Dari sepuluh soal ujian, 2 yang saat itu tidak bisa dijawab anak saya. Pertanyaannya berisi gambar orang yang memegang papan angka 6 sampai 10 dalam posisi acak.
Pertanyaannya, urutkan dari yang besar ke yang kecil
Yang satu lagi juga begitu, gambar berisi orang yang memegang papan angka 1 Â sampai 5 dalam posisi acak.
Pertanyaannya urutkan dari yang kecil ke yang besar.
Anak saya tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Dan ternyata, tidak satupun teman sekelasnya yang bisa menjawab pertanyaan itu. Nilai 7,7 yang dia dapat itu adalah nilai tertinggi di kelasnya.
Masalahnya apa?... Jelas sekali karena pembuat soal ini waktu membuat soal tersebut. Dia menggunakan logika orang dewasa yang kalau melihat gambar seperti itu langsung memahami dengan logikanya. Bahwa apa yang dimaksud dengan 'besar' dan 'kecil' dalam soal-soal itu adalah angka-angkanya.
Sementara untuk anak SD di usia seperti itu, BESAR dan KECIL itu masih mereka pahami sebagai bentuk NYATA. Gajah = BESAR, Kambing = KECIL, anak-anak seumur itu di manapun di dunia, kecuali yang sangat jenius tidak akan bisa paham konsep abstrak tentang besar kecil yang dilambangkan dengan angka. Sebab kemampuan seperti itu memang belum eksis dalam perkembangan kognitifnya.
Jean Piaget, pelopor psikologi perkembangan yang konsepnya tentang tahap perkembangan kognitif manusia  dijadikan acuan di seluruh dunia sampai sekarang. Membagi tahapan perkembangan kognitif anak itu dalam empat tahap.
1. Tahap sensorimotor: dari lahir hingga 2 tahun (anak mengalami dunianya melalui gerak dan inderanya serta mempelajari permanensi obyek)
2. Tahap pra-operasional: dari 2 hingga 7 tahun (mulai memiliki kecakapan motorik)
3. Tahap operasional konkret: dari 7 hingga 11 tahun (anak mulai berpikir secara logis tentang kejadian-kejadian konkret)
4. Tahap operasional formal: setelah usia 11 tahun (perkembangan penalaran abstrak).
Jadi anak kelas 1 SD itu, secara manusiawi sebenarnya baru pada tahap pra operasional. Â Mereka masih membutuhkan dua tahap lagi yang harus mereka lewati untuk bisa sampai pada penalaran abstrak, sebagaimana yang ditampilkan di soal itu.
Tapi ajaibnya, kurikulum pendidikan di Indonesia ini betul-betul suka-suka sendiri dalam menentukan tingkat kemampuan anak.