Mohon tunggu...
Dalana WK🍓
Dalana WK🍓 Mohon Tunggu... Penulis - Penyair

Life is true and Love is God ~ Hargailah Karyanya, Jika tidak mampu menghargai Orangnya ~

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Bencana Sejak dalam Pikiran

25 Februari 2020   10:26 Diperbarui: 25 Februari 2020   10:39 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Vera Kalinkina

BENCANA SEJAK DALAM PIKIRAN

Selasa, 25 Februari 2020

Bumi itu datar katanya

Tapi ia mampu berputar?

Bumi itu indah katanya

Tapi mengapa manusia mencari selingkuhan?

Terlalu merasa pintar sampai lupa batasan menuju bodoh

Banyak maunya, sampai Tuhan pun bingung

Ada apa dengan makhluk-makhluk ini? masih waraskah mereka?, mafhum

Dewasanya labil, remajanya pecicilan sampai lupa punya nyawa yang mudah melayang

Kemarin hutan kita semua, eh hutan milik mereka kebakaran katanya

Aktivis dan netizen saling hujat, polisi hutan ikut diseret dan dituduh mengamini, petani sawit kocar-kacir ke balik ketek atasan, bergelayutan tidak dapat perlindungan

Batuk para warga masih lebih rendah daripada kicauan sampah dari orang-orang mageran

Bersiul ke sana-kemari mencari alasan

Saling menyalahkan, leluhur pun dipanggil sebagai saksi untuk mendakwa langit

Menabur garam di pelupuk mata Bumi, perih

Menengadah meminta jatah air

Bukannya sudah kau tolak dengan sumpah serapah hujan itu kemarin? begitu sadarku sebagai pengintip

Ratusan cara sudah dilakukan untuk membujuknya turun menjamahi tanah kering

Berguling-guling, seekstrem mungkin, sampai yang paling khusyuk

Garam itu pun masuk ke mata Bumi, menggelap dan kemudian merintik

Mengucur di mana- mana, mengguyur setiap hati dan otak yang kemarau

Mereka bersorak, girang bukan main, bersujud, menunjuk langit, dan menyalib dada

Tidak ada yang salah dengan agama, selama itu baik bagi mereka masing-masing, tentu bukan urusanku pula, selama tidak saling usik

Salahkan manusianya, jangan kendaraannya

Berhari, berminggu-minggu masih senang menyambut hujan, hingga sampah menyumbang perannya di jalur tol

Tersumbat mulut para pejabat, eh tersumbat mulut air oleh janji pejabat

Lagi-lagi disalahkan, siapa? saya!

Siapa yang lupa diri, siapa yang punya raga, siapa pula yang jaga?

Bagai petak umpet dengan bayangan sendiri, menggemaskan, bayi saja menyusu sambil terheran

Longsor katanya di sana, banjir bandang katanya di ujung sana

Kembali, ini salah siapa?

Sekali lagi, manusia sedang lupa diri

Ingatannya terlalu sesak oleh ilmu yang terlampau bermanfaat, hingga lupa apa yang diinjak

Sumpah serapah, bajuku basah

Kenapa hujan, kenapa kau turun di saat yang tidak tepat

Tunggu, kemarin kau bilang turunlah hari-hari maka aku akan senang; mereka

Tapi kemarin hanya jadi kemarin

Ada yang menggaruk kepalanya, pusing

Pe-nyair ini sedang menulis puisi apa?

Lupakanlah, karena yang kita bahas adalah mata kaki mereka yang terlanjur tenggelam, harapan mereka yang telah hanyut

Kolamnya sudah digratiskan, tanahnya sudah diratakan, mari kita peringati hari kematian, bagi mereka yang tidak mampu tahlilan.

Dokpri. Design by Canva
Dokpri. Design by Canva
"Bencana sejak dalam pikiran, Penanggulangan hanya dalam ucapan. Merdekah!."

Cihaurbeuti

Dalana WK.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun