Saya lantas teringat dengan sebuah lagu bernuansa Idul Fitri yang dinyanyikan oleh Didi Kempot berjudul Tulisan Tangan. Salah satu liriknya mengatakan:
swara takbir ngelingke aku (suara takbir mengingatkanku) pingin nangis jroning batinku (ingin menangis di dalam batinku) karep mulih orang duwe sangu (ingin pulang tidak punya uang saku) ra bisa sungkem romo lan ibu (tidak bisa sujud dan meminta maaf pada bapak dan ibu)
Mungkin lirik di atas hanyalah sebuah lagu, namun mungkin juga banyak terjadi, entah di wilayah Indonesia bagian mana. Saat berada di perantauan, jauh dari keluarga dan mendengar suara takbir berkumandang, ingin rasanya berada di tengah-tengah keluarga untuk merayakan hari raya Lebaran bersama-sama dengan mereka. Hari raya Idul Fitri tidak hanya sebagai perayaan kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa, tetapi juga memiliki makna kebersamaan dan keakraban dalam sebuah keluarga. Oleh karena itulah, orang-orang rela berjerih lelah memesan tiket jauh-jauh hari untuk pulang kampung, berdesak-desakan di terminal, stasiun dan bandara, menghadapi macet di jalan hingga rela naik sepeda motor demi berkumpul di tengah-tengah keluarga. Itu juga yang dilakukan dan dicari Wardah dan kawan-kawan dengan cara menempuh perjalanan satu jam kereta ke Den Haag. Mereka ingin berlebaran dalam satu ikatan keluarga dan saudara.
Sesudah Maaf Apa?
Ketika menghadiri open house di rumah Mbak Tina, mahasiswa PhD di Groningen University, saya bertemu dengan banyak orang, baik yang sudah kenal maupun baru bertemu. Kebanyakan orang Indonesia. Seperti kebanyakan orang pada umumnya, saya mengatakan kepada orang yang yang saya temui, “Selamat Hari Raya Idul Fitri. Maaf lahir batin!”
Sementara mengatakan kalimat tersebut berulang-ulang, batin saya “nakal” menanggapi kalimat ucapan selamat yang saya berikan. Bagaimana mungkin orang yang baru pertama kali bertemu, belum berkenalan, tapi sudah mengucapkan maaf lahir batin? Kata “maaf” mungkin menjadi “trending topic” yang ramai diucapkan oleh banyak orang dan ditulis dalam pesan-pesan Idul Fitri.
Saya lantas mencari-cari jawaban tatkala duduk menikmati kue-kue hidangan lebaran mengapa batin saya sampai nakal bertanya seperti itu. Saya tidak bisa menemukan jawaban yang pasti, namun ketika saya melahap opor ayam, saya hanya sampai pada jawaban kalau sebetulnya memberi dan meminta maaf sebetulnya sangat tidak mudah. Ada rasa gengsi ketika seseorang harus mengucapkan maaf karena telah berbuat salah. Demikian pula ketika hendak memberikan maaf, seseorang juga akan terasa berat ketika harus mengucapkan kata maaf dari hati yang terdalam.
Lantas, sesudah maaf apa? Berbuat salah lagi dan meminta maaf lagi? Semoga kata maaf yang diucapkan pada hari raya yang fitri benar-benar bersumber dari hati nurani dan meluncur secara tulus dan ikhlas. Sebagai manusia, pastilah berbuat kesalahan-kesalahan, tetapi, jadikanlah kesalahan-kesalahan tersebut sebagai sebuah pelajaran hidup yang menyempurnakan menapaki jalan-jalan kehidupan menuju kepada Sang Khalik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H