Mohon tunggu...
Winarta Hadiwiyono
Winarta Hadiwiyono Mohon Tunggu... -

Lahir dan tinggal di Sleman, Yogyakarta. Email: winarta@excite.com, oewin@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Orang Yapen Papua Ingin Bertemu Pak SBY

15 Juli 2010   06:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:51 1142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Perjalanan di Kepulauan Yapen)

Gempa bumi yang melanda biak dan Yapen, Papua pada akhir Juni 2010 lalu mengingatkan perjalanan saya di Kepulauan Yapen pada akhir 2009. Terutama keramahan orang-orangnya dan masih minimnya infrastruktur untuk mendukung kemajuan warganya. Sebagai orang yang tinggal di Jawa saya merasa lebih beruntung, tetapi sebagai orang Indonesia saya merasa ada "hutang" yang harus kita bayar pada orang-orang Yapen....

Saya bersama tiga teman meninggalkan Yogyakarta Rabu 25 November 2009 pukul 16.45 dengan rute Jakarta-Makasar-Biak dan baru ke Pulau Yapen, tepatnya ke Kota Serui. Dari Jakarta kami baru terbang pukul 21.10 dan sampai di Bandara Frans Kaisebo Biak keesokan harinya, pukul 05.18 WIT (03.18 WIB). Kami segera membeli tiket pesawat yang akan membawa ke Serui, ibu kota Kabupaten Kepulauan Yapen. Kepulauan Yapen letaknya di sebelah selatan Biak atau di bawah Biak. Pulau paling besarnya adalah Yapen yang dikelilingi pulau-pulau kecil. Pesawat dan kapal laut menjadi moda transportasi yang penting untuk memperlancar mobilitas warga.

Pesawat yang akan membawa kami ke Yapen adalah pesawat kecil berpenumpang sekitar 12 orang. Pesawat ini dioperasikan oleh maskapai Susi Air. Harga tiket per orang sebesar Rp 800.000. Ditambah biaya bagasi Rp 350.000 karena bawaan kami memang cukup banyak. Teman saya bercerita, Susi adalah nama pemilik maskapai tersebut dan berasal dari Pangandaran, Jawa Barat. Orangnya punya kepedulian sosial yang tinggi. Misalnya, pernah menggunakan pesawatnya untuk membantu penanganan Gempa Aceh 2004.

Dengan menggunakan pesawat kecil, kami hanya menghabiskan waktu sekitar 25 menit. Kalau mau naik kapal, bisa menghabiskan waktu beberapa jam. Pukul 10.00 WIT pesawat Susi Air sudah siap berangkat.. Saya duduk di tepat belakang copilot. Tepat pukul 10.15 WIT, pesawat take off dengan baik. Pilot/copilot pesawat kecil ini ternyata orang asing. Pemandangan biak dan kepulauan Yapen dari atas sangat indah. Saya sampai termangu dan membebaskan mata saya untuk menikmatinya. Laut yang biru, pulau yang eksotis. Saya sempat berpikir, enaknya jadi pilot pesawat. Sepertinya tidak sulit amat mengendalikan pesawat kecil. Bahkan pilot mengemudikan pesawat sambil makan buah apel. Ingin rasanya lebih lama berada di atas pulau-pulau kecil ini. Pukul 10. 40 pesawat mendarat di bandara Sujarwo Condronegoro. Ini adalah bandara kecil karena hanya untuk pesawat kecil. Kami sempat merasa aneh dengan nama orang Jawa ini. Bandara ini sangat terbuka, tidak ada pagar ketat. Sehingga orang dengan mudah keluar masuk bandara untuk sekedar menonton pesawat yang take of dan landing.

Akhirnya kami tiba juga di Pulau Yapen. Kami langsung menuju penginapan, Hotel Kelapa Dua yang terletak di Jalan Frans Kaisepo. Naik mobil hanya butuh sekitar 15 menit. Kota Serui nampak lengang. Saya merasa seperti di sebuah kota kecamatan di Jawa Tengah. Dulunya nama Kabupaten Kepulauan Yapen adalah Kabupaten Yapen Waropen, setelah terjadi pemekaran dengan berdirinya Kabupaten Waropen dalam perkembangannya kabupaten induknya berubah nama menjadi Kabupaten Kepulauan Yapen. Meskipun telah terjadi perubahan nama banyak papan nama usaha atau instansi pemerintah yng masih menggunakan nama kabupaten Yapen Waropen.

Pada awalnya Kabupaten Kepulauan Yapen terdiri dari 5 distrik (kecamatan) dan 111 kampung (desa). Sekarang ini sudah berkembang menjadi 12 distrik dengan jumlah kampung tetap. Beberapa distrik dimekarkan. Konon masih akan ada 3 distrik baru hasil pemekaran.

Distrik dan kampung di Kabupaten Kepulauan Yapen sekarang ini

No.

Nama Kecamatan/Distrik

Nama Kampung (Desa)

1.

Yapen Selatan

1. Serui Kota

2. Serui Jaya

3. Tarau

4. Anotaurei

5. Mariadei

6. Mantembu

7. Famboaman

8. Warari

9. Turu

10. Serui Laut

11. Yapan

12. Pasir hitam

13 Pasir Putih

14. Banawa

2.

Kosiwo

1. Panduami

2. Tatui

3. Mariarotu

4. Kamanap

5. Ariepi

6. Aromarea

7. Sarawandori

8. Kanawa

9. Ambaidiru

10. Mambo

3.

Angkaisera

1. Kainui 1

2. Roipi

3. Kontiunai

4. Wanampompi

5. Wadapi

6. Wawuti

7. Kainui 2

8. Ransamoni

9. Aitiri

10. Menawi

11. Borai

12. Kabuena

13. Yapanani

14. Waniwon

4.

Kepulauan Ambai

1. Bambawi

2. Rondepi

3. Ambai I

4. Ambai II

5. Saweru

6. Kawipi

7. Adiwipi

8. Baispre/Rondepi II

9. Wamori

10. Umani

5.

Yapen Timur

1. Nunsembai

2. Awunawai

3. Wabo

4. Korombobi

5. Wonsupi

6. Wabompi

7. Mereruni

8. Nunsyiari

9. Dawai

6.

Teluk Ampimoi

1. Ayari

2. Waita

3. Wabuayar

4. Bareraifi

5. Koroaipi

6. Ampimoi

7. Randawaya

8. Warironi

9. Tarei

7.

Raimbawi

1. Waindu

2. Kurudu

3. Barawai

4. Sawenui

5. kororompui

6. Woda/bariwaro

7. Aisau

8. Doreiamini

9. Andesari

10. Kirimbri

11. Kaipuri

8.

Yapen Utara

1. Roswari

2. Yobi

3. Soromasem

4. Sambrawai

5. Tindaret

6. Kiriyou

9.

Yapen Barat

1. Webi

2. Bimoni

3. Ansus

4. Warabori

5. Kairawi

6. Natabui

7. Papuma

8. Sasawa

10.

Wonawa

1. Wooi

2. Kanaki

3. Aibondeni

4. Dumani

5. Woinap

6. Miosnum

11.

Poom

1. Poom 1

2. Poom 2

3. Serewen

4. Makiroan

5. Rarisi

6. Wariori

12.

Windesi

1. Saruman

2. Waisani

3. Munggui

4. Asai

5. Windesi

6. Kaonda

7. Karawi

8. Rosbori

12 Distrik

111 Kampung

Hotel tempat kami menginap berada di bawah bukit, sehingga punya view yang lumayan bagus terutama ketika ada barisan kabut yang berjalan. Kami putuskan segera beristirahat karena sorenya harus bertemu dengan sejumlah orang Yapen. Pertemuan tersebut untuk mencari informasi bagaimana melakukan perjalanan ke distrik-distrik di kepulauan Yapen. Informasi ini penting karena kami akan mendatangi sejumlah distrik.

Semenjak di Yogyakarta kami sudah mencari informasi bagaimana transportasi di kepulauan Yapen. Yang sudah tergambar perjalanan ke distrik akan banyak menggunakan perahu/kapal atau speedboat. Jalan darat terutama hanya tersedia di distrik sekitar ibu kota kabupaten. Dari pertemuan yang kami lakukan, informasi yang kami peroleh menjadi sangat lengkap. Harga bensin untuk kendaraan di darat hampir sama dengan di Jawa Rp 4.500 per liter dan persediaan di POM tidak masalah. Yang menjadi masalah bahan bakar untuk kapal atau speedboat langka. Pemilik kapal dilarang membeli bahan bakar yang khusus untuk kendaraan di darat, sementara ketersediaan bahan bakar untuk kapal terbatas. Akhirnya orang susah mencari bahan bakar untuk kapal, harganya pun menjadi 10 ribu sampai 5 ribu per liter. Di beberapa distrik untuk mencapai kampung-kampung tertentu harus melewati laut yang gelombangnya tinggi. Sehingga tidak mudah untuk mencapai suatu pulau/kampung, tergantung apakah ada bahan bakar dan apakah gelombang sedang baik. Itu pun bagi orang yang mempunyai kapal/perahu. Bagi warga yang tidak mempunyai kapal/speedboat ya harus menunggu ada kapal lewat, baik kapal yang memang mencari penumpang (taksi kapal) ataupun menumpang kapal nelayan.

Dalam pertemuan tersebut juga ada masukan, apabila akan menemui orang di luar Distrik Yapen selatan perlu membawa pinang, istilahnya kontak pinang. Masyarakat di sini memang masih banyak yang mengunyah pinang. Kalau di jawa istilahnya "nginang". Bedanya di Jawa pakai gambir dan daun sirih, sementara di papua pada umumnya yang dikunyah adalah buah pinang dan buah sirih. Di Jawa dan papua sama-sama mencampur dengan kapur (jawa: injet). Biasanya ketika bertamu pada rumah di Yapen, tamu membawa pinang dan membukanya, dan selanjutnya ketika ngobrol berlangsung tamu maupun tuan rumah mengunyah pinang. Dengan suasana seperti ini kedatangan kita menjadi diterima dan berlangsung nyaman. Saya bertanya, mengingat di Papua laki-laki juga mengunyah pinang, apakah ketika bertamu saya juga harus mengunyah pinang. Saya disarankan tidak memaksakan mengunyah pinang, karena tuan rumah dapat memahami kalau tamu tidak biasa mengunyah pinang.

Agaknya kultur pinang memang masih kuat termasuk di kalangan generasi mudanya. Terbukti sejumlah muda-mudi yang pernah mengenyam pendidikan tinggi pun masih mengunyah pinang. Katanya menjaga budaya leluhur, bahkan ada yang kurang kalau tidak mengunyah pinang. Dalam pertemuan tersebut ada yang sambil mengunyah pinang. Bagaimana ya rasanya. Sambil tertawa salah seorang gadis Yapen bilang: pinang rasa stroberi.

Kami rencananya akan mengunjungi distrik sekitar tangal 1-2 Desember 2009, tapi sangat tergantung cuaca dan keadaan laut. Hari-hari sebelumnya kami gunakan untuk berkeliling Yapen. Tanggal 27 November pagi hujan deras. Hari itu bertepatan dengan Hari Idul Adha. Kami sholat Ied di masjid masjid yang hanya berjarak sekitar 1 Km dari hotel. Di sini toleransi beragama sangat baik. Di depan hotel ada gereja, ketika kami tanya letak masjid orang sekitar dengan ramah menunjukkan.

Siang hari, setelah Sholat Jumat kami mengelilingi Serui, melihat pelabuhan, dan pusat pemerintahan kabupaten Kepulauan Yapen. Pelabuhan agak kotor, sampah-sampah mengotori air sekitar dermaga tempat taksi perahu bersandar. Terlihat kapal besar sedang membongkar muatan. Tidak jauh dari dermaga banyak sekali penjual pinang. Teman saya berkomentar, orang jualan pinang seperi orang menjual pulsa ponsel di Yogyakarta, dapat ditemui di mana-mana.

Selanjutnya kami melihat kantor pemerintahan yang sedang libur karena libur nasional (Idhul Adha). Sebagian besar papan nama masih tertulis Kabupaten Yapen Waropen. Heran saya mengapa tidak segera diganti. Positifnya, mungkin untuk hemat anggaran karena catnya masih bagus. Kami berputar-putar mencari warnet. Warnet tersebut milik kantor Kominfo Kabupaten kepulauan Yapen. Kami hanya memastikan tempatnya dan baru hari berikutnya pergi ke warnet.

Kelihatannya warga mengandalkan informasi dari TV (banyak rumah mempunyai parabola) dan juga radio (RRI). Surat kabar menjadi barang langka. Tidak ada kios surat kabar terlihat selama berada di Yapen. Menurut informasi, surat kabar memang langka biasanya yang masuk sudah terlambat dari tanggal terbitnya.

Malamnya kami mendapat informasi tersedia speedboat yang dapat dipakai tetapi bahan bakarnya belum tersedia. Akhirnya tanggal 28 November kami dapat kepastian ada 200-300 liter bahan bakar yang sudah didapat untuk speedboat. Kami jadi agak tenang, berarti kunjungan ke beberapa distrik nanti dapat dilakukan.

Tanggal 28 November siang kami ke warnet. Akses warnet cukup baik, tarifnya Rp 3.500 per 30 menit. Warnetnya hampir selalu penuh pengunjung. Beruntung kami langsung dapat pakai, tidak harus antri. Menjelang sore barulah kami keluar dari warnet.

Menjelang petang kami bertemu dengan sejumlah orang Yapen. Di sela-sela pertemuan kami bertanya banyak hal. Misalnya bagaimana mungkin lapangan terbang di Yapen namanya diambil dari nama orang Jawa. Menurut mereka tidak ada masalah dengan nama jawa tersebut, "Pak Sujarwo Condronegoro itu orang berjasa." Ditambahakan, tidak perlu mengganti nama lapangan terbang karena tidak ada masalah. Yang bermasalah justru para pejabat di Kepulauan Yapen yang kurang memikirkan kepentingan masyarakat, lebih sering jalan-jalan ke Jawa terutama ke Jakarta. "Kabupaten Kepulauan Yapen ini Kabupaten Palsu," cetusnya. Lho? Menurutnya perkembangan kabupaten kepulauan Yapen sangat lambat. Pemekaran kabupaten dan distrik tidak membawa perubahan yang berarti. Pemekaran hanya menjadi sarana untuk bagi-bagi kekuasaan. Ia sebagai orang Papua asli justru menyesal orang papua yang menjadi pejabat tidak segera memperbaiki daerah papua.

Tanggal 29 November sore kami gunakan untuk keliling kota yang tidak seberapa besar ini. Kami sekali lagi melihat pelabuhan yang tidak terlalu ramai aktifitasnya Yang menarik di sebelah kanan pelabuhan ada semacam pasar yang buka dari pagi sampai malam. Berbagai hasil bumi dijual, seperti ubi jalar, pinang, kangkung, pisang, dan sebagainya. Ada juga ikan. Setiap penjual umumnya tidak menjual barang dalam jumlah besar. Mereka meletakkan pada alas selembar plastik atau terpal ukuran tiga puluh sentimrter sampai satu meter persegi. Pengunjung maupun penjual dari berbagai macam asal, orang Papua, Jawa, sulawesi. Agaknya orang Jawa dan Sulawesi menjadi pendatang paling besar jumlahnya. Orang Papua sendiri yang tinggal di Yapen ada beberapa suku, yang terbesar adalah Onate dan Ansus.

Banyak pendatang, terutama Jawa yang berusaha di Yapen, seperti menjual martabak, ikan bakar, bakso, atau toko kelontong. Puas di sekitar pelabuhan kami menuju Bandara Sujarwo Condronegoro. Bandara sore hari menjadi ruang publik warga sekitar. Ada yang main sepak bola tepat di landasan ada juga yang sekedar ngobrol di pinggiran. Karena tidak ada sesuatu yang menarik di bandara, kami asal saja bergerak memenuhi keingintahuan kami mengenai sudut-sudut kota. Kami masuk di suatu jalan di mana kanan kirinya terdapat makam. Terlihat tidak hanya makam orang-orang kristen atau Katolik. Banyak juga nisan yang bertuliskan huruf Arap yang menunjukkan makam orang muslim. Tidak jauh dari makam masyarakat umum terdapat juga Taman Makam Pahlawan.

Tanggal 30 November, karena suntuk di kamar, saya berjalan sendirian berkeliling wilayah sekitar hotel. Ternyata banyak partai politik berhaluan Islam yang ada di Pulau ini seperi PKNN, PMB, dan PKS. Di tepian jalan saya tertarik pada seorang perempuan yang sedang panen daun kangkung. Daun kangkung ini tumbuh di kolam yang airnya agak kehitaman. Daun dan batangnya besar-besar. Saya sudah merasakan rasanya waktu makan di hotel. Enak dan renyah rasanya.

Saya lanjutkan langkah, dan terhenti di depan penjual pinang. Saya memang perlu membeli pinang karena akan berkunjung ke beberapa kampung di distrik yang berada. Penjualnya seorang gadis. Namanya Matilda, kuliah semester 7 di STIE. Katanya berjualan pinang untuk membantu biaya kuliah. Harga pinang per paket Rp 5.000 terdiri dari pinang 7 buah, buah sirih 3 buah, dan kapur (injet).

Setelah membeli pinang saya kembali menyusuri jalan, berpapasan dengan anak-anak SMP dan SMA yang pulang sekolah. Umumnya mereka ramah pada orang pendatang dan selalu menyapa, "selamat siang Om". Ini sungguh masyarakat yang indah. Setelah cukup lelah saya kembali ke hotel karena akan mengetik. Saya menghindari mengetik pada malam hari, karena listrik sering padam. Hampir tiap hari, meskipun untungnya hotel punya genset. Tetapi untuk menunggu nyala butuh beberapa lama. Nyamuk juga menggannggu.

Hari ini Selasa 1 Desember kami berencana akan berangkat ke distrik di luar Yapen Selatan menggunakan speedboat. Kapal, bahan bakar dan pengemudinya sudah siap. Kami juga sudah meminta orang Yapen sebagai pemandu. Tetapi terpaksa belum bisa berangkat pagi. Alasan pertama, kami masih menunggu daftar kampung yang harus didatangi. Kedua, angin bertiup kencang, sehingga ombak kemungkinan akan tinggi. Jadi kami disarankan menunggu perkembangan kalau cuaca sudah cukup baik.

Hari itu akhirnya kami isi dengan melakukan kunjungan ke Distrik Yapen Selatan. Di distrik tersebut kami mengunjungi kampung Yapan, Kelurahan Anotaurei, kampung Mariadei, kampung Serui laut, kampung pasir Putih, dan Kampung Pasir Hitam. Kampung Yapan terletak di kaki sebuah bukit yang cukup menghijau, air cukup melimpah, di perbatasan kampung mengalir Sungai Manainum. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani ladang. Tanaman ladang yang menonjol adalah jagung dan ubi jalar. Ibu-ibu biasa menanam ubi jalar. Di kampung ini kami merasakan kesejukan dan keasrian. Rumah warga cukup tertata rapi. Semua warga menerima kedatangan kami dengan penuh keramahan. Sinar mata yang tulus tidak tidat menyembunyikan kebaikan mereka. Seperti kampung lainnya, di pingggir jalan banyak terlihat penjual pinang. Hampir semua rumah mempunyai pohon pinang.

Kami sebanarnya ingin menemui Menasir Warmetan, kepala kampung, tetapi karena tidak ada di rumah maka kami memutuskan menemui Kaur pemerintahan yang dijabat Abraham Wahyeni. Selaian sebagai Kaur Pemerintahan, Abraham juga merangkap sebagai Kepala Dusun Yapan Matembu. Kami disambut dengan ramah di rumahnya yang sederhana tetapi nyaman. Dia senang mengetahui kami dari Yogyakarta. Dia menegaskan semua warga selalu ramah dan terbuka kepada siapapun yang datang, bahkan mau menerima sampai larut malam. Dia bercerita bahwa kampungnya terkenal sebagai penghasil durian yang banyak. Dia bilang, kalau kami datang sebulan yang lalu pasti akan djamu dengan durian yang dapat dinikmati sepuasnya. Memang kami lihat di sekeliling rumah warga banyak pohon durian. Pohonnya besar-besar. Dia cerita ingin menelepon presiden SBY dan sangat berharap SBY bisa datang ke Yapen. Di samping itu ia juga merasa pemerintah kabupaten Kepulauan Yapen selama ini belum cukup menyentuh harapan warga.

Dari yapan, kami menuju Anotaurei yang berbatasan dengan Kampung Yapan. Anotaurei merupakan kawasan perkotaan karena itu bukan sebuah kampung tetapi kelurahan. Kepala Kelurahan yang kami kunjungi di rumahnya, ternyata sedang pergi. Kami berkeliling ke beberapa rumah penduduk sekadar ngobrol dan menanyakan apakah wilayah ini sering dilanda banjir sesuai informasi yang kami terima. Ternyata menurut penuturan penduduk, banjir hanya terjadi kalau hujan lebat dan lama. Kami juga membeli makanan yang akan kami makan di tepi pantai. Kampung berikutnya yang akan kami kunjungi memang merupakan perkampungan pantai (perkampungan laut).

Kami selanjutnya menuju ke pantai Mariadei yang terletak di Kampung mariadei. Ombak berdebur kencng di dermaga. Pemandu kami minta kami menyaksikan ombak dan menguatkan bahwa karena hari ini ombak agak besar maka perjalanan dengan speedboat hari itu dibatalkan. Setelah mobil di parkir di tempat yang tidak terkena limpasan air laut, kami segera menikmati ayam goreng yang dibeli di Anotaurei. Setelah makan saya dan satu teman mencoba mengunyah buah pinang karena pemandu kami sedang mengunyah pinang. Piang yang hijau itu saya coba kupas kulita dengan gigi. Di tengahnya ada sabut berwarna putih kecoklatan dan ada biji berwarna agak orange. Saya langsung mengunyahnya. Rasanya sepet dan pahit. Lima menit saya kunyah ternyata bikin agak nual maka segera saya muntahkan. Agaknya kurang berhasil. Saya berjanji akan mencobanya. Mungkin baru sekali mengunyah pinang jadi rasanya terasa aneh.

