Mohon tunggu...
Winarti Perry
Winarti Perry Mohon Tunggu... -

do not believe in anything I say about myself before you know me

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Maha Dewi[ku]

6 Mei 2011   11:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:01 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


“Oh ya?” Kata bapak kemudian sambil menoleh ke arahku, pendek, dan selesai.


Jika tiba saat makan, kami duduk berkumpul di atas gelaran tikar di lantai. Sering, ibu membedakan jatah makanan anak-anaknya. Aku tidak mengerti kenapa demikian. Bagianku lebih sedikit jika dibanding bagian kakakku. Tapi hal seperti itu tidak berpengaruh apa-apa sebab pada akhirnya kakakku selalu menyembunyikan jatahnya untuk kemudian diberikan padaku.


Pernah juga, kami ramai-ramai ke rumah bibinya bapak di Boyolali; Mbah Galak kami menyebutnya. Bapak mau pinjam uang untuk biaya perkawinan kakak tertuaku. Meski tidak terlalu jelas kata-kata dari dalam kamar, aku mendengar bapak dimarahi Mbah Galak. Ada sedikit kata-kata terdengar seperti “anak tiri”, “bojomu ndak menaruh hormat sama bibimu ini” dan beberapa umpatan lain yang aku tidak mengerti.


Tapi simbah tetap seorang nenek yang baik hati; dia selalu membagikan uang kepada kami, cucu kemenakan. Kami diberi dengan jumlah yang berbeda-beda. Aku tidak ingat berapa, tetapi yang jelas kakakku yang ini dapat bagian paling banyak ditambah satu stelan baju. Tidak ketinggalan kami disuguhi camilan tape ketan ijo yang enak sekali rasanya. Aku melihat kakakku yang ini diberi piring besar, sementara aku, kakak pertama dan kakak kedua diberi piring cawan kecil. Tapi, ketika Mbah Galak kembali ke dapur, semua yang ada di piring kakakku ini dibagi-bagikan ke kami bertiga dan ia berteriak minta lagi,


“Mbah, simbah, Endah minta ketannya lagi ya.”


“Cepet bener kamu makan, nok[2].” Tanya simbah sambil menuangkan sebungkus lagi ketan ijo ke piring kakakku.


“Enak banget mbah, di Solo ndak ada yang seenak buatan simbah.”


Kata-kata manis kakakku selalu ampuh membuat orang tua jatuh hati. Lalu mereka akan memberi apa saja yang mereka punya sebagai ungkapan sayang padanya.


“Nanti simbah bungkuskan buat kamu bawa pulang.” Lalu setengah berbisik ke arah kakakku, simbah menambahkan, “Tapi dimakan sendiri saja.”


Kata-kata simbah seperti itu tidak berasa apa-apa di telinga kami waktu itu, karena sebenarnya toh kami kecipratan juga makanannya. Tapi jika aku renungkan itu sekarang, sungguh simbahku ini seharusnya malu telah bersikap demikian. Terhadap dua kakakku yang pertama, mungkin karena tidak ada hubungan darah dengan bapak. Tapi kalau aku kan anak keponakannya juga, kenapa tetap dibedakan.


**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun