Mohon tunggu...
Winarto -
Winarto - Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

noord oost zuid west, thuis best.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lebaran Tak Bertakbir: Ketidaksempurnaan Yang Menyempurnakan

4 September 2011   08:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:15 1368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_132869" align="aligncenter" width="648" caption="Kue dan Hidangan Lebaran di open house Mbak Tina, Groningen"][/caption]

~Youtube Bertakbir~

Hari raya Idul Fitri atau biasa juga disebut dengan Lebaran merupakan hari yang sangat ditunggu tidak hanya bagi umat Islam, namun juga umat non-muslim. Di masyarakat Indonesia, hari raya tersebut menyedot perhatian hampir seluruh penduduk Indonesia. Sebagai gambaran dapat terlihat dari pengalaman pribadi. Saya sangat menikmati dan menunggu hari raya lebaran sebab manakala malam takbiran, saya sesekali ikut berjalan keliling kampung meskipun saya bukan Muslim. Seusai sholat Idul Fitri, biasanya saya juga ikut berkeliling mengucapkan “maaf lahir batin” kepada tetangga yang merayakan sambil menantikan “amplop Lebaran” yang dibagikan orang yang lebih tua kepada anak-anak.

Ketika tiap tahun sudah terbiasa melihat dan mengalami pengalaman yang menyenangkan selama berlebaran, maka akan ada yang merasa hilang ketika “pernak-pernik” lebaran tidak teridentifikasi oleh panca indera. Ambil contoh gema takbir yang dilakukan dari tiap-tiap masjid hingga takbir keliling dengan membawa obor dan bedug. Setidaknya apa yang dialami oleh Nyimas Wardah, seorang mahasiswa master di Wageningen University, menggambarkan betapa sangat meriah suasana lebaran di kampung halaman. Tetapi, karena kini dia berada di Negeri Belanda, nuansa Idul Fitri yang meriah di Indonesia tidak bisa dia nikmati langsung. Untuk menambah suasana lebaran, Nyimas Wardah memanfaatkan Youtube dan memutar “Gema Takbir Idul Fitri” di komputernya sambil mengetik di Facebook “Begini caraku menikmati aura menjelang IED. Hidupkan you tube, mainkan!!” agar telinganya tidak merasa kehilangan ketiak tidak ada takbir berkumandang seperti yang terjadi di Indonesia.

[caption id="attachment_3681" align="aligncenter" width="484" caption="Youtube Bertakbir"][/caption]

Saya sempat menyapanya dengan cara memberikan komentar di Facebook. Dengan bercanda saya bertanya, “Nanti mlm keliling takbiran dimn?”

Belum sempat dia jawab, saya melanjutkan pertanyaan, “Sudah buat obor?”

Pertanyaan saya di atas ternyata ditanggapi oleh Wardah. Dia akan pergi ke Den Haag bersama teman-teman dari Wageningen. Di sana mereka akan kumpul dengan teman-teman yang kuliah di ISS dan Utrecht. Sebetulnya, saya sangat kepingin bergabung dengan mereka, namun karena ada urusan di Groningen, saya harus ikhlas tidak bisa ikut merayakan lebaran di Den Haag. Sebagaimana Wardah yang sudah terbiasa mendengar gema takbir di Indonesia, saya pun menghidupkan suasana lebaran dengan mendengarkan suara takbir di Youtube yang tautannya dipasang di Facebook oleh Wardah.

Memaknai Pernak-Pernik Lebaran

Selain gema takbir, makanan seperti ketupat dan opor juga diidentikkan dengan hari raya Idul Fitri. Kerinduan untuk menikmati hidangan lezat Lebaran tentu juga sangat dinantikan oleh setiap orang. Setidaknya, tulisan di Facebook Dian Pratiwi Pribadi yang juga mahasiswa Master di Wageningen University menggambarkan bagaimana seseorang yang kehilangan nuansa Lebaran. Tetapi ada sebuah pelajaran yang menarik dari apa yang ditulis oleh Dian;

“walau tanpa gema takbir, tanpa talu beduk, tanpa letupan mercon, tanpa nikmat opor & ketupat, tanpa kepuasan njanggol (he he.. jowo polll ki!)..lebaran dalam hati, terasa syahdu & hikmat melebihi masa-masa sebelumnya karena ketulusan meminta maaf melebihi segalanya kutujukan kepada teman-teman semua, Selamat Idul Fitri..”

Setelah membaca keseluruhan, saya memberi perhatian pada “melebihi masa-masa sebelumnya” karena Dian mampu memaknai Lebaran yang sesungguhnya, yaitu berlebaran dalam hati dan tulus dalam memberi dan meminta maaf kepada sesamanya. Makna itu jauh lebih berharga ketimbang letupan mercon, opor dan ketupat lebaran, suara-suara bedug yang bertalu-talu dan gema takbir keliling yang biasa terlihat ketika dia berada di Indonesia. Saya bisa merasakan apa yang Dian tulis itu, karena aura Lebaran yang terjadi di Indonesia sangat tidak terlihat di Belanda.

Walaupun demikian, pernak-pernik Lebaran tetaplah merindukan. Wardah dan teman-temannya pergi ke Den Haag setelah merencanakan jauh-jauh hari. Dalam perencanaan itu, mereka akan memasak hidangan khas lebaran seperti opor, sambal goreng kentang, tempe bakar dan tumis paria. Melalui kegiatan ini, rasa kebersamaan dan kekeluargaan terbina karena bersama-sama berkumpul dan bersosialisasi. Oleh karena itulah, di Indonesia tiap tahun orang berbondong-bondong pulang kampung di saat hari raya Idul Fitri demi berkumpul dengan keluarga di daerah asal.

Saya lantas teringat dengan sebuah lagu bernuansa Idul Fitri yang dinyanyikan oleh Didi Kempot berjudul Tulisan Tangan. Salah satu liriknya mengatakan:

swara takbir ngelingke aku (suara takbir mengingatkanku) pingin nangis jroning batinku (ingin menangis di dalam batinku) karep mulih orang duwe sangu (ingin pulang tidak punya uang saku) ra bisa sungkem romo lan ibu (tidak bisa sujud dan meminta maaf pada bapak dan ibu)

Mungkin lirik di atas hanyalah sebuah lagu, namun mungkin juga banyak terjadi, entah di wilayah Indonesia bagian mana. Saat berada di perantauan, jauh dari keluarga dan mendengar suara takbir berkumandang, ingin rasanya berada di tengah-tengah keluarga untuk merayakan hari raya Lebaran bersama-sama dengan mereka. Hari raya Idul Fitri tidak hanya sebagai perayaan kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa, tetapi juga memiliki makna kebersamaan dan keakraban dalam sebuah keluarga. Oleh karena itulah, orang-orang rela berjerih lelah memesan tiket jauh-jauh hari untuk pulang kampung, berdesak-desakan di terminal, stasiun dan bandara, menghadapi macet di jalan hingga rela naik sepeda motor demi berkumpul di tengah-tengah keluarga. Itu juga yang dilakukan dan dicari Wardah dan kawan-kawan dengan cara menempuh perjalanan satu jam kereta ke Den Haag. Mereka ingin berlebaran dalam satu ikatan keluarga dan saudara.

Sesudah Maaf Apa?

Ketika menghadiri open house di rumah Mbak Tina, mahasiswa PhD di Groningen University, saya bertemu dengan banyak orang, baik yang sudah kenal maupun baru bertemu. Kebanyakan orang Indonesia. Seperti kebanyakan orang pada umumnya, saya mengatakan kepada orang yang yang saya temui, “Selamat Hari Raya Idul Fitri. Maaf lahir batin!”

Sementara mengatakan kalimat tersebut berulang-ulang, batin saya “nakal” menanggapi kalimat ucapan selamat yang saya berikan. Bagaimana mungkin orang yang baru pertama kali bertemu, belum berkenalan, tapi sudah mengucapkan maaf lahir batin? Kata “maaf” mungkin menjadi “trending topic” yang ramai diucapkan oleh banyak orang dan ditulis dalam pesan-pesan Idul Fitri.

Saya lantas mencari-cari jawaban tatkala duduk menikmati kue-kue hidangan lebaran mengapa batin saya sampai nakal bertanya seperti itu. Saya tidak bisa menemukan jawaban yang pasti, namun ketika saya melahap opor ayam, saya hanya sampai pada jawaban kalau sebetulnya memberi dan meminta maaf sebetulnya sangat tidak mudah. Ada rasa gengsi ketika seseorang harus mengucapkan maaf karena telah berbuat salah. Demikian pula ketika hendak memberikan maaf, seseorang juga akan terasa berat ketika harus mengucapkan kata maaf dari hati yang terdalam.

Lantas, sesudah maaf apa? Berbuat salah lagi dan meminta maaf lagi? Semoga kata maaf yang diucapkan pada hari raya yang fitri benar-benar bersumber dari hati nurani dan meluncur secara tulus dan ikhlas. Sebagai manusia, pastilah berbuat kesalahan-kesalahan, tetapi, jadikanlah kesalahan-kesalahan tersebut sebagai sebuah pelajaran hidup yang menyempurnakan menapaki jalan-jalan kehidupan menuju kepada Sang Khalik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun