Mohon tunggu...
Win Ariga
Win Ariga Mohon Tunggu... -

mahasiswa univ.Brawijaya, saat ini sedang dipercaya oleh LKM (Lembaga Kedaulatan Mahasiswa) Universitas Brawijaya sebagai Mentri Kebijakan Publik (KP) Eksekutif Mahasiswa (EM) UB.

Selanjutnya

Tutup

Politik

SOAL POLITISASI KASUS HUKUM

5 Maret 2011   16:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:02 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

kekuasaan tidak pernah lepas dari watak pengelolaannya. Zaman dan era boleh berganti, namun tidak akan memberikan harapan perubahan yang signifikan dalam sebuah struktur kekuasaan, jika sosok dan watak kekuasaan tidak ikut berganti” (Anthony Giddens)

Ketika angket mejadi sebuah pilihan. Berarti ada permasalahan antara DPR dan lembaga penegak hukum. Dan masalah yang paling mungkin ada di antara kedua lembaga ini adalah berkaitan dengan tingkat kepercayaan. karena hak angket sebnarnya bisa menjadi indicator dari buruknya kinerja lembaga-lembaga hukum yang ada di negeri ini.

wajar sebenarnya jika beberapa pihak termasuk DPR kurang percaya dengan lembaga-lembaga penegak hukum di Indonesia. Hal ini mungkin dilatarbelakangi oleh 3 hal. Pertama, lembaga-lembaga hukum di Indonesia terbukti sangat lambat dalam menyelesaikan suatu perkara hukum. Sehingga kadang membuat rakyat sangat geram. Contohnya seperti penanganan kasus century. Hingga saat ini, baik kepolisian dan kejaksaan dirasa belum memberikan secercah harapan bagi tuntasnya kasus ini. Bahkan, kesannya kasus ini sengaja ditutup-tutupi untuk melindungi kepentingan beberapa pihak.

Kedua, lembaga-lembaga penegak hukum di negeri ini terbukti sangat korup. Berkali-kali para aparat hukum tersandung kasus suap. Sebut saja jaksa Urip yang tersandung kasus BLBI, jaksa Cirus sinaga yang tersandung kasus suap kasus Gayus, dan banyak kasus suap jaksa lainnya dari level pusat hingga daerah. Selain para jaksa, aparat kepolisian pun juga cukup bermasalah dalam penanganan kasus hukum. Sampai-sampai saking lemahnya kepolisian, seorang gayus dapat hilang dari rutan untuk berwisata di Bali. Memang cukup sulit sekali bisa mempercayai aparat-aparat penegak hukum Indonesia saat ini.

Ketiga, para pimpinan-pimpinan lembaga penegak hukum di negeri ini kurang independent. Karena bagaimanapun mereka para pimpinan lembaga hukum, merupakan orang-orang yang dipilih oleh presiden. Memang DPR juga ikut berperan dalam pemilihan, tetapi tetap saja person yang dipilih presiden tetap jadi prioritas. Karena mayoritas anggota dewan wakil rakyat negeri ini berasal dari partai yang pro pemerintah. Dan yang harus diingat, Negara bukanlah suatu lembaga independent. Seperti yang dikemukakan oleh C. Wright Mills dengan teori elit kekuasaan. Bahwa Negara bukanlah lembaga yang netral. Karena Negara pada dasarnya dikuasai oleh kelompok yang paling kuat dalam masyarakat. Hal inilah yang salah satunya melatarbelakangi ketidak percayaan DPR terhadap lembaga-lembaga hukum di Indonesia.

Melihat sangat kerasnya usaha DPR RI untuk berusaha menginvestigasi beberapa kasus hukum sebenarnya perlu dapat apresiasi dari masyarakat. Paling tidak para wakil rakyat membuktikan kalau mereka tidak selalu melulu-melulu tidur ketika sidang soal rakyat. Selain itu DPR RI juga bisa dikatakan cukup berhasil dalam merepresantikan keinginan rakyat. Yakni melakukan fungsi control yang cukup ketat dalam penyelenggaraan Negara. Bahkan belakangan ini kesannya lembaga legislative lebih memiliki power ketimbang lembaga eksekutive. Suatu keadaan yang mungkin tidak akan pernah ditemui ketika zaman kediktatoran soeharto.

Kuatnya peran legislative mengintervensi kasus hukum di negeri ini memang di satu sisi sangat diperlukan. Apalagi ketika lembaga-lembaga hukum tidak dapat dipercaya. Akan tetapi di suatu sisi juga sangat merugikan. Ada kekhawatiran ketika legislative memiliki peran yang sangat berlebihan. Hal yang paling sangat dikhawatirkan adalah terjadinya politisasi kasus hukum. DPR sekali lagi bukan lah sebuah lembaga yang netral. Lembaga ini merupakan tempat berkumpulnya para politisi. Forum dimana ego akan kepentingan lebih tinggi ketimbang berbicara akan nilai-nilai yang objektiv. Dan ketika suatu kasus hukum masuk untuk dibincangkan di lembaga ini, tentutanya akan diselesaikan dengan cara politik.

