Masyarakat mendapatkan cipratan langsung bisnis pariwisata dari menyewakan motor, menjual makanan, menjual jasa surfing, kepang rambut dan lain sebagainya. Kalau kebijakan ini diberlakukan, semua sumber ekonomi masyarakat kelas bawah yang tumbuh akibat industri ini akan tumbang semua. Pengangguran pun akan meningkat jumlahnya.
Jadi ketika Wishnutama mengatakan "Selama ini, pengembangan pariwisata cenderung ditekankan pada kuantitas dengan target bisa mendatangkan sebanyak-banyaknya wisman. Bahkan pada 2020, sempat ditargetkan pariwisata Indonesia bisa mendatangkan 20 juta wisman." Jelas saat itu dia sama sekali tidak memikirkan dampak pemerataannya.
Sekali lagi, benar 4 juta turis premium seperti di Selandia Baru bisa menghasilkan lebih banyak dibandingkan 20 juta wisatawan dan menghasilkan devisa lebih besar. Tapi kalau kita bicara lebih jauh, 20 juta wisatawan yang datang menyebar di berbagai daerah tujuan wisata di Indonesia, dari Aceh sampai Papua, tentu jauh lebih membawa manfaat pada pertumbuhan ekonomi lokal dibandingkan 4 juta wisatawan kaya yang hanya menumpuk di lima Destinasi Super Prioritas, yaitu Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, dan Likupang.
Jadi ketika kita semua sekarang gonjang-ganjing untuk mewajibkan diajarkannya pelajaran PMP di sekolah mulai jenjang PAUD sampai perguruan tinggi.Â
Tampaknya, jenjangnya masih kurang jauh. Karena melihat strategi yang dirancang oleh Wishnutama ini, dibandingkan siswa sekolah justru yang paling mendesak itu pelajaran SMP harus diajarkan pada menteri cabinet Jokowi, terutama menteri pariwisatanya, supaya dia paham kalau semua strategi pembangunan yang diterapkan di Indonesia ini bukan mengacu pada Selandia Baru melainkan pada ideologi Pancasila yang di Sila Kelimanya berbunyi "KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H