloid yang dibagikan gratis itu, jika tidak ada kepentingan politik besar di belakangnya? Apa kepentingannya dan siapa yang membiayainya, kita tunggulah penyelidikan pihak kepolisian.

Cara berkelit

Sebagai orang awam, kesan berikutnya yang ditampilkan Darmawan Sepriyossa itu, seperti mencampuradukkan 'kemuliaan' dengan 'dosa'. Terutama ketika ia, dengan enteng menyebutkan, berkaca dari sejarah media massa di berbagai negara, justru media partisan (maksudnya seperti Obor Rakyat itu), yang selalu mengiringi atau turut serta dalam sejarah kebangkitan sebuah Negara.

"Atau pada sisi lainnya, media-media partisan juga yang pertama kali hidup di suatu Negara. Pada 1766, di India lahir Calcutta Gazette dan Bombay Gazette, yang sepenuhnya partisan kepada pemerintah." Tulisnya pada bagian lain artikelnya itu.

Lalu, Darmawan Sepriyossa menuliskan bagaimana di Indonesia, banyak pejuang kemerdekaan yang juga berprofesi sebagai wartawan. "Marco Kartodikromo dan Adinegoro, misalnya. Selain seorang jurnalis, Mas Marco aktivis pergerakan nasional dan sekretaris Sarekat Islam Solo. Aktivitas gerakannya telah membuat dia ditangkap dan dipenjara oleh pemerintah kolonial Belanda beberapa kali."

Ada contoh lebih mutakhir, yang dilampirkan dalam tulisan panjangnya pula. Pengalaman dua senior Darmawan dan Setiyardi di Tempo, Ahmad Taufik dan Eko ‘Item’ Maryadi, senior di Kampus Unpad, Dipati Ukur, Bandung. Keduanya, Taufik dan Eko, September 1995, dijatuhi hukuman 32 bulan penjara di era rezim Orde Baru.

Ahmad Taufik yang saat itu ketua Presidium Aliansi Jurnalis Independen(AJI) dan Eko Maryadi, kepala sekretariat AJI, dijatuhi hukuman karena menerbitkan majalah Suara Independen. Majalah itu dibuat para aktivis setelah pembreidelan Majalah Tempo, Juni 1994.

Mengutip tulisannya; dalam pertimbangan putusannya, hakim mengemukakan Ahmad Taufik dan Eko Maryadi terbukti bersalah "menyebarkan rasa permusuhan kepada pemerintah melalui tulisan di Independen. Melanggar pasal 154 jo 55 KUHP. Kedua terdakwa juga disebut hakim, melanggar pasal 19 UU Pokok Pers 1982, yakni menyalahgunakan fungsi pers untuk kepentingan pribadi dan golongan. "Tindakan itu bisa memecah belah persatuan bangsa," kata hakim.

Kalaulah Obor Rakyat produk jurnalistik, lalu kenapa Darmawan dan Setiyardi dengan sadar mengambil bahan-bahan bernada provokatif dari semua yang berseliweran di laman sosial media? Ada jawaban Darmawan Sepriyosso: Karena pengalaman kami mengatakan, cara itulah yang paling efektif dalam menyebarkan pikiran. Kami kembali berutang kepada Rupert Murdoch, yang untuk soal ini berkata,” I think a newspaper should be provocative, stir ‘em up, but you can’t do that on television…”

Lalu, kutipan tulisan Darmawan menjelang akhir: "Jadi, kalaupun sahabat semua menilai pikiran kami naif, kami melihat kerja kecil kami ini sebagai bentuk perjuangan. Perjuangan untuk mengingatkan, perjuangan untuk menyatakan suara—bahkan kalau pun yang bersuara seperti itu di negeri ini tak lebih dari bilangan jari jumlahnya.

Dan insya Allah, kami pun selalu merawat perjuangan itu dengan doa. Karena kami membaca melalui kisah para nabi dan orang-orang terpilih, dengan gamblang terlihat bahwa perjuangan dan doa menjadi piranti penting untuk menumbuhkan harapan dan merawat optimisme.

Maksudnya, kalau tidak salah, lewat Obor Rakyat yang disebar gratis khusus di pesantren-pesantren di Jawa itu, Darmawan dan tentu juga Setiyardi, ingin mengingatkan Jokowi, yang dituding bersalah karena nyapres. Salah, karena Jokowi meninggalkan kursi Gubernur DKI Jakarta, yang belum selesai masa pengabdian pertamanya, dengan jadi capres.

Dari situ, terbayang kalau pasangan Capres Prabowo Subianto-Cawapres Hatta Rajasa, menang dalam Pilpres, 9 Juli 2014, Darmawan Seprayossa dan kawan-kawan di Obor Rakyat, bakal menjadi pahlawan pergerakan. Setidaknya, seperti Marco Kartodikromo dan Adinegoro itu.

Satu hal, bagian ini tidak bermaksud menggiring opini, seolah pihak di belakang penerbitan itu, kubu Prabowo-Hatta. Logikanya, tulisan di tabloid itu, menyerang Jokowi, yang diuntungkan tentulah pasangan Praha itu. Jadi, dengan mencoba memahami alur tulisan soal media partisan di era perjuangan itu, jika capres Prabowo-cawapres Hatta yang memenangkan pertarungan, Darmawan Seprayossa dan kawan-kawan pastilah menjadi pahlawan, pahlawan karena Obor Rakyat.

Itulah persfektif lain dari makna pahlawan yang menyembul dari tulisan panjang Darmawan Seprayossa itu. Kalau terjadi salah tangkap makna, maafkanlah ya....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun