BENCANA SEJAK DALAM PIKIRAN
Selasa, 25 Februari 2020
Bumi itu datar katanya
Tapi ia mampu berputar?
Bumi itu indah katanya
Tapi mengapa manusia mencari selingkuhan?
Terlalu merasa pintar sampai lupa batasan menuju bodoh
Banyak maunya, sampai Tuhan pun bingung
Ada apa dengan makhluk-makhluk ini? masih waraskah mereka?, mafhum
Dewasanya labil, remajanya pecicilan sampai lupa punya nyawa yang mudah melayang
Kemarin hutan kita semua, eh hutan milik mereka kebakaran katanya
Aktivis dan netizen saling hujat, polisi hutan ikut diseret dan dituduh mengamini, petani sawit kocar-kacir ke balik ketek atasan, bergelayutan tidak dapat perlindungan
Batuk para warga masih lebih rendah daripada kicauan sampah dari orang-orang mageran
Bersiul ke sana-kemari mencari alasan
Saling menyalahkan, leluhur pun dipanggil sebagai saksi untuk mendakwa langit
Menabur garam di pelupuk mata Bumi, perih
Menengadah meminta jatah air
Bukannya sudah kau tolak dengan sumpah serapah hujan itu kemarin? begitu sadarku sebagai pengintip
Ratusan cara sudah dilakukan untuk membujuknya turun menjamahi tanah kering
Berguling-guling, seekstrem mungkin, sampai yang paling khusyuk
Garam itu pun masuk ke mata Bumi, menggelap dan kemudian merintik
Mengucur di mana- mana, mengguyur setiap hati dan otak yang kemarau
Mereka bersorak, girang bukan main, bersujud, menunjuk langit, dan menyalib dada
Tidak ada yang salah dengan agama, selama itu baik bagi mereka masing-masing, tentu bukan urusanku pula, selama tidak saling usik
Salahkan manusianya, jangan kendaraannya
Berhari, berminggu-minggu masih senang menyambut hujan, hingga sampah menyumbang perannya di jalur tol
Tersumbat mulut para pejabat, eh tersumbat mulut air oleh janji pejabat
Lagi-lagi disalahkan, siapa? saya!
Siapa yang lupa diri, siapa yang punya raga, siapa pula yang jaga?
Bagai petak umpet dengan bayangan sendiri, menggemaskan, bayi saja menyusu sambil terheran
Longsor katanya di sana, banjir bandang katanya di ujung sana
Kembali, ini salah siapa?
Sekali lagi, manusia sedang lupa diri
Ingatannya terlalu sesak oleh ilmu yang terlampau bermanfaat, hingga lupa apa yang diinjak
Sumpah serapah, bajuku basah
Kenapa hujan, kenapa kau turun di saat yang tidak tepat
Tunggu, kemarin kau bilang turunlah hari-hari maka aku akan senang; mereka
Tapi kemarin hanya jadi kemarin
Ada yang menggaruk kepalanya, pusing
Pe-nyair ini sedang menulis puisi apa?
Lupakanlah, karena yang kita bahas adalah mata kaki mereka yang terlanjur tenggelam, harapan mereka yang telah hanyut
Kolamnya sudah digratiskan, tanahnya sudah diratakan, mari kita peringati hari kematian, bagi mereka yang tidak mampu tahlilan.
Cihaurbeuti
Dalana WK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H