Mohon tunggu...
Wilyana
Wilyana Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa

Saya Wilyana Domisili Sumenep, Saya prodi Perbankan Syari'ah, Saya suka menulis dan menggambar

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Sejarah, Penyebab dan Dampak dari Konflik Pulau Rempang

26 September 2023   07:15 Diperbarui: 26 September 2023   07:25 12920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Membahas mengenai Pulau Rempang yg ramai dibicarakan akhir akhir ini. 

Pulau Rempang, bersama dengan Pulau Galang dan Pulau Batam, membentuk wilayah yang dikenal sebagai Kota Batam. Kota ini terletak di provinsi Kepulauan Riau dan telah mengalami perkembangan yang pesat dalam beberapa dekade terakhir. Salah satu faktor yang berperan dalam pertumbuhan ini adalah lokasinya yang strategis, berdekatan dengan Singapura dan Malaysia, serta menjadi bagian dari Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Batam.

Sejarah Pulau Rempang sangat kaya. Selama masa kolonial, pulau ini pernah dihuni oleh berbagai suku dan komunitas etnis yang berbeda. Banyak peninggalan sejarah seperti candi dan bangunan bersejarah yang dapat ditemukan di pulau ini. Selain itu, Pulau Rempang juga dikenal sebagai tempat pengungsian bagi para pengungsi Vietnam selama Perang Vietnam, yang dapat ditemui di Pulau Galang.

Kekayaan alam Pulau Rempang juga patut diperhatikan. Pantai-pantainya yang indah, hutan mangrove, dan kehidupan laut yang beragam menawarkan berbagai kegiatan wisata. Aktivitas seperti snorkeling, diving, dan menikmati matahari terbenam di pantainya menjadi daya tarik bagi wisatawan yang mencari pengalaman alam yang unik.

Perkembangan ekonomi di Pulau Rempang juga patut dicatat. Seiring dengan pertumbuhan Kota Batam, pulau ini telah mengalami pembangunan infrastruktur yang signifikan. Pelabuhan dan fasilitas industri telah muncul di pulau ini, menciptakan lapangan kerja dan peluang ekonomi bagi penduduk setempat. Namun, seperti halnya perkembangan di banyak tempat, ada juga tantangan yang harus dihadapi. 

Salah satu akar konflik Pulau Rempang adalah masalah kepemilikan tanah. Masyarakat setempat telah mengklaim hak kepemilikan atas sebagian besar pulau ini selama bertahun-tahun, sementara pemerintah daerah juga memiliki klaim atas wilayah tersebut. Kedua belah pihak sering kali memiliki pandangan yang berbeda mengenai legalitas kepemilikan tanah ini, sehingga konflik pun muncul.

Selain itu, Pulau Rempang juga memiliki potensi ekonomi yang signifikan. Kehadiran pelabuhan internasional dan aktivitas perdagangan yang tinggi di Batam membuat pulau ini menjadi target investasi dan pengembangan. Namun, perencanaan pembangunan di pulau ini sering kali mengabaikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat lokal, yang juga ingin mengambil bagian dalam manfaat ekonomi yang mungkin timbul dari pengembangan tersebut.

Dalam upaya penyelesaian konflik Pulau Rempang, penting untuk mengadakan dialog antara pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan masyarakat setempat. Langkah-langkah transparansi dalam hal kepemilikan tanah dan proses pembangunan yang melibatkan masyarakat dapat membantu mengurangi ketegangan. Selain itu, solusi yang adil yang mempertimbangkan kepentingan semua pihak perlu ditemukan, dan kompromi mungkin diperlukan untuk mencapai perdamaian.

Dalam konteks ini, penting juga untuk melibatkan ahli hukum dan ahli pertanahan guna menyelesaikan klaim kepemilikan tanah secara hukum, sehingga ada kejelasan mengenai status tanah di Pulau Rempang. Dengan demikian, konflik ini dapat diatasi dan masyarakat setempat serta pemerintah dapat bekerja sama untuk merencanakan pembangunan yang berkelanjutan dan berdampak positif bagi semua pihak yang terlibat.

Bicara tentang berita yang lagi trending mengenai Pulau Rempang, di Batam. Yakni adanya bentrokan antara penduduk asli masyarakat Rempang dengan aparat keamanan pemerintah sebab perebutan paksa hak masyarakat yg diambil oleh kuasa pemerintah untuk dibangunnya kawasan industri, pariwisata dan jasa yg dikenal dengan sebutan Rempang Eco City. 

Proyek ini direncanakan bisa mendapatkan investasi senilai 381 triliunan pada tahun 2080. Akan tetapi cerobohnya pemerintah dalam menangani kasus ini menyebabkan masyarakat menolak akan hal tersebut. 

Memang masyarakat rempang tidak memiliki surat kepemilikan tanah tapi kita tau bahwa mereka sudah sangat lama menghuni daerah tersebut bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. 

Tapi jika seandainya pemerintah berdiskusi dan menjelaskan dengan baik-baik apa tujuan dan manfaat mengenai Eco City terlebih dahulu kepada masyarakat sebelum melakukan tindakan tersebut, mungkin masyarakat akan lebih terbuka, akan lebih mengerti dan mungkin akan setuju untuk pembangunan tersebut meskipun mereka harus menyayangkan sejarah dari kampung halamannya.Dan seharusnya mereka tidak melakukan kekerasan seperti menyemprotkan gas air mata kepada masyarakat dan bahkan beberapa siswa SMP menyebabkan sejumlah warga harus dilarikan ke rumah sakit. 

Hal itu akan menumbuhkan rasa dendam dan traumatik masyarakat. Hal ini akan selalu diingat dalam benak mereka. Oleh karena itu ketidak setujuan masyarakat Rempang menyebabkan perpanjangan pendaftaran relokasi hingga tanggal 28 September hingga mencapai target 700 KK, yg sebelumnya baru terkumpul pendaftar 100 KK pada tgl 20 September. Yang diketahui bahwa masyarakat Pulau Rempang berjumlah 7.500 jiwa. 

Ganti rugi pemerintah kepada masyarakat berupa tanah seluas 500 meter persegi sudah dengan atas hak rumah dengan tipe 45 yang berharga 120 juta da juga uang tunggu transisi hingga sampai rumah jadi sebesar Rp. 1,2 juta per jiwa dan juga uang sewa rumah. 

Dan hal ini menyebabkan dampak yg mungkin timbul karena konflik tersebut, yakni. 

Ketegangan Sosial: Konflik dapat memicu ketegangan antar kelompok etnis, agama, atau budaya yang berbeda di daerah tersebut, meningkatkan risiko konflik sosial yang lebih luas.

Gangguan Kehidupan Sehari-hari: Warga setempat dapat mengalami gangguan dalam kehidupan sehari-hari, seperti kesulitan mengakses layanan kesehatan, pendidikan, dan transportasi.

Dampak Lingkungan: Konflik dapat memiliki dampak negatif pada lingkungan, seperti pencemaran air atau kerusakan ekosistem alam di sekitar Pulau Rempang.

Isolasi: Jika konflik menyebabkan isolasi geografis atau ketidakmampuan untuk mengakses sumber daya yang diperlukan, maka warga setempat mungkin akan kesulitan mendapatkan barang dan layanan penting.

Gangguan Terhadap Proses Perdamaian: Konflik dapat mempersulit upaya mediasi atau perdamaian, yang dapat berdampak pada kelanjutan konflik dan meningkatkan risiko konflik bersenjata yang lebih serius.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun