Mohon tunggu...
Humaniora

Sejarah 7 Pahlawan Revolusi dan 3 Anumerta

1 Desember 2018   05:35 Diperbarui: 1 Desember 2018   06:11 16639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanggal 1 Oktober setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. 52 tahun lalu atau tepatnya pada 30 September 1965 malam hingga 1 Oktober 1965 dini hari, sejumlah petinggi militer diculik dan dibunuh, dalam sebuah usaha kudeta. Peristiwa itu dikenal dengan nama Gerakan 30 September/PKI atau G30S/PKI. 

setidaknya delapan nyawa menjadi mangsa gerakan revolusi yang digaungkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Enam di antaranya jenderal TNI, dua lainnya adalah pengawal serta putri seorang jenderal. Satu korban lainnya dari kepolisian, KS Tubun.

Penculikan dan pembunuhan pada 30 September tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga di Yogyakarta. Di Yogyakarta peluru pasukan Cakrabirawa juga merenggut nyawa komandan Korem 072/Pamungkas dan kepala stafnya. Mereka adalah Brigjen TNI Katamso dan Kolonel Sugiyono yang dihabisi tanpa ampun di Kota Pelajar.

Operasi pembantaian yang dikomandoi Letkol Untung itu bergerak atas dasar tuduhan, bahwa para jenderal sudah membentuk Dewan Jenderal yang berencana menggulingkan pemerintahan Presiden Sukarno. Sebagai penghormatan, 10 dari 11 korban revolusi PKI yang gugur tersebut diberikan tanda penghormatan Pahlawan Revolusi dan Anumerta. Kami mencoba merangkum profil singkat tujuh pahlawan revolusi dan tiga korban PKI yang mendapat anugerah anumerta, serta data diri Ade Irma yang kami susun dari berbagai sumber.

1. Jenderal Ahmad Yani

Jenderal Ahmad Yani lahir di Purworejo pada 19 Juni 1922. Ia mengenyam pendidikan formal di HIS (sekolah setingkat SD), MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs/setingkat Sekolah Menengah Pertama) dan AMS (Algemne Middelberge School/setingkat Sekolah Menengah Atas). Karir militer Jenderal Yani dimulai saat ia mengikuti wajib militer yang dicanangkan Pemerintah Hindia Belanda di Malang. Ketika Jepang menduduki Indonesia, Ahmad Yani bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA).

Di bidang militer, Ahmad Yani mengantongi sederet prestasi. Ia pernah menahan Agresi Militer pertama dan kedua Belanda. Prestasinya kian mentereng setelah memimpin pasukan melumpuhkan pemberontak DI/TII dan Operasi Trikora di Papua Barat serta Operasi Dwikora menghadapi konfrontasi dengan Malaysia.

Catatan prestasi mengagumkan itu mengantarkan Ahmad Yani menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat. Saat itu Jenderal Yani menolak usul Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menginginkan pembentukan Angkatan Kelima yaitu dipersenjatainya buruh dan tani.

Gencarnya Jenderal Yani menentang PKI membuatnya masuk dalam target penculikan dan pembunuhan PKI pada Gerakan 30 September. Saat penculikan, pasukan Cakrabirawa menembaki tubuh Jenderal Ahmad Yani hingga berlubang. Dengan tubuh yang penuh luka tembak, jenazahnya dibawa dan dibuang ke dalam sumur di Lubang Buaya.

2. Letjen Suprapto

Jenderal kelahiran Purwokerto pada 2 Juni 1920 ini merupakan lulusan MULO dan AMS Yogyakarta. Sepanjang menjadi anggota TNI, ia sering dipindah tugas.

Ia pernah menjadi Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/ Diponegoro di Semarang, menjadi Staff Angkatan Darat di Jakarta, dan kembali ke Kementerian Pertahanan.

Pascapemberontakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) padam, Suprapto dipindah ke Medan menjadi Deputi Kepala Staf Angkatan Darat untuk wilayah Sumatera.

Suprapto adalah salah satu Perwira Tinggi yang berseberangan dengan pemikiran pentolan PKI, DN Aidit yang ngotot ingin mempersenjatai buruh dan tani dengan membentuk Angkatan Kelima. Karena alasan itulah Suprapto masuk dalam daftar jenderal yang harus dihabisi.

3. Letjen MT Haryono

Putra seorang asisten Wedana di Gresik ini lahir di Surabaya pada 20 Januari 1924. MT Haryono menimba ilmu di ELS (setingkat sekolah dasar), HBS (setingkat sekolah menengah umum) dan Ika Dai Gakko (sekolah kedokteran di masa pendudukan Jepang) di Jakarta. Sayangnya, ia tidak menyelesaikan pendidikan kedokteran itu.

Jenderal bintang tiga ini dikenal sebagai orang yang sangat cerdas. Seperti Mohammad Hatta, MT Haryono diketahui fasih berbicara sejumlah bahasa asing, seperti Belanda, Inggris, dan Jerman. Tak heran ia pun menjadi acap kali ditunjuk menjadi perwira penyambung lidah dalam setiap perundingan. Seperti ketika Konferensi Meja Bunda (KMB), Haryono ditunjuk sebagai Sekretaris Delegasi Militer Indonesia.

Sebelum bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Haryono sudah aktif berjuang dengan para pemuda mempertahankan kemerdekaan. Ia juga vokal menentang PKI dan kroninya. Tak heran namanya pun masuk dalam daftar jenderal yang akan diculik.

4. Letjen Siswondo Parman

Perwira tinggi lainnya yang menentang ide DN Aidit mempersenjatai tani dan buruh adalah Letjen S Parman. Ia yang merupakan tentara intelijen masuk daftar penculikan lantaran mengetahui semua rencana dan gerak-gerik PKI.

Sebenarnya, S Parman dekat dengan PKI mengingat tugasnya sebagai intelijen negara. Ia juga mengetahui kegiatan rahasia PKI. Namun, saat ditawari bergabung dengan PKI, jenderal kelahiran Wonosobo, 4 Agustus 1918 itu menolak paham komunis.

Gilanya, masuknya nama S Parman dalam daftar jenderal yang harus dibunuh datang dari kakak kandungnya sendiri, Ir Sakirman. Sakirman yang saat itu merupakan salah satu petinggi PKI sering berselisih paham dengan adiknya. Pertengkaran kakak beradik itu pun berujung dengan direnggutnya nyawa S Parman.

5. Mayjen D I Pandjaitan

Ia adalah salah satu otak lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI). Bersama pemuda lain, ia membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Aktif di TKR membuat kariernya cepat meroket. Mulai dari menjadi komandan batalyon, kariernya merangkak dengan menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi, Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatra dan menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Terakhir, ia menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat.

Sebagai Perwira Tinggi, pria kelahiran Balige, Sumatra Utara pada 19 Juni 1925 itu menjadi target penculikan dan pembunuhan oleh PKI.

Sayangnya kematiannya mengenaskan. Maut menjemput Pandjaitan saat sekelompok anggota PKI menyergap rumahnya. Pelayan serta ajudannya dihabisi. Tahu ajalnya sudah dekat, Mayjen Pandjaitan menemui tentara PKI dengan mengenakan seragam militer lengkap. Tubuhnya yang tegap pun diberondong peluru dan jenazahnya diseret ke Lubang Buaya.

6. Mayjen Sutoyo Siswomiharjo

Jumat dini hari, 1 Oktober 1965, Mayjen Sutoyo Siswomiharjo diculik sejumlah pasukan Cakrabirawa. Ia diseret ke markas PKI di Lubang Buaya. Setelah disiksa, Sutoyo dibunuh dan jenazahnya dibuang ke dalam sumur bersama lima jenderal lainnya.

Mayjen Sutoyo lahir di Kebumen pada 28 Agustus 1922. Pada 1945, Sutoyo bergabung dengan militer sebagai Polisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan cikal bakal Polisi Militer.

Karier di dunia militernya dimulai dengan menjadi ajudan Kolonel Gatot Soebroto, Komandan Polisi Militer. Kariernya perlahan mulai naik hingga ia dipercaya menjadi inspektur kehakiman/jaksa militer utama. Sayangnya, Sutoyo dituding ikut membentuk Dewan Jenderal sehingga namanya masuk dalam daftar perwira tinggi yang harus dihabisi.

7. Kapten Pierre Tendean

Perwira yang baru berusia 26 tahun itu tewas diberondong timah panas dari senjata Cakrabirawa. Ia yang menjadi martir Jenderal Abdul Haris Nasution yang menjadi incaran PKI untuk dibunuh.

Ajudan Jenderal Nasution itu lahir pada 21 Februari 1939. Karier militernya dimulai dengan menjadi intelijen. Ia pernah ditugaskan menjadi mata-mata ke Malaysia selama konfrontasi Indonesia-Malaysia.

Pada peristiawa G30S, Pierre yang mengaku sebagai Jenderal Nasution ditangkap dan dibawa pasukan PKI ke Lubang Buaya. Di Lubang Buaya Pierre dibunuh dan dimasukan ke sumur tak terpakai bersama 6 Perwira Tinggi Angkatan Darat lainnya. Pierre pun dianugerahi Pahlawan Revolusi.

7pahlawan-revolusi-5bfcfd8aab12ae7280761aa2.jpg
7pahlawan-revolusi-5bfcfd8aab12ae7280761aa2.jpg
8. Brigadir Jenderal TNI Anumerta Katamso Darmokusumo.

Korban kekejaman PKI di luar Yogyakarta adalah Brigjen Katamso. Jenderal kelahiran Sragen, 5 Februari 1923 itu diculik saat bertugas di Yogyakarta.

Tubuhnya dipukuli dengan kunci mortir motor. Tubuhnya pun dimasukkan ke dalam sebuah lubang yang telah disiapkan di sekitar Kentungan, Sleman, Yogyakarta. Jenazahnya baru ditemukan beberapa hari kemudian tepatnya 21 Oktober 1965.

30-9-7-a-1-5bfcfe8d43322f49f06c49b7.jpg
30-9-7-a-1-5bfcfe8d43322f49f06c49b7.jpg
9. Kolonel Infanteri Anumerta R Sugiyono Mangunwiyoto

Nasib mengenaskan juga menimpa Kolonel Sigiyono. Perwira yang pernah jadi ajudan Letnan Kolonel Soeharto di zaman revolusi itu gugur bersama Brigjen Katamso usai kepalanya dihantam kunci mortir motor dan batu.

Sugiyono yang turut beraksi dalam Serangan Umum 1 Maret, lahir di Gunung Kidul, Yogyakarta, 12 Agustus 1926. Bersama Brigjen Katamso, jenazahnya dimasukkan ke lubang yang sama dan baru ditemukan setelah 20 hari kemudian.

kol-sugiono-bw-253x300-5bfcfeddbde57531323dd1b3.jpg
kol-sugiono-bw-253x300-5bfcfeddbde57531323dd1b3.jpg
10. Ajun Inspektur Polisi Dua Anumerta Karel Satsuit Tubun (KS Tubun)

KS Tubun adalah satu-satunya satu-satunya perwira di luar TNI yang tewas pada malam G30S PKI. Lahir di Maluku Tenggara pada 14 Oktober 1928, hidupnya harus berakhir saat memergoki pasukan Cakrabirawa mengepung rumah Jendera AH Nasution.

KS Tubun saat itu bertugas menjadi ajudan Johanes Leimena, menteri di kabinet Presiden Sukarno. Rumah Leimena bertetangga dengan rumah Jenderal Nasution.

Saat pengepungan rumah Jenderal Nasution, KS Tubun mendengar suara tembakan. Ia pun melepaskan tembakan ke arah pasukan Cakrabirawa. Sayang, karena kalah jumlah dan kalah senjata, tubuhnya pun diberondong peluru. KS Tubun gugur, namun tubuhnya tidak dibawa ke Lubang Buaya.

karel-sasuit-tubun-bw-253x300-5bfcff62ab12ae01b304e6c8.jpg
karel-sasuit-tubun-bw-253x300-5bfcff62ab12ae01b304e6c8.jpg
11. Ade Irma Suryani Nasution

Putri bungsu Jenderal Abdul Haris Nasution ini menjadi tameng untuk ayahnya. Ia gugur setelah ditembak seorang tentara Cakrabirawa dari jarak dekat.

Ade Irma lahir pada 19 Februari 1960 dan meninggal dunia pada usia 5 tahun. Nyawa Ade tidak tertolong setelah enam hari dirawat. Ia dimakamkan di kawasan kantor Wali Kota Jakarta Selatan.

2884577730-5bfd00816ddcae4f1e6ed535.jpg
2884577730-5bfd00816ddcae4f1e6ed535.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun