Sebuah badan peradilan, terutama badan Peradilan Agama banyak bersentuhan langsung dengan kepentingan perempuan dan anak, terutama dalam perkara perceraian dan pengasuhan anak. Peradilan Agama telah mengambil peran dalam melindungi hak perempuan dan anak melalui beberapa regulasi dan putusan perkara. Hanya saja terdapat beberapa kendala dalam eksekusi putusan tersebut yang lebih bersifat sosiologis sehingga diperlukan campur tangan instansi lainnya agar dapat memberikan penekanan kepada pihak yang dikalahkan untuk mau melaksanakan putusan pengadilan dengan sungguh-sungguh.
Kepastian hukum dapat kita lihat dari dua sudut, yaitu kepastian dalam hukum itu sendiri dan kepastian karena hukum. “Kepastian dalam hukum” dimaksudkan bahwa setiap norma hukum itu harus dapat dirumuskan dengan kalimat-kalimat di dalamnya tidak mengandung penafsiran yang berbeda-beda. Akibatnya akan membawa perilaku patuh atau tidak patuh terhadap hukum, Memang dalam praktek banyak timbul peristiwa-peristiwa hukum, di mana ketika dihadapkan dengan substansi norma hukum yang mengaturnya, kadangkala tidak jelas atau kurang sempurna sehingga timbul penafsiran yang berbeda-beda yang akibatnya akan membawa kepada ketidakpastian hukum.
Ketentuan hak hadhanah sebagai contoh, tertuang dalam pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa “anak yang belum mumayyiz atau belum berusia 12 tahun dipelihara oleh ibunya”. Norma ini secara penjelasan pasal sudah jelas, hanya ketika ibu yang akan memelihara atau mengayomi telah telah membuat kesepakatan dengan mantan suaminya perihah pengasuhan bersama, apakah masih tetap berlaku ketentuan tersebut. Ini masih bisa menimbulkan banyak penafsiran.Pada kasus eksekusi hak hadhanah yang ada di lingkungan Pengadilan dapat dimaknai pada 2 (dua) hal, yaitu kepastian hukum dari sudut norma hukum terkait ketentuan siapa yang berhak memperoleh hak hadhanah. Terkait pembahasan ini Kompilasi Hukum Islam sudah menentukan bahwa anak yang belum mumayiz atau belum berusia 12 tahun berada di bawah hak asuh Ibu. Namun demikian, dalam hal-hal tertentu hak normatif tersebut bisa beralih ke bapak atau ayah.
Aturan terkait pelaksanaan eksekusi hadhanah di lingkungan Pengadilan seperti dalam kasus diatas sesunguhnya tidak ada masalah atau kendala apabila para pihak langsung melaksanakan perintah pengadilan sesuai perintah Undang-Undang, namun akan berbeda apabila pihak tersebut tidak mau melaksanakan putusan tersebut, maka pelaksanaan eksekusi setelah putusan inckrah akan menemui kendala yang disebabkan belum adanya hukuman terhadap pihak yang tidak mau melaksanakan eksekusi hadhanah tersebut baik hukuman secara perdata maupun pidana. Kalaulah apabila pelaksanaan eksekusi anak tersebut berhasil, kemudian anak diserahkan kepada pihak yang berhak mengasuh sesuai jadwal, kemudian diwaktu lain Pemohon Eksekusi (ayah si anak) yang telah berhasil mendapatkan haknya, tidak menyerahkan kembali kepada Ibunya, maka tentu saja sang Ibu kemungkinan akan menempuh jalur serupa dengan apa yang dilakukan oleh sang Ayah (mantan suami) yaitu mengajukan permohonan eksekusi terhadap hak asuh anak. Hal tersebut tentu tidak akan pernah berkahir penyelesaiannya dan tidak ada kepastian hukumnya, terutama kepastian hukum dan kepentingan hukum sang anak.
Padahal, salah satu prinsip dalam Hak Asasi Manusia adalah setiap orang termasuk juga anak, melekat pada dirinya hak untuk dihormati dan mendapatkan perlindungan hukum. Upaya perlindungan hukum terhadap anak saat ini menjadi perbincangan di kalangan pemerhati anak. Bagi anak yang orang tuanya mengalami perceraian sangat diperlukan perlindungan hukum, hal ini dimaksudkan agar masa depan anak tetap terjamin. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak anak agar tetap hidup,tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminatif, demi terwujud nya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Karena itu, kedepan berdasarkan teori sistem hukum, demi tegaknya kepastian hukum, maka perlu ditetapkan beberapa ketentuan hukum sebagai berikut:
a. Menetapkan penatalaksanaan hadhanah dengan konsep sole custody
Pengadilan perlu menetapkan hak asuh tunggal (sole custody), walaupun muncul pandangan yang menawarkan hak asuh anak bersama (joint custody). Secara normatif memang seorang anak seharusnya diasuh oleh kedua orang tuanya, meski kedua orangtuanya bercerai. Karena dalam praktik, hak asuh anak bersama sulit dilakukan bagi orang tua yang telah bercerai.
b. Pengubahan Sudut Pandang dan Peran Hakim Pengadilan
Perubahan sudut pandang ini dari menerapkan tahap-tahap konstatiring secara ketat dan kakum menjadi penerpan yang fleksibel, praktis, dan humanis demi tercapainya tujuan akhir proses peradilan dengan berpijak pada asa audi et alteram partem. Contoh kasus perdata yang telah terjalin kesepakatan, walaupun dalam perkara terjalin kesepakatan bersama, (seperti pada kasus perkara Nomor 857/Pdt.G/2018/PA.JT, mengenai jadwal pembagian waktu pengasuhan anak diatas), tidak mengurangi kewajiban majelis hakim untuk mendamaikan para pihak (dading) di pengadilan. Dan secara ex officio hakim, kewenangan hakim karena jabatannya untuk menjatuhkan amar putusan tambahan diluar pokok perkara demi memberi perlindungan hukum dan keadilan dan menjamin kemudahan eksekusi. Sebab secara kewenangan ex officio, pengadilan berperan dan bertanggungjawab disamping sebagai filter tegaknya prinsip syariah dan keadilan, juga sebagai pemberi solusi suksesnya eksekusi dan sebagai pemberi kekuatan hukum hasil eksekusi.
c. Penerapan Regulasi dan Peraturan Khusus
Harus ada regulasi yang mengatur secara khusus hukuman paksa dalam eksekusi hadhanah. Regulasi tersebut dapat berupa Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI yang menegaskan sanksi secara tertulis kepada pihak-pihak yang melawan atau tidak secara sukarela melaksanakan putusan. Saksi yang dimaksud bisa berupa sanksi perdata dimana hak-hak perdata pihak yang melawan bisa di cabut seperti larangan melakukan transkasi perjanjian jual beli, larangan transaksi pelaksanaan hutang piutang bahkan sanksi pidana karena melawan putusan pengadilan.
d. Penambahan Pasal Sanksi Hukuman
Pelaksanaan pembangunan hukum kedepan agar eksekusi hadhanah lebih terjamin, mendatangkan kepastian hukum yang berkeadilan adalah dengan cara mengamandemen Undang-Undang Peradilan Agama dan Undang Undang Perkawinan yang harus memasukan pasal pengenaan sanksi bagi pihak yang tidak mau melaksanakan putusan pengadilan secara suka rela.
e. Menyerahkan sepenuhnya kepada anak.
Penyelesaikan akhir perkara dalam kasus perebutan hak asuh anak, apabila terjadi kegagalan dalam pelaksanaan eksekusi, bisa ditunda sampai setelah anak tersebut mumayyiz dan diserahkan pada anak untuk memilih ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Karena perkara-perkara di bidang perkawinan, dalam hal ini perebutan hak asuh anak (hadhanah), merupakan sengketa keluarga yang memerlukan penanganan khusus sesuai dengan amanat Undang-undang Perkawinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H