Perjalanan kami lanjutkan ke kampung Serui laut. Terlihat perkampungan di atas air. Pemandangan dari atas sangat baiik. Kampung tersebut litarbelakangi gugusan pulau dan air laut tenang di belakangnya. Terlihat indah. Sayang bukit di sekelilingnya banyak digali diambil batu kapurnya. Batu kapur tersebut dijadikan bahan pembuatan bata. Bukit yang rusak karena penambangan sangat mengkuatirkan. Bahaya lonsor dan kekurangan air bersih bisa mengancam. Selanjutnya kami menyusuri perkampungan pasir putir. Pantai di kampung ini cukup bersih. Pemandangan pulau di kejauhan dapat membuat kami bertahan lama menikmati indahnya suasana sore. Rumah dengan rumah dihubungkan dengan jembatan kayu. Benar-benar kampung di atas air. Perjalanan hari ini kami akhiri mdengan menyusuri kampung pasir hitam. Tidak ada kecewanya perjalanan hari ini.

Rabu 2 Desember. Hari ini kami memutuskan mengunjungi distrik Kosiwo yang berda di daratan. Lagi-lagi kami tidak dapat mengujungi distik di laut dengan speedboat karena ombak masih besar. Ada dua kampung utama yang kami tuju yakni Tatui dan Panduami. Dengan mobil dari Serui, kami perlu waktu sekitar 45 menit untuk mencampai kampung tersebut. Kami harus menaiki perbukitan dan menyusuri jalan berkelok yang dikelilili pohon-pohon cukup banyak. Dari atas bukit ini kami dapat melihat sisi lain pulau Yapen dan pantainya yang indah. Pemandangan yang menakjubkan saat kami tiba di kampung Sarawandori Distrik Kosiwo. Di bawahnya nampak teluk yang tenang berwarna kehijauan. Laut yang menjorok ke daratan mirip sebuah danau yang cukup luas. Orang sekitar menyebutnya danau Honei. Tekstur tanah di sekeliling dan atasnya, pohon-pohon yang menyembul di sekelilingnya menyajikan pemandangan yang sangat indah. Kami tidak melewatkan kesempatan untuk mengambil gambarnya. Kami bergerak ke atas lagi untuk melihat teluk ini dengan pandangan yang lebih luas dan nampak tersambung dengan laut yang luas. Sayang obyek keindahan alam ini sepertinya belum dikelola menjadi obyek wisata. Padahal sangat menarik, apalagi jika dilengkapi fasilitas yang lain.

Di salah satu tikungan kampung Sarawandori ini ada bukit yang berbentuk agak membulat dengan ketinggian sekitar 5 meter. Orang menyebutnya sebagai borobudur.

Kami terus melanjutkan perjalanan ke Tatui. Kampung ini letaknya di tepi pantai. Rumah penduduk cukup tertata rapi. Berada di kampung ini, meskipun hari sedang terik, cukup nyaman. Mayoritas penduduk bekerja sebagai nelayan dan petani ladang. Warga sangat ramah menerima kedatangan kami yang bertanya rumah kepala kampung. Kami mendapat informasi bahwa siang itu baru saja selesai pertemuan pembentukan panitia pemilihan kepala kampung di rumah kepala kampung. Kepala kampung tidak dapat kami temui karena sedang sakit . kami ditemui sejumlah bapak dan ibu yang baru saja ikut pertemuan. Setelah saling memperkenalkan diri saya memancing mereka untuk menceritakan persolan-persoalan yang dihadapi. Mereka mengeluhkan jarangnya pemerintah memberikan bantuan. Program pemerintah belum menyentuh kebutuhan mendesak masyarakat. Jaringan listrik belum ada, sehingga pertemuan misalnya diselenggarakan siang hari. Mereka juga berharap ada upaya pemerintah untuk mengembangkan ekonomi rakyat. Misalnya pemerintah sudah membangun saluran irigasi, tetapi sampai saat ini warga belum dilatik bagaimana bercocok tanam padi.

Setelah mohon diri dan berterima kasih, kami menuju kampung Ariepi yang masih bagian Distrik Kosiwo. Di kampung ini banyak pohon sagu dan Bobo. Bobo adalah sejenis tanaman mirip sagu. Yang dari buahnya dapat dibuat minuman keras. Di kampung ini sinyal HP tidak ada. Mungkin sebagian besar Kosiwo tidak ada sinyal HP. Setelah sekilas melihat pantai Ariepi kami lanjutkan perjalanan ke kampung Panduami. Di Panduami jarak antar rumah cukup jauh bisa 100 meter. Di sekeliling rumah banyak belukar. Yang menggembirakan ada jaringan air bersih. Kami tidak bisa bertemu dengan Kepala Kampung yang bernama pak Musa. Memang sulit membuat janjian terlebih dahulu karena tidak dapat menggunakan telepon seluler di wilayah ini. Kalau mau ketemu ya datang langsung dengan resiko yang bersangkutan tidak di rumah. Untungnya kami dapat bertemu dengan Pak weri, wakil kepala kampung. Keluhannya hampir sama dengan warga Tatui.

Perjalanan pulang kami melewati sungai besar yang setengah alirannya kering dan hanya terisi batu-batu. Kami turun dan menikmati makan siang di hamparan batu-batu sungai. Sejauh mata memandang tampak bukit menghijau yang indahnya. Luar bisa Engkau Tuhan.

Kamis 3 Desember 2009, sejak pagi hujan deras mengguyur. Pertanda pagi ini lagi-lagi kami tidak dapat ke laut naik kapal untuk mengunjungi distrik luar kota. Rico, yang selama ini menjadi pemandu kami mengatkan laut berbahaya untuk dilayari. Sampai siang kami hanya berda di kamar menonton TV yang harus sabar karena gambarnya sering hilang. Tengah hari kami diajak Rico melihat penangkaran buaya di dekat pelabuhan Serui. Untuk berlatih menjadi buaya darat, kelakarnya. Saya tertarik juga dengan ajakannya. Maka jadilah kami melihat penangkaran buaya. Mungkin jumlahnya lebih dari seratus buaya ukutan 50 - 100 CM. Kami sebantar saja terus balik ke hotel karena kuatir hujan turun lagi.

Sore hari tanpa kegiatan sangat membosankan. Kami memutuskan jalan -jalan ke pelabuhan. Jalan kaki saja sekalian mengurangi lemak yang beberapa hari ini kelihatannya menumpuk. Jarak dari hotel ke pelabuhan sekitar 3 Km. Lumayanlah keringat yang keluar. Di pelabuhan ternyata air sangat tenang, banyak kapal nelayan berlayar. Pelabuhan ini diknal banyak copetnya. Maksudnya di kapal yang dari Jawa dan Papua. Kadang copet turun membawa belasan HP. Seorang sopir speedboat cerita dan menunjukkan dua buah HP merek Nokia yang dia beli dari copet. Satu buah hanya dibeli Rp 50.000. bahkan ada yang bilang mau HP merek apa nanti dapat dicarikan dari para copet.

Seandainya cuaca cerah ini sejak pagi tentu kami sudah berlayar mengunjungi distrik luar kota. Kami tertarik untuk naik kapal nelayan untuk sekedar mengelilingi perairan sekitar pelabuhan. Dengan bantuan temannya Mecky, juga salah satu pemandu kami, akhirnya kami mrndapatkan kapal dengan tarif sebesar Rp 100.000. Tidak terlalu bersih, tidak apalah asal bisa ditumpangi dengan nyaman. Jadilah kami naik kapal hari ini meskipun bukan untuk mengunjungi kampung sebuah distrik. Kesegaran mengalir di tubuh ini ketika kapal melaju cepat. Lekuk-lekuk dan bibir pantai cukup mempersona. Rumah-rumah penduduk sepertinya memperkuat keindahannya. Kejenuhan hari ini benar-benar sudah hilang. Puas dengan naik kapal, kami istirahat d tepi pelabuhan. Rico menawari untuk mengantar kami pulang ke hotel dengan mobil. Kami memilih untuk tetap jalan kaki. Mudah-mudahan nanti malam dapat tidur nyenyak.

Jumat 4 Desember. Hari ini akhirnya kami dapat mendatangi distrik luar, maksudnya distrik yang harus melalui jalur laut. Kami berangkat jam 12 menggunakan speetboat tanpa rumah. Panjang Speedboat sekitar 7 meter. Biasanya maksimal dapat ditumpangi 15 orang, tapi kali ini ditumpangi empat orang. Kami perlu persiapan 200 liter BBM (kebutuhan sekitar 140 liter). Harganya 10 ribu per lier lebih mahal dari harga BBM darat yang hanya Rp 4.500 itupun nyarinya tidak mudah. Tujuan kami adalah Distrik Wonawa yang letaknya di ujung Barat Pulau Yapen. Ada dua kampung yang akan kami kunjungi yaitu Wooi dan Kanaki. Cuaca cukup cerah, menurut pemandu kami aman untuk pelayaran. Diperkirakan, dengan speedboat kedua kampung tersebut dapat ditempuh selama 2 jam.

Ini pelayaran yang cukup menyenangkan karena saya dapat menyaksikan sisi-sisi pulau Yapen. Pulau ini nampak indah dilihat dari sisinya. Kelihatan sekali sebagian besar wilayah ini belum didiami. Umumnya, penduduk tinggal di bibir pantai membentuk kampung/ desa. Jarak antar kampung juga berjauahan. Di bagian tengah pulau mungkin masih jarang didiami. Perjalanan kami bebelumnya ke Distrik Kosiwo melalui jalur darat kelihatan masih sedikit penduduk di tengah pulau. Itu kemungkinan karena minimnya akses jalan darat. Transportasi dominan masih jalan laut. Sehingga masyarakat lebih berkonsentrasi tinggal di pantai. Di kejauhan nampak bahwa pulau ini mengalami abrasi yang mengkuatirkan. Bagian pulau yang mulai terpisah karena terjangan gelombang, Pohon-pohon yang menyembul dari dalam air menandakan hilangnya daratan karena abrasi. Saya bisa menikmati perjalanan ini dengan penuh kekaguman pada tanah air ini. Satu jam perjalanan, angin laut terasa kencang dan gelombang pun meninggi. Speedboat tergoncang-goncang. Menerjang, naik, turun menyesuaikan irama air.

Agaknya sopir speedboat cukup lihai sehingga membuat saya menjadi tenang. Apalagi saya juga sudah memakai baju pelampung. Hempasan air menerpa badan. Asin terasa di mulut karena kemasukan air laut. Alam memang bukan untuk dilawan, tapi kita perlu menyesuaikan maka akan terjadi keselarasan yang akan menjamin keselamatan. Setelah tiga setengah jam perjalanan, molor satu setengah jam dari perkiraan kami sudah mendekati Distrik Wonawa. Dari jauh nampak rumah penduduk dari papan berdiri di atas air. Rumah-rumah yang sederhana. Kami merapat di kampung Wooi. Sebuah dermaga sederhana dari kayu yang menjadi jalan masuk kampung. Kami segera naik ke atas dermag. Kami mencari Kepala kampung tapi ternyata sedang pergi ke Serui. Kami ditemui oleh pengurus kampung dan istri kepala kampung. Istri Kepala Kampung bernama Delila Kirihiyo. Warga yang lain Gasper Aronggeyar (masuk Dumani). Dari mereka kami mendapatkan informasi bahwa Kampung yang kami datangi yang benar adalah Kampung Wooi 2 yang merupakan pecahan dari kampung Wooi. Jumlah KK sekitar 180.

Mereka mengeluhkan sumber penerangan. Selama ini sumber penerangan adalah tenaga surya. Memang di sejumlah rumah di atas atasnya nampak menyembul panel surya. Masalahnya jumlah panel surya hanya 50 buah, yang sangat kurang dengan jumlah penduduk. Mereka juga mengeluhkan anggaran yang mereka terima dari pemerintah daerah (dana RESPEK= Rencana Strategis Pembangunan Kampung) sebesar Rp 100 juta per kampung tanpa memperhatikan jumlah KK/jiwa di tiap kampung. Mestinya jumlah anggaran kampung disesuaikan dengan jumlah warga di setiap kampung. Mereka mendambakan pemimpin yang mempunyai jiwa membangun. Seorang warga yang pernah datang ke Jakarta, merasakan betapa wilayahnya sangat ketinggalan dibandingkan dengan Jawa. Agaknya slogan membangun dari kampung dulu, yang digulirkan pemerintah Provinsi Papua, belum berjalan dengan sebenarnya.

Sekitar 1 jam di kampung Wooi 2, kami pindah ke kampung Kanaki. Hanya perlu waktu 15 menit untuk sampai kampung tersebut. Untung cuaca cukup bagus sehingga dengan mudah kami mencapainya. Beberapa hari sebelumnya menurut penuturan warga angin kencang, sehingga meskipun Kanaki tidak jauh dari Wooi 2 tetapi tidak ada warga yang berani pergi ke sana. Rumah-rumah di kampung Kanaki sebagian besar terbuat dari papan dan tempok dan didirikan di daratan/tanah. Dibandingkan dengan Wooi 2, rumah-rumah di Kanaki jauh lebih baik dan bersih lingkungannya. Mungkin karena terdapat dataran rata yang cukup luas sehingga memungkinkan warga membangun rumah di daratan. Kami bisa bertemu dengan kepala kampung dan sekitar 10 warga yang sedang berada di sekitar rumah kepala kampung. Kelihatannya sekitar rumah kepala kampung menjadi area publik karena terletak paling depan dari pantai yang menjadi jalan masuk kampung. Belum ada dermaga di kampung ini.

Marinus Kawar, seorang warga kampung mengeluhkan sarana air bersih. Sebenarnya sudah tersedia jaringan pipa air tetapi sudah lama tidak berfungsi karena tidak ada genset untuk menarik sumber air. Sama dengan warga di Wooi 2, warga kampung Kanaki juga membuat saluran air sederhana untuk menyalurkan air dari mata air. Di banyak kampung, mata air tawar cukup tersedia dan mengalir baik. Ini tetntu disebabkan masih terjaganya wilayah daratan. Warga Kanaki juga telah membuat jaringan listrik dengan menggunakan tenaga genset. Dananya dari pemanfaatan dana Respek. Mereka mengeluhkan transportasi laut yang belum terjamin sehingga mobilitas warga juga terhambat. Sementara jalan darat belum tersedia. Karena hari mulai gelap kami memutuskan segera memutuskan meninggalkan Kanaki. Speedboat tidak dilengkapi lampu penerangan dan tidak ada rumahnya. Sehingga kalau hari gelap dan hujan cukup merepotkan laju speedboat. Kami tahu tidak mungkin langsung pulang ke Kota Serui, yang paling aman adalah singgah di Kampung Ansus Distrik Yapen Barat.

Speedboat berjalan secepat mungkin, tetapi tidak dapat mngejar datangnya gelap sebelum sampai ke kampung Ansus. Setelah satu jam perjalanan speedboat benar-benar berjalan dalam kegelapan. Ini membuat speedboat harus berjalan hati-hati. Waktu sepertinya berjalan lama, ketika kita berada dalam ketidaknyamanan. Sesekali di sepanjang pulau Yapen nampak lampu kecil remang-remang yang menjadi penanda adanya kampung di tempat tersebut. menginapTak atu kapal pun yang ditemui, ini membuktinya sepinya lalu lintas transportasi laut di wilayah ini.Empat puluh menit kemudian barulah kami melihat lampu di kejauh. Akhirnya kami sampai juga di Kampung Ansus. Saya tidak dapat melihat dengan jelas suasana kampung ini karena benar-benar gelap hanya ada lampu di sejumlah rumah. Kami merapat di dermaga kayu. Malam itu suasana dermaga cukup ramai. Masuk ke dalam banyak pedagang menjual berbagai makanan, juga kios-kios yang menjual aneka kebutuhan warga. Mungkin ini satu-satunya ruang publik yang dimiliki warga. Suara lagu dari radio tape dibunyikan keras-keras. Suara riuh rendah warga yang bersenda gurau atau tawar menawar dagangan menghilangkan kesunyian pulau ini. Kami hanya membeli makan dan minum untuk dibawa ke rumah menginap.

Rumah tempat menginap kami adalah rumah milik keluarga sopir speedboat, jaraknya hanya sekitar 100 meter dari dermaga. Rumahnya dibangun di atas air terbuat dari papan dengan atap dari daun sagu. Sopir speedboat cerita bahwa dengan atap dari daun sagu lebih nyaman daripada memakai seng. Alas rumah memanfaakan kulit kayu sagu. Nyamannya di tempat ini, justru kami tidak merasakan gangguan nyamuk. Padahal di Hotel kami di Serui justru banyak nyamuk. Menurut sopir speedboat, nyamuk tidak kuat dengan uap garam yang dikeluarkan air laut. Rumah punya panel surya dan genset sehingga penerangan di rumah ini cukup memadai. Kami duduk di teras rumah tanpa atap ehingga bebas memandangi langit yang agak mendung. Kami menikmati makan dengan rasa syukur jarena sampai ke Ansus tanpa masalah. Kami tidak dapat langsung tidur karena tidak tersa mengantuk. Mungkin juga saya ingin menikmati suasana malam di kampung ini. Jam 1 dinihari saya baru berangkat tidur di dalam rumah beralaskan tikar daun sagu. Punggung saya merasakan kayu-kayu membujur yang menjadi lantai rumah. Harus tidur karena jam 5 pagi harus egera meninggal Ansus secepat mungkin supaya mencapai Serui. Di sepanjang perjalanan ini sinyal HP tidak ada, sehingga kami kuatir tidak dapat menerima informasi penting dari kolega. Memang ada telepon satelit di kampung ini, tetapi dari satu yang ada semalam kami coba datangi tidak dapat untuk telepon karena tidak ada bensin untuk menghidupkan genset sebagai tenaga telepon satelit tersebut. Tidak semua kampung mempunyai telepon satelit.

5 Desember bangun dengan perasaan lebih segar. Pagi yang cerah. Ternyata dengan pandangan yang lebih jelas saya dapat menyaksikan keindahan di kejauhan. Bujuran Pulau Yapen dan pulau kecil dengan latar belakang langit pagi. Setelah Sholat Subuh saya tidak dapat berlama menikmati pemandangan ini, kami harus segera pergi. Angin bertiup cukup kencang yang menandakan cuaca berubah menjadi tidak begitu baik. Memang menurut cerita speedboat, cuaca dan angin bisa berubah dengan cepat. Makanya harus bisa mengikuti dan membaca suasana alam. Seorang ibu dan dua anak kecilnya yang semula akan ikut ke Serui membatalkan diri karena takut angin di laut akan besar dan hujan. Kami segera berangkat. Angin memang terasa agak kencang. Air laut pun beriak. Langit mulai tersaput angin gelap. Setelah 1 jam speedboat meliukliuk. Ada kekuatiran juga jika hujan bertambah lebat. Deburan ombak di tepi pantai menggoda kecemasan. Sekujur badan terasa dingin. Speedboat berguncang-guncang. Pantat teras panas, lama beradu dengan tepat duduk papan kayu. Dalam suasana kekuatiran seperti ini kita merasa kekuatan Pencipta dan tentu menggantungkan pada kepiawaian sopir speedboat. Mungkin saja orang perlu sesekali menghadapai kekuatiran atau ketakutan supaya selalu punya ingatan pada Sang Pencipta. Rupanya hujan semakin gelap pulau Yapen tidak nampak karena tertutup kabut. Sopir speedboat nampak berusaha keras mengarahkan kapal ke jalur yang aman sambil berkonsentrasi memandang kabut yang menutupi pulau. Mungkin pengalamannya sudah membentuk pengetahun tentang arah yang benar speedboat ini. Menurut pemandu kami, biasanya kalau hujan sangat lebat dan berkabut sekali yang tidak memungkinkan pelayaran maka kapal akan segera ditutup terpal dan jangkar dijatuhkan. Kapal berhenti m enunggu reda hujan. Suasna sekarang ini masih dianggap aman untuk berlayar meskipun harus hati-hati. Saya berusaha menikmati suasana ini. Ketegangan tidak harus dihadapai penuh ketakutan.

Satu setengah jam kemudian kami sudah melihat pelabuhan Serui. Speedboat tidak merapat di dermaga karena hujan masih lebat. Kami merapat di rumah sopir speedboat yang berada di sebelah kiri dermaga. Kami harus hati-hati menaiki papan kayu rumah. Dari rumah tersebut kami berjalan ke arah jalan menunggu jemputan.

Hari ini kami hanya di dalam kamar karena agak batuk mungkin karena kedinginan. Kami mengurungkan kunjungan ke Distrik Raimbawi yang terletak di ujung Timur Pulau Yapen. Kami minta pemandu kami mendatangi kampung tersebut. Siang hari kami ke pelabuhan melihat persiapan pemberangkatan ke Distrik Raimbawi. Selanjutnya kami istirahat kembali ke hotel.

Minggu 6 Desember. Kami hanya bersantai di hotel sambil mengepak barang karena esoknya akan ke Biak.

Senin 7 Desember pukul 08.20 kami berangkat ke Banda Sujarwo Condronegoro. Kami akan naik pesawat Susi Air penerbangan kedua pukul 09.20. Tiket Biak-Jakarta yang kami miliki sebenarnya untuk keberangkatan tanggal 9 desember 2009, tapi berharap dapat pemberangkatan garuda lebih awal bila ternyata ada kursi kosong. Untuk Garuda tanggal 7 dan 8 masih cadangan. Tetapi saya yakin kemungkinan kecil tanggal 7 ini bisa meninggalkan Biak, meskipun ada informasi kursi kosong tetapi Susi Air yang saya tunpangi mendarat i Bandara Frans Kaisepo pada pukul 09.45-an. Pada jam tersebut mungkin Garuda sudah siap tinggal landas. Sayang sekali. Gimana lagi karena Susi Air penerbangan pertama sudah penuh. Sementara maskapai lain yakni Aviastar hanya terbang dua kali dalam seminggu, dan hari itu tidak ada pesawatnya yang terbang dari Serui.

Kurang dari satu jam di Bandara Sujarwo Condronegoro, pesawat Susi Air yang kami tunggu mendarat. Lima belas menit menunggu kami dipersilakan masuk pesawat. Lagi-lagi pilotnya bule. Semua kursi terisi penuh. Pesawat take off dengan mulus. Saya bisa menyaksikan lagi kota serui dan pulau Yapen dari atas, tetapi agak samar. Cuaca pagi itu mendung. Lima menit terbang pesawat harus melewati awan agak tebal dan hujan. Pesawat agak bergoyang. Dan beberapa kali secara tiba-tiba meluncur ke bawah sekitar 2 meter. Banyak penumpang yang panik. Tapi, tak apalah itu justru menambah ingatan kepada Kepulauan Yapen yang indah dan orang-orangnya yang ramah. Semoga pemerintah Indonesia (pusat) dan Pemerintah Papua semakin memperhatikanmu. Dan mudah-mudahan Pak SBY yang kaurindukan segera berkunjung ke Yapen.....(*Winarta).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun