Saat tulisan ini dibuat, sidang pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso masih menjadi “drama” di layar kaca, perang di Suriah masih berkecamuk, Ahmad Dhani Prasetyo mencalonkan diri menjadi Wakil Bupati Bekasi, Jawa Barat, sementara di DKI Jakarta ada tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang tengah menjalani proses verifikasi dari Komisi Pemilihan Umum Daerah Jakarta yaitu pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama dengan Djarot Saiful Hidayat, Agus Harimurti Yudhoyono dengan Sylviana Murni, dan pasangan Anies Baswedan dengan Sandiaga Uno. Selain itu, masih banyak kejadian dan peristiwa terjadi di seluruh sudut bumi dan angkasa.
Pembaca, jika Anda saat ini tinggal di Indonesia dan rutin menyaksikan siaran televisi, setidaknya Anda akan mengetahui satu peristiwa yang telah saya sebutkan di atas. Anda mungkin menyaksikan siaran langsung sidang dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso atau menyaksikan “drama” pencalonan gubernur DKI Jakarta oleh partai politik yang berbelit-belit. Atau mungkin Anda tersenyum kecut menyaksikan ada partai yang melirik sosok Ahmad Dhani untuk menjadi Calon Wakil Bupati Bekasi (meski menurut saya kemungkinan dia menang masih terlalu kecil).
Ganjil rasanya menyaksikan tayangan yang sama di jaringan televisi nasional jika Anda tinggal di provinsi lain selain Provinsi DKI Jakarta atau bahkan yang di luar Pulau Jawa. Stasiun televisi nasional tersebut membuat seolah Pilkada DKI terasa penting dengan menayangkan pencalonan Basuki-Djarot di KPUD secara langsung, memberikan berita lanjutan berupa pemeriksaan kesehatan para bakal calon selama dua hari dan bahkan membuat profil khusus mereka.
Paling aneh lagi dengan sidang pembunuhan Wayan Mirna Salihin. Beberapa stasiun televisi rela menghabiskan uang untuk menayangkan sidang secara langsung dengan diselingi perbincangan yang melibatkan ahli ini dan itu.
Bukankah televisi nasional memiliki jaringan se-Nusantara?
Betul. Tapi sayang konten yang ditampilkan begitu sentralis di ibukota.
Penelitian yang dilakukan oleh Muhamad Heycahael dan Kunto Adi Wibowo yang dipublikasi oleh Remotivi dan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran berjudul “Melipat Indonesia dalam Berita Televisi: Kritik Atas Sentralisasi Penyiaran” menunjukkan betapa sentralis konten di layar kaca stasiun televisi nasional. Hampir separuh konten yang ditawarkan dalam sampel program berita di sepuluh (10) stasiun televisi nasional berasal dari Jabodetabek (lihat infografis).
Stasiun Televisi Untuk Siapa?
Pertanyaan di atas retorik, tak perlu dijawab.
Sebenarnya kita punya institusi yang bertugas merawat keragaman konten di frekuensi publik. Namanya Komisi Penyiaran Indonesia alias KPI (impotensinya kita simpan untuk perbincangan berikutnya).
Tapi toh, sebagai salah satu orang yang bekerja di media, saya merasa jurnalisme televisi sedikit banyak memberikan kontribusi bagi pendidikan dan kontrol kekuasaan pemerintah. Bayangkan jika tidak ada media massa yang memberi informasi kepada masyarakat dan rewel terhadap kesewenangan pemerintah. Kalau kata