Bila berkaca dari beberapa drama angket. Sangat terasa sekali nuansa politik yang terjadi. para anggota dewan rakyat sepertinya lebih banyak berbicara terkait deal-dealan politik ketimbang focus membahas hal yang diperkarakan. Keadaan wakil rakyat semacam inilah yang membuktikan bahwa kekuatan golongan yang dalam hal ini partai politik lebih tinggi derajatnya dibandingkan kepentingan rakyat. Salah satu bukti adalah ketika kondisi voting di DPR. Person-person yang terlibat voting sepertinya sangat tunduk sekali akan keputusan partai. Yang mungkin sebenarnya sangat bertolak belakang dari harapan tiap person. Apa mau dikata, ketika person-person yang ada berani melawan keputusan partai tentunya harus siap dengan konsekuensi mendapatkan PAW dari partai.

Kasus hukum yang dibawa ke ranah politik biasanya dimanfaatkan partai politik untuk berkompromi dengan partai yang lainnya. Semua partai sepertinya berusaha untuk menaikkan bergaining. Karena makin tinggi tekanan dari partai satu ke partai lainnya (terutama partai pemerintah) akan bisa menaikkan nilai transaksi politik di antara keduanya. Biasanya, dagangan yang paling sering diperjual belikan oleh partai-partai yang ada di DPR tidak pernah lepas dari bagi-bagi kursi mentri di pemerintahan. Bagi mitra koalisi yang nakal akan dikurangi kursinya. dan bagi oposisi yang melunak akan diberikan atau ditambahkan kursinya. Sangat simple.

Keadaan yang seperti inilah yang menjadikan alasan kenapa kasus hukum harus di alihkan jauh-jauh dari parlemen. Di era demokrasi yang masih masih belum dewasa ini sangat sulit untuk mempercayakan power dari DPR. Karena di balik nilai dan cita-cita demokrasi. Potensi monopoli disertai fasilitas dan legitimasi kekuatan seringkali dipakai sebagai tameng untuk menepis tujuan demokrasi. Akibatnya, kekuasaan semakin lekat dengan tipikal hegemonic yang sulit dibendung oleh rakyat sekalipun (Fahri hamzah, 2010: 32).

Kekhawatiran lain terhadap efek dari kegiatan politisasi kasus hukum adalah terjadinya politik balas dendam di pemerintahan. Sehingga dampaknya akan berimbas pada ketidakmaksimalan kerja dari birokrasi. Karena terkadang DPR memberikan tekanan pada eksekutive tidak pada posisi seharusnya. Dalam artian, DPR seharusnya berposisi sebagai relasi yang senantiasa melakukan check and balance terhadap kinerja pemerintah. Bukan malah selalu berusaha mengorek suatu hal yang sifatnya politis dari penyelenggara Negara. Karena sangat tidak adil ketika kinerja eksekutive dinilai selalu dari sudut pandang politik.

Pandangan ini bukan berarti menempatkan oposisi sebagai penggangu penyelengara Negara. Harus di pahami kalau lembaga pemerintahan di Indonesia tidak semuanya dikuasai oleh partai penguasa yakni democrat. Akan tetapi ada beberapa partai lain yang juga ikut dalam melakukan penyelenggaraan Negara. Partai-partai seperti Golkar, PKS, PPP, PAN, dan PKB yang merupakan mitra koalisi democrat juga ikut mengendalikan beberapa kementrian. Suasana politik belakangan ini terutama pasca angket century maupun angket mafia pajak. Membuat beberapa kementrian yang dipegang oleh non democrat di permasalahkan kinerjanya oleh FPD di DPR. Dan sebab dari pemanggilan beberapa mentri oleh partai democrat sebenarnya lebih kental nuansa politis. Karena democrat kadang masih mempertanyakan komitmen dari mitra koalisi nya. Kondisi politik Indonesia saat ini sangat abu-abu. Antara koalisi dan oposisi sepertinya tidak ada perbedaan.

Sebnarnya ketika DPR dengan kemajemukannya selalu mempertontonkan adu kekuatan di parlement. Akan mengancam stabilitas keamanan negara. Masyarakat seakan terbius oleh pemberitaan media yang selalu terus menerus menyajikan konflik elite. Sehingga secara tidak sadar masyarakatpun ikut-ikutan terbawa dengan nuansa yang ada. Konflik-konflik yang berkonsentrasi pada sikap pro atau kontra terhadap berbagai kebijakan pusat di daerah-daerah merupakan salah satu bukti terfragmennya masyarakat. Dinamika semacam ini sebenarnya sangat bagus bagi rakyat untuk pendidikan politik. Akan tetapi ketika etika elite tidak dijaga di parlemen dalam berpolitik. Tentu ini akan sangat tidak baik bagi rakyat.

Solusi: tolak politisasi kasus hukum! Segera reformasi lembaga-lembaga penegak hukum!

Bersambung…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun