Dan ia tidak menjawab sepatah kata pun. Aku menjadi bingung ketika ia mengguncang lengan kananku:
“Indar! Adikku! Beri tanda bahwa kamu akan kembali kepada kami. Ibu sedang menuju ke sini. Bagaimana perasaannya melihatmu seperti ini?”
Seperti apa? Memangnya aku kenapa? Aku merasa tenang sekali kini. Segalanya serba ringan. Aku bahagia mbak mau menghampiriku. Aku sulit membayangkan ibu akhirnya memaafkan aku. Beban berat seperti telah lepas dari pundakku. Aku tidak lagi terbebani oleh pikiran bagaimana membesarkan anakku seorang diri, atau bagaimana reaksi ibu melihat cucunya berambut coklat dan berwajah oksidental. Aku tidak lagi memusingkan karirku, pun tak lagi stres karena pekerjaan. Proyek renovasi Pasar Klewer yang mengkondisikan aku kembali ke kota ini pun tak lagi terpikirkan olehku. Sigfried, sahabatku, kekasihku, ayahnya Kristian… Aku sudah tidak memikirkan semuanya.
Tapi, kalau aku mengingat dengan baik semua peristiwa, kenapa aku tidak bisa ingat waktunya?
Masa kecilku, Pasar Klewer, tape ketan buatan Mbah Galak, selokan ujung jalan tempat anak-anak “Ngisor Sukun” buang air besar, becak tua milik Bapak yang setiap jam 11 siang sudah ada di gerbang SD-ku, kebiasaanku meloncat naik dan menyambut uang lima puluh perak yang telah disiapkan oleh Bapak. Atau acara hujan-hujan dengan kakak-kakakku… mbakku yang ini…
Aku begitu tenang memandang wajahnya, bahagia setelah 4 tahun ini merasa dia tinggalkan.
“Maafkan mbak Endah, ya Ndar! Maafkan mbak!”
Aku bangun dan meraih lengannya, kemudian bersimpuh di pangkuannya. Tiba-tiba hatiku merasa sedih seribu kali sedih.
“Mbak kenapa berkata seperti itu? Adikmu yang selalu menyusahkan ini yang seharusnya memohon ampun. Maafkan aku, mbak...”
Aku bahkan belum berani menyebut namanya kembali.
Tapi ia tak mempedulikan aku. Ia justru menunduk menciumi seonggok tubuh tak berdaya di atas dipan itu. Aku seperti mengenal tubuh itu. Ada banyak luka di sekujur tubuhnya. Wajahnya tertutup perban; selang oksigen dan infus dialirkan melalui hidung dan lengan kirinya. Aku berusaha mengingat siapa yang terbaring di dipan itu ketika pintu diketuk dari luar. Seorang lelaki berjubah putih mempersilakan seseorang untuk masuk. Ibuu! Jeritku. Aku berlari menyambutnya. Tapi ia pun tak mempedulikan aku. Ibuku yang sudah renta. Kenapa ia malah mendekati tubuh yang kini tengah dipeluk mbak-ayuku? Lalu mereka bercakap pelan. Aku tak bisa mendengar. Aku hanya bisa mendengar tangis sedu sedan ibu dan menatap wajah sedih kakakku. Tangan ibu menggenggam kalung salib di leher tubuh itu sambil membisikkan sesuatu. Itu seperti… Dunia di sekelilingku mulai berputar; aku tercerabut oleh putaran sinar.