b. Pengubahan Sudut Pandang dan Peran Hakim Pengadilan
Perubahan sudut pandang ini dari menerapkan tahap-tahap konstatiring secara ketat dan kakum menjadi penerpan yang fleksibel, praktis, dan humanis demi tercapainya tujuan akhir proses peradilan dengan berpijak pada asa audi et alteram partem. Contoh kasus perdata yang telah terjalin kesepakatan, walaupun dalam perkara terjalin kesepakatan bersama, (seperti pada kasus perkara Nomor 857/Pdt.G/2018/PA.JT, mengenai jadwal pembagian waktu pengasuhan anak diatas), tidak mengurangi kewajiban majelis hakim untuk mendamaikan para pihak (dading) di pengadilan. Dan secara ex officio hakim, kewenangan hakim karena jabatannya untuk menjatuhkan amar putusan tambahan diluar pokok perkara demi memberi perlindungan hukum dan keadilan dan menjamin kemudahan eksekusi. Sebab secara kewenangan ex officio, pengadilan berperan dan bertanggungjawab disamping sebagai filter tegaknya prinsip syariah dan keadilan, juga sebagai pemberi solusi suksesnya eksekusi dan sebagai pemberi kekuatan hukum hasil eksekusi.
c. Penerapan Regulasi dan Peraturan Khusus
Harus ada regulasi yang mengatur secara khusus hukuman paksa dalam eksekusi hadhanah. Regulasi tersebut dapat berupa Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI yang menegaskan sanksi secara tertulis kepada pihak-pihak yang melawan atau tidak secara sukarela melaksanakan putusan. Saksi yang dimaksud bisa berupa sanksi perdata dimana hak-hak perdata pihak yang melawan bisa di cabut seperti larangan melakukan transkasi perjanjian jual beli, larangan transaksi pelaksanaan hutang piutang bahkan sanksi pidana karena melawan putusan pengadilan.
d. Penambahan Pasal Sanksi Hukuman
Pelaksanaan pembangunan hukum kedepan agar eksekusi hadhanah lebih terjamin, mendatangkan kepastian hukum yang berkeadilan adalah dengan cara mengamandemen Undang-Undang Peradilan Agama dan Undang Undang Perkawinan yang harus memasukan pasal pengenaan sanksi bagi pihak yang tidak mau melaksanakan putusan pengadilan secara suka rela.
e. Menyerahkan sepenuhnya kepada anak.
Penyelesaikan akhir perkara dalam kasus perebutan hak asuh anak, apabila terjadi kegagalan dalam pelaksanaan eksekusi, bisa ditunda sampai setelah anak tersebut mumayyiz dan diserahkan pada anak untuk memilih ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Karena perkara-perkara di bidang perkawinan, dalam hal ini perebutan hak asuh anak (hadhanah), merupakan sengketa keluarga yang memerlukan penanganan khusus sesuai dengan amanat Undang-undang Perkawinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H