Mohon tunggu...
Willy Johan
Willy Johan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Wartawan yang hobi membaca dan memasak. Berdagang di waktu senggang via online.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Televisi Nasional Rasa Jakarta

3 Oktober 2016   19:04 Diperbarui: 3 Oktober 2016   19:09 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Saat tulisan ini dibuat, sidang pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso masih menjadi “drama” di layar kaca, perang di Suriah masih berkecamuk, Ahmad Dhani Prasetyo mencalonkan diri menjadi Wakil Bupati Bekasi, Jawa Barat, sementara di DKI Jakarta ada tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang tengah menjalani proses verifikasi dari Komisi Pemilihan Umum Daerah Jakarta yaitu pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama dengan Djarot Saiful Hidayat, Agus Harimurti Yudhoyono dengan Sylviana Murni, dan pasangan Anies Baswedan dengan Sandiaga Uno. Selain itu, masih banyak kejadian dan peristiwa terjadi di seluruh sudut bumi dan angkasa.

Pembaca, jika Anda saat ini tinggal di Indonesia dan rutin menyaksikan siaran televisi, setidaknya Anda akan mengetahui satu peristiwa yang telah saya sebutkan di atas. Anda mungkin menyaksikan siaran langsung sidang dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso atau menyaksikan “drama” pencalonan gubernur DKI Jakarta oleh partai politik yang berbelit-belit. Atau mungkin Anda tersenyum kecut menyaksikan ada partai yang melirik sosok Ahmad Dhani untuk menjadi Calon Wakil Bupati Bekasi (meski menurut saya kemungkinan dia menang masih terlalu kecil).

Ganjil rasanya menyaksikan tayangan yang sama di jaringan televisi nasional jika Anda tinggal di provinsi lain selain Provinsi DKI Jakarta atau bahkan yang di luar Pulau Jawa. Stasiun televisi nasional tersebut membuat seolah Pilkada DKI terasa penting dengan menayangkan pencalonan Basuki-Djarot di KPUD secara langsung, memberikan berita lanjutan berupa pemeriksaan kesehatan para bakal calon selama dua hari dan bahkan membuat profil khusus mereka.

Paling aneh lagi dengan sidang pembunuhan Wayan Mirna Salihin. Beberapa stasiun televisi rela menghabiskan uang untuk menayangkan sidang secara langsung dengan diselingi perbincangan yang melibatkan ahli ini dan itu.

Bukankah televisi nasional memiliki jaringan se-Nusantara?

Betul. Tapi sayang konten yang ditampilkan begitu sentralis di ibukota.

Penelitian yang dilakukan oleh Muhamad Heycahael dan Kunto Adi Wibowo yang dipublikasi oleh Remotivi dan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran berjudul “Melipat Indonesia dalam Berita Televisi: Kritik Atas Sentralisasi Penyiaran” menunjukkan betapa sentralis konten di layar kaca stasiun televisi nasional. Hampir separuh konten yang ditawarkan dalam sampel program berita di sepuluh (10) stasiun televisi nasional berasal dari Jabodetabek (lihat infografis).

Stasiun Televisi Untuk Siapa?

Pertanyaan di atas retorik, tak perlu dijawab.

Sebenarnya kita punya institusi yang bertugas merawat keragaman konten di frekuensi publik. Namanya Komisi Penyiaran Indonesia alias KPI (impotensinya kita simpan untuk perbincangan berikutnya).

Tapi toh, sebagai salah satu orang yang bekerja di media, saya merasa jurnalisme televisi sedikit banyak memberikan kontribusi bagi pendidikan dan kontrol kekuasaan pemerintah. Bayangkan jika tidak ada media massa yang memberi informasi kepada masyarakat dan rewel terhadap kesewenangan pemerintah. Kalau kata

Memang harus diakui, dari belasan (yang nantinya setelah digitalisasi akan menjadi puluhan) stasiun televisi, hanya beberapa yang mampu memberikan konten yang mumpuni baik dari segi kualitas maupun keragamannya.

Masih ada media yang digarap dengan serius sehingga mampu menghadirkan konten mumpuni. Contohnya beberapa stasiun televisi mampu menghadirkan kearifan lokal dari berbagai daerah di Indonesia dan menyajikan dengan apik di dunia audio visual alias televisi. Bahkan ada program televisi yang bertahan dengan menayangkan cuplikan video dengan narasi yang berisi informasi yang mendidik.

Namun bukan berarti kita mesti terbiasa dengan kondisi media (utamanya televisi) saat ini.

Kita mesti mendorong media menghasilkan konten berkualitas dan tidak hanya sentralitis di Jakarta. Kita harus mengingatkan media bahwa Indonesia bukan hanya Pulau Jawa, Jabodetabek atau secuil Kota Jakarta.

Setidaknya, bukankah lebih baik masyarakat Banda Aceh diberi informasi untuk mengenal daerahnya dan mitigasi bencana daripada betapa tampannya Agus Harimurti Yudhoyono?

*) Tulisan ini sudah dipublikasikan di situs pribadi www.catatanwilly.xyz

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun