Kenapa? Itu karena turis dengan kualitas premium, tentu hanya akan menginap di hotel kelas premium. Hanya akan makan di restoran kelas premium. Hanya akan naik kendaraan kelas premium. Yang semuanya hanya mungkin bisa disediakan oleh orang-orang bermodal besar. Bukan rakyat jelata.
Bahkan lebih buruk lagi, untuk makanan dan konsumsi mereka pun, seringkali bahan-bahannya harus diimpor, bukan produksi lokal. Ya kan tidak mungkin wisatawan kelas premium disuguhi steak daging sapi lokal. Harus impor dong. Juga tidak mungkin mereka disuguhi makanan yang dibuat dengan bahan keju produksi lokal, anggur produksi lokal dan seterusnya.Â
Memangnya wisatawan kelas premium itu mau tiap hari disuguhi Hatten dan Sababay? Ya enggaklah, mereka akan minta St Estephe, Poillac, Pomerol sampai Cheval Blanc.
Lalu setelah semua selesai, semua hasil dari uang yang mereka belanjakan secara jor-joran  itu mengalir ke mana? Benar sebagian masuk devisa Negara.  Tapi bagian terbesarnya jelas mengalir ke kantong investor, sebagiannya investor dalam negeri dan tidak sedikit juga investor dalam negeri.
Dampak ekonomi yang didapat oleh masyarakat lokal, tak lebih dari tetesan kecil yang mengalir melalui gaji karyawan yang dipekerjakan sebagai pegawai, baik di hotel maupun restoran.Â
Persis seperti dulu di zaman Orde Baru, masyarakat di tepi hutan mendapat manfaat ekonomi dari gaji yang didapat sebagai pekerja level rendahan di perusahaan-perusahaan HPH milik keluarga Soeharto dan kroni-kroninya.
Dalam strategi pariwisata yang dirancang menteri yang baru ini, rakyat di daerah objek wisata, statusnya tak lebih seperti objek wisata lainnya. Mereka tak lebih sebagai tontonan yang dipaksa untuk bersikap dan berbuat untuk mendukung pariwisata tapi manfaat pariwisata untuk mereka tak perlu ada.Â
Dengan strategi model Wishnutama ini rakyat hanya diminta partisipasinya dalam mensukseskan pariwisata tapi sama sekali tidak mendapat manfaat ekonomi darinya.
Cara pikir Wishnutama kita perhatikan persis sama dengan cara pandang Orde Baru yang didukung Mafia Berkeley yang melegenda itu. Demi besarnya devisa yang masuk untuk Negara. Mereka tanpa ampun membatasi penguasaan ekonomi hanya pada kalangan elit bermodal besar saja.
Berdasarkan pernyataannya di Merdeka, tampaknya inilah yang akan kita saksikan terjadi pada pariwisata Indonesia. Di bawah kendali Wishnutama, nikmatnya kue pariwisata dirancang hanya untuk dinikmati oleh kaum bermodal besar saja. Rakyat jelata cukup jadi objek untuk dinikmati para wisatawan dan atas nama nasionalisme, manfaat yang mereka peroleh cukup makan rasa bangga saja sedangkan sanfaat ekonomi, cukup dinikmati kaum berduit dan bermodal saja.Â
Lebih parah lagi kalau kebijakan ini juga diterapkan oleh Wishnutama pada daerah-daerah tujuan wisata yang sudah mapan seperti Bali, Lombok dan Jogja. Dengan kebijakan seperti ini (kalau berhasil) memang benar, devisa yang masuk ke negara lebih besar. Tapi ekonomi lokal akan melemah. Bagaimana tidak, kalau sebelumnya, ketika turis yang datang bukan hanya kelas premium.